Pendudukan selama lima hari atas Bandara-Bandara oleh demonstran anti-pemerintah telah menyebabkan 30.000 penumpang setiap hari batal terbang. Hal itu menyebabkan jutaan dolar pendapatan dari daerah-daerah tujuan wisata Thailand tiap harinya melayang, dan memicu imbauan-imbauan global terhadap aksi ini.
"Pengepungan terhadap Bandara-Bandara ini sangat berbahaya. Karena hal itu akan membuat negara-negara lain kehilangan kepercayaan terhadap Thailand. Mereka tidak akan menerbangkan pesawatnya ke sini dan tidak mengizinkan warganya untuk berkunjung ke sini," kata Somchai kepada para wartawan.
"Jika kebuntuan ini terus berlarut-larut, hal itu akan mengucilkan Thailand, akan berpengaruh terhadap perdagangan internasional kami dan merusak citra negara kami," katanya.
Somchai sendiri telah memindahkan kantornya di kota utara Chiang Mai sejak Rabu, pada saat blokade memaksa pengalihan penerbangannya dari menghadiri konferensi tingkat tinggi (KTT) APEC di Peru.
Pemerintah mengatakan, dia akan tetap berada di Chiang Mai selama jangka waktu yang tak terbatas selama ada ketegangan dengan militer.
Perdana menteri mengatakan, dia telah menginstruksikan Menteri Dalam negerinya, Kowit Wattana untuk melakukan tindakan-tindakan guna membubarkan para pemrotes yang berkumpul di Bandara internasional Suvarnabhumi dan Bandara domestik Don Mueang, tanpa kekerasan.
"Saya menugasi Kowit untuk membuat rencana prosedur yang transparan, guna menjamin bahwa para penegak hukum tidak melanggar undang-undang, dengan mengundang komisi-komisi hak asasi manusia (HAM) dan media untuk menyaksikan tindakan-tindakan polisi itu," katanya.
Namun demikian, gagasannya itu segera ditolak oleh kepala Komisi HAM Nasional, Saneh Chamarik, berkaitan alasan-alasan bahwa kehadiran mereka akan tampak mengesahkan penggunaan kekerasan oleh kepolisian.
"Mengundang komisi untuk menyaksikan (kasus) Suvarnabhumi berarti kami akan menyaksikan sesuatu yang tidak kami inginkan," kata Saneh dalam konferensi pers.
Somchai mengatakan bahwa pemerintahnya masih terbuka untuk melakukan perundingan-perundingan dengan para demonstran, namun 'bukan dengan syarat mengundurkan diri dan pembubaran parlemen', seperti yang dituntut oleh pihak oposisi Aliansi Rakyat untuk Demokrasi.(*)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008