Jakarta (ANTARA News) - DPR agar tidak mengesahkan rancangan undang-undang tentang pornografi menjadi undang-undang, demikian saran Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI).
"Dari awal PGI sudah menyatakan menolak. Alasannya, ada beberapa hal yang masih multitafsir, seperti definisi pornografi dalam pasal 1," kata Sekretaris Umum PGI Pdt Weinata Sairin di Jakarta, Kamis.
Selain itu, menurut dia, substansi yang terdapat dalam rancangan undang-undang tentang pornografi sebenarnya sudah ada dalam undang-undang lain seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), undang-undang tentang penyiaran dan undang-undang tentang pers.
"Jadi lebih baik undang-undang yang ada saja ditegakkan, tidak usah lagi menyusun yang baru. Apalagi isu ini malah menjadi kontroversi yang sangat ramai," katanya.
Ia menyarankan, jika memang ada ketentuan yang belum diatur dalam undang-undang yang ada sebaiknya undang-undang tersebut ditinjau kembali dengan memasukkan ketentuan-ketentuan baru yang diperlukan.
Lebih lanjut dia menjelaskan, pengesahan undang-undang tentang pornografi dengan materi sebagaimana disusun DPR saat ini justru berpotensi menimbulkan konflik mengingat budaya dan latar belakang masyarakat Indonesia sangat majemuk.
"Dan ini sama sekali bukan persoalan agama, tetapi kemajemukan budaya bangsa," katanya.
Menurut dia, publik pun belum siap dengan penerbitan undang-undang tersebut karena hingga kini masih ada kontroversi mengenai isu itu dalam masyarakat.
"Karena itu, lebih baik ada jeda dulu beberapa waktu supaya suasana tenang dan setelah itu semua bisa berpikir jernih mengenai masalah ini," katanya.
Sementara KWI menilai, persoalan rancangan undang-undang tentang pornografi yang mendasar, yang membuatnya terus menjadi kontroversi, adalah filosofi pembuat rancangannya tidak memahami filsafat manusia.
"Dalam rancangan undang-undang kriminalitas tubuh terjadi akibat cara berfikir tubuh dan jiwa terpisah, akibatnya pandangan mengenai tubuh manusia menjadi penyebab dari masalah kejahatan seksual," kata Sekretaris Komisi Hubungan Antar Agama (HAK)-KWI, Romo Benny Susetyo Pr.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008
@ojo budeg gendeng
Saya yakin anda rela kalau anak perempuan anda dimadu makanya anda bisa bicara demokrasi. Memalukan !!
Indonesia bukan ARAB!
Orang2 islam tidak boleh seenak udelnya sendiri memaksakan kehendak terhadap adat budaya agama lain.
Kalau mau pakai ya pakailah sendiri .
katanya pendukung demokrasi? giliran kalah voting kok ribut2 teriak bilang pemaksaan...
inti demokrasi apa sih? kan gimana suara terbanyak. kalo emang sampeyan ngerasa pendapatnya benar ya coba dong yakinkan masyarakat kalo UU APP itu memang bener2 cuma bawa masalah.
giliran kalah aja tereak2 bilang minoritas ditindas, giliran menang tereak2 bilang ini demokrasi semua kudu nerima.