Semarang (ANTARA News) - Permohonan izin kepada presiden untuk memeriksa kepala daerah yang diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi sebaiknya ditiadakan. Pakar hukum pidana Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, I Nyoman Sarekat Putrajaya, di Semarang, Senin, mengatakan, keberadaan izin presiden ini diduga sebagai salah satu penyebab berlarutnya pemeriksaan terhadap kepala daerah yang diduga tersangkut korupsi. Ia mengatakan, terbitnya izin yang berlarur-larut tidak jarang menyebabkan kasus yang ditangani turut berkepanjangan pula. "Bagi aparat penegak hukum, khususnya kejaksanaan dan kepolisian, izin dari presiden ini merupakan syarat utama untuk memeriksa kepala daerah. Kewenangan kedua instansi ini tentunya berbeda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak memerlukan izin presiden dalam bertindak," katanya. Padahal sesungguhnya, kata dia, dalam UU No.32/2004 tentang pemerintahan daerah masih memberikan kelonggaran bagi penegak hukum untuk memeriksa kepala daerah yang terlibat dalam kasus korupsi. 60 hari izin tak keluar, pemeriksaan jalan terus! Dalam UU tersebut, lanjut dia, jika dalam waktu 60 hari sejak izin pemeriksaan diajukan kepada presiden belum juga ada jawaban, maka jaksa atau polisi tetap dapat melakukan pemeriksaan kepala daerah yang diduga tersangkut korupsi. Menurut dia, kelonggaran yang telah diatur dalam undang-undang tersebut tidak dimanfaatkan. Oleh karena itu, ia mengusulkan agar aturan pengenai pengajuan izin pemeriksaan kepada presiden tersebut dihapuskan. Atau, lanjut dia, izin pemeriksaan ini sifatnya hanya pemberitahuan yang dikirimkan ke presiden, dengan demikian proses penyidikan atau penyelidikan tidak akan berlarut-larut. "Pemeriksaan terhadap kepala daerah dapat segera dilakukan sementara surat izin dikirimkan ke presiden, sebagai formalitas pemberitahuan," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008