Berapa harga sebuah revolusi...ya, revolusi? Setelah mendengar kata itu, kesadaran sejumlah orang terhenyak, lantaran terpateri dalam ingatan akan sebuah wacana bahwa revolusi dapat memakan anaknya sendiri.
Cara baik, tujuan juga baik. Ingatlah bahwa wajah revolusi bila diberi gincu dan dipoles bedak tetaplah revolusi. Meski filsuf Descartes mengobarkan revolusi dalam pengetahuan manusia dengan mengobarkan "cogito ergo sum" (aku berpikir, maka aku ada).
Tunggu dulu, jangan buru-buru menjauh dengan pilihan kosa kata revolusi. Bukankah khasanah petuah Jawa mengajak publik sekarang untuk merevolusi diri di tengah jaman edan.
Semujur-mujurnya orang yang lupa diri, masih mujur orang yang ingat dan waspada (sak bejo-bejone, wong kang lali isih bejo, wong kang eling lan waspodo). Boleh juga bila Descartes menyimpulkan bahwa kembalilah kepada subyek yang berpikir, bukan subyek yang menanti wangsit dari langit.
Tonton saja film layar lebar Charlie Chaplin, meski tanpa suara, menyimpan akna "aku yang berpikir" (cogito) dan mengandaikan "apa yang dipikirkan" (cogitatum). Sedikit abstrak? Ini ada nukilan kisah dari film itu.
Suatu ketika Chaplin menerima protes dari sang isteri. Setiap petang sampai malam hari, tangan kanan Chaplin tidak henti bergerak menirukan orang yang sedang memaku sepatu. Sampai di tempat tidur pun, tangan Chaplin bergerak tiada henti. Ternyata Chaplin terpilih sebagai salah satu kambing hitam dari otomatisme pabrik sepatu sejamannya.
Baik petuah jawa, kredo dari Descartes maupun pengalaman Chaplin mengarak orang kepada sederet kebijakan bahwa pengetahuan yang benar akan membawa pada praktik kehidupan yang benar pula. Sebaliknya, pengatahuan yang keliru akan membawa pada krisis pemahaman, dan praktik kehidupan yang menghancurkan. Mana contohnya?
Silakan menyimak pengalaman dari negeri asal musik dan goyang-ria Reggae, Jamaika. Bukan sebatas rambut gimbel, dan tangga nada dalam irama yang mengajak orang menari sambil melupakan penat seharian, negeri ini nyatanya menyimpan pencerahan budi bahwa rasa keindahan menyentuh hati dan pikiran setiap orang yang mendengar alunan lagu-lagu Reggae. Intinya, manusia punya keterarahan akan makna mendasar dari semua lini kehidupan.
Apa maknanya ketika pelatih sepakbola Jamaika Rene Simoes berjanji merevolusi anak asuhannya saat melakoni laga tandang melawan Honduras dalam penyisihan Piala Dunia 2010 yang digelar pada Rabu waktu setempat. Sebelumnya, "tim Reggae" Jamaika mampu mengalahkan Meksiko dengan 3-0 pada pertandingan yang digelar pada Sabtu pekan lalu.
Pasukan Reggae Boyz mulai terkena imbas indahnya sepakbola Negeri Samba. Simoes berasal dari Brasil. Di negeri Selecao itu, ada banyak desa dan kota yang justru tidak punya gereja. Tapi di berbagai sudut kota dan pelosok desa, tersedia lapangan bola. Setiap hari minggu, orang di sana terkena selebrasi bola.
Tanpa bola, orang Brasil umumnya dapat mati perlahan karena terlanda kebosanan dan kesepian.Di bawah asuhan Simoes, tim Reggae seakan hendak memutar ulang jarum jam sejarah.
Pada Piala Dunia 1970, Brasil memukau publik dengan mendemonstrasikan gaya
sepakbola yang merajut ketrampilan dan keindahan. Sepakbola indah atau jogo bonito, demikian publik membaptis Brasil. Meski kini, di bawah pelatih Dunga, Brasil mengusung sepakbola ofensif (futebol offensivo). Serang dan serang, inilah karakter Brasil terkini.
"Penampilan para pemain (ketika melawan Meksiko) tampak memuaskan, meski melawan Honduras situasinya berbeda," katanya kepada harian Jamaica Observer. "Saya berkata kepada para pemain agar tenang dan belajar dari kekeliruan saat menghadapi Honduras nanti.
Bertindak dan berlakulah benar, maka hasilnya pun benar pula. Seorang pemain bola memerlukan ketenangan. Secara mental, ia perlu siap, dengan begitu ia dibayar secara profesional."
Simoes tahu betul kekuatan revolusi ala Brazil. Tahun 1970-an, dunia mengidap gaya sepakbola bertahan, akibat terlena oleh pesona "catenaccio". Akibatnya, resiko, kreativitas dan spontanitas jadi barang langka dalam laga bola.
Brazil kemudian tampil sebagai tim yang berani keluar dari sarang, kemudian merangsek pertahanan lawan. Selecao mengerahkan empat striker yakni Jairzinho, Tostao, Pele dan Rivelino. Dari lini belakang, Gerson dan Carlos Alberto kerap mendukung serangan.
Sejak itu, sepakbola Brasil menyentuh publik sejagat bahwa keindahan menyentuh hati dan pikiran setiap orang. Keindahan bukan sesuatu yang subyektif atau relatif. Keindahan bersifat obyektif dan universal. Sepakbola Brasil jauh dari eksklusif, tidak memencilkan diri, tetapi membuka diri kepada setiap pengalaman di luar dirinya.
Persis semangat inilah yang hendak dikobarkan oleh pelatih Kamerun Otto Pfister. Kepada seluruh anak asuhannya, pelatih asal Jerman itu menanamkan kepercayaan diri. Tujuannya satu, Piala Dunia 2010.
"Kami harus memanfaatkan setiap kesempatan. Dan saya yakin kami mampu meraihnya," kata Pfister kepada situs warta BBC. Pelatih veteran yang membawa Togo melaju ke final Piala Dunia 2006 itu berharap kepada anak asuhannya dapat tampil bersemangat saat meladeni tim-tim superior sekali pun.
"Ketika kita menghadapi lawan lebih kuat, kita cenderung lebih berkonsentrasi," katanya menjelang pertandingan melawan Tanzania. 'Saya berharap kami punya sejumlah lawan tangguh. Dengan begitu, kami dapat berkosentrasi 100 persen. Kami punya peluang memski tetap menaruh hormat kepada setiap lawan," katanya.
Kalau saja Pfister berkewarganegaraan Brasil seperti Simoes, maka pelatih Jerman itu akan mengajukan pertanyaan, "Berapa harga Reggae Boyz itu?" Bukan bertanya harga sebuah revolusi. (*)
Pewarta: Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008