Jayapura (ANTARA News) - Filep Karma dan Yusak Pakage yang merupakan dua narapidana (Napi) politik yang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Abepura, Jayapura, Papua menerima remisi dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) ke-63 Proklamasi Kemerdekaan RI. Hal itu disampaikan Kepala Divisi Pemasyarakatan pada Kanwil Depkum dan HAM, Provinsi Papua, Demianus Rumbiak,SH kepada ANTARA News di Jayapura, Sabtu sehubungan dengan pemberian remisi kepada dua Narapidana politik, Filep Karma dan Yusak Pakage bersama 455 Napi lainnya yang mendekam di sejumlah Lapas se-tanah Papua. "Pada HUT ke-63 Proklamasi Kemerdekaan RI, sebanyak 457 Napi di berbagai Lapas se-tanah Papua menerima remisi dan dua di antaranya adalah Filep Karma dan Yusak Pakage menerima remisi itu. Mereka berdua inilah yang pada beberapa pekan lalu oleh para anggota Kongres AS diminta agar dibebaskan," katanya. Dia menjelaskan, untuk perayaan HUT ke-63 RI tahun 2008, Filep menerima remisi tiga bulan dan Yusak pun menerima remisi tiga bulan. "Remisi yang mereka terima merupakan pelaksanaan amanat UUD 1945 dan tradisi kehidupan bernegara Republik Indonesia. Keputusan remisi bagi mereka berdua merupakan keputusan hukum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, negara lain tidak dapat mencampuri atau mengintervensi hal ini," tegas Demianus Rumbiak. Menurut Demianus, pemberian remisi kepada Yusak dan Filep sesuai ketentuan hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia sebaliknya, diberikan bukan karena Indonesia mendapat tekanan politik dari negara lain hanya dengan dalih penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) yang ujung-ujungnya adalah menggoyahkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia di tanah Papua. Filep Karma dan Yusak Pakage itu adalah warga negara Indonesia kelahiran Papua. Filep divonis hukuman 15 tahun penjara dan Yusak 10 tahun penjara pada Mei 2005 karena terbukti makar. Mereka terlibat dalam pengibaran bendera Bintang Kejora di lapangan Abepura pada 1 Desember 2004. Bendera Bintang Kejora oleh sekelompok warga di Papua dijadikan sebagai lambang perjuangan kemerdekaan Papua lepas dari Indonesia. Pemberian remisi kepada Filep dan Yusak pada 17 Agustus 2008 bukanlah hal yang istimewa karena narapidana lainnya pun menerima remisi yang sama seperti yang mereka terima walaupun lamanya remisi itu berbeda satu sama lain. Menjawab pertanyaan tentang sikap Kanwil Departemen Hukum dan HAM Provinsi Papua sehubungan dengan surat 40 anggota Kongres AS tertanggal 29 Juli 2008 yang meminta Presiden RI membebaskan Filpe dan Yusak, secara tegas Rumbiak mengatakan, jangankan Kanwil Depkum HAM Provinsi Papua, seluruh bangsa Indonesia pun tidak sedikitpun gentar dengan adanya surat tersebut. Surat 40 anggota Kongres AS itu dinilai sebagai salah satu bentuk intervensi negara lain terhadap hukum positif Indonesia. "Kanwil Depkum dan HAM Papua tidak ada urusan dan tidak akan bergeming dengan surat dari 40 anggota Kongres AS itu. Surat itu artinya mencampuri urusan rumah tangga orang sehingga kita tidak perlu menggubrisnya. Filep dan Yusak itu divonis karena terbukti melanggar hukum positif Indonesia bukan karena persoalan HAM," tegas Rumbiak. Apabila, 40 anggota Kongres AS itu meminta Filep dan Yusak dibebaskan atas pertimbangan HAM, maka pertanyaan cerdas yang patut diajukan kepada mereka yang mengirimkan surat tersebut adalah, sejak kapan 40 anggota Kongres AS itu menjadi sangat bersemangat memperjuangkan HAM untuk Filep dan Yusak, ada apa di balik semuanya ini dan seolah-olah bangsa Indonesia tidak punya rasa peri kemanusiaan dan peri keadilan terhadap sasama bangsanya sendiri? Kalau berbicara tentang nilai kemanusiaan dan rasa kemanusiaan terhadap Filep dan Yusak, 40 anggota Kongres AS itu tidak perlu tampil sebagai pembela HAM. Rasa kemanusiaan terhadap Filpe dan Yusak itu, terdapat juga dalam diri kami, anak-anak bangsa Indonesia tetapi persoalannya bukan pada rasa kemanusiaan tetapi pada pelanggaran hukum positif Indonesia. "Siapapun di dunia ini, jika melanggar hukum, patut dihukum. Untuk itu, kami minta agar anggota Kongres AS itu tidak mengintervensi pelaksanaan hukum Indonesia dengan bersembunyi di balik isu HAM, seolah-olah hanya mereka yang memiliki HAM sementara bangsa Indonesia tidak memiliki HAM," katanya. (*)

Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008