(ANTARA News) -  Ada banyak mayat dan orang yang cedera, setiap detik satu korban dimasukkan ke dalam daftar korban tewas, dan tak ada ruang di kamar mayat.

Sanak-keluarga mencari di antara jajaran mayat dan korban cedera agar mereka dapat segera memakamkan anggota keluarga mereka yang menjadi korban keganasan Israel. Seorang ibu yang tiga anaknya yang masih usia sekolah meninggal dan ditumpuk satu sama lain di kamar mayat, berteriak dan menangis, berteriak lagi dan kemudian diam, demikian laporan koresponden Ha`aretz, Amira Hass.

Mustapha Ibrahim pada Sabtu (27/12) sore menyaksikan semua itu, di Rumah Sakit Shifa di Jalur Gaza. Sebagai seorang pemeriksa lapangan bagi satu organisasi hak asasi manusia, ia mengira bahwa ia telah kebal tapi tak ada yang mempersiapkan dia bagi apa yang dilihatnya. Korban cedera yang kondisinya tak terlalu serius diminta meninggalkan Rumah Sakit Shifa, agar tersedia tempat tidur kosong.

Dr. Haidar Eid, seorang dosen dalam Kajian Budaya di Al-Aqsha University, juga menyaksikan banyak mayat dan korban cedera pada Sabtu, dan anak-anak yang anggota tubuh mereka terputus.

"Memilih waktu seperti ini, pukul 11:30 untuk membom pusat kota besar, ini sungguh mengerikan. Pilihan ini dimaksudkan untuk menimbulkan pembantaian sebanyak mungkin," ia menyimpulkan.

Abu Muhammad berada 200 meter dari rumah sakit, ketika suara mengerikan terdengar: Tiga pusat besar polisi yang dibom berada di dekat rumah sakit tersebut. "Dalam beberapa detik, ini menjadi `Baghdad kecil`; bom di mana-mana, asap, api,orang tidak tahu di mana harus bersembunyi. Ketakutan di mana-mana, dan kemarahan serta kebencian," katanya kepada Amira Hass, sebagaimana dilaporkan kantor berita China, Xinhua.

Ia sendiri berlari ke sekolah putrinya, seperti puluhan ribu orang-tua lain di Jalur Gaza.

Dari pukul 11:25 sampai 11:30, sebanyak 50 pesawat membom sasaran mereka, ratusan ribu anak berada di jalanan saat itu. Sebagian dari anak-anak tersebut baru pulang dari klas pagi, yang lain akan mengikuti pelajaran pada jam berikutnya. "Di halaman saya melihat 500 siswi yang ketakutan, mereka menangis. Mereka tidak mengenal saya, tapi memeluk saya," kata Abu Muhammad.

Di permukiman Sheikh Radwan saja, ada 43 korban jiwa. Satu tenda berkabung didirikan buat mereka semua. Kebanyakan dari mereka adalah polisi muda yang telah bergabung dalam satuan polisi sipil dan menemui ajal selama upacara pelantikan mereka.

Kamp pelatihan di Izz-ad Din Al-Qassam dan pusat interogasi serta penahanan dikosongkan ketika semuanya dibom. Namun pusat polisi di Jalur Gaza, yang memberi layanan buat rakyat, dipenuhi orang. Tak seorang pun percaya bahwa mereka akan dibom.

Pada sore hari, mereka masih mencari mayat di bawah puing. Khalil Shahin bergegas ke stasiun polisi di bagian tengah Jalur Gaza itu. "Satu bangunan besar, dan semuanya berada di lantai," katanya. Sebanyak 30 orang tewas di sana. Ia tahu bahwa kemenakannya, seorang warga sipil, menjadi korban tewas ketika ia pergi untuk membereskan suatu masalah di stasiun polisi tersebut.


Krisis kemanusiaan

Mula-mula, guru bernama Umm Salah mengira ledakan itu adalah bunyi suara. Seluruh bangunan bergetar, semua kaca, tapi asap dan debu, dan suara raungan sirene ambulans, membuat jelas bahwa sesuatu yang jauh lebih mengerikan telah terjadi. Pecahan kaca melukai sejumlah siswa. Ada orang yang berteriak, ada orang yang terdiam.

Ia menemukan putranya di antara orang-orang yang berlarian di jalan. Ia sedang mengikuti tes matematika ketika pemboman dimulai. Mereka pulang bersama, dan menemui adiknya bersama dengan neneknya, yang berusia 70 tahun. Sang nenek berusaha menyembunyikan ketakutannya saat ia merawat cucu-cucunya.

"Tak ada listrik, tak ada gas, tak ada terigu atau roti selama hampir satu pekan terakhir," kata Umm Salah. "Dan tiba-tiba, listrik menyala. Saya menyalakah televisi, saya melihat gambar, saya mematikannya dan menyuruh anak-anak mengerjakan PR mereka."

Pada Ahad (28/12), badan bantuan Inggris, Oxfam, mendesak para pemimpin dunia agar menghentikan Israel melancarkan serangan di Jalur Gaza, dan mengatakan aksi militer itu berisiko memicu krisis kemanusiaan.

Badan amal internasional itu menyatakan terpaksa menunda sebagian besar upaya kemanusiaannya di wilayah tersebut dan mengatakan program yang akan memberi makan sebanyak 25.000 orang juga telah dibekukan.

Masyarakat Jalur Gaza akan menghadapi krisis kemanusiaan kecuali pemboman dihentikan dan Israel memberi akses segera bagi pengiriman bantuan, kata Oxfam sebagaimana dikutip kantor berita Prancis, AFP.

"Ratusan ribu orang di Jalur Gaza bergantung pada Oxfam dan badan bantuan internasional lain untuk mendapatkan kebutuhan hidup --air bersih, makanan dan sanitasi," kata John Prideaux-Brune, manager program Oxfam Inggris di Jerusalem.

"Jalur Gaza telah ditutup dari dunia luar selama 19 bulan dan rakyat di sana telah cemas. Ada risiko nyata krisis kemanusiaan kecuali pemboman berhenti sekarang."

"Masyarakat internasional tak boleh menghindar dan membiarkan pemimpin Israel melakukan kekerasan besar-besaran dan tidak seimbang terhadap penduduk sipil Jalur Gaza, tindakan yang merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional," kata Oxfam.

"Oxfam mengutuk keras serangan roket HAMAS terhadap warga sipil Israel. Namun mereka tidak dapat membenarkan pembalasan militer berlebihan yang menewaskan sejumlah warga sipil yang tak bersalah," katanya.

"Para pemimpin dunia harus melakukan semua tindakan yang perlu untuk menghentikan serangan oleh semua pihak dan harus mendorong Israel agar membuka terus semua titik perlintasan ke Jalur Gaza."(*)


 

Oleh Oleh :Chaidar Abdullah
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008