Jakarta (ANTARA News) - Perwira tinggi TNI-AL keturunan Tionghoa, mendiang John Lie alias Jahja Daniel Dharma, layak diangkat sebagai pahlawan nasional karena tidak saja dikenal di kalangan pejuang kemerdekaan RI, tetapi juga disegani pihak Belanda dan ia patut menjadi teladan, kata para akademisi.

"John Lie layak diberi gelar pahlawan karena sepanjang hidupnya ia telah menunjukkan keteladanan. Tak mungkin seseorang menjadi pahlawan tanpa memiliki keberanian, kejujuran dan ketabahan seperti yang diperlihatkan John Lie," kata sejarawan Dr. Anhar Gonggong dalam diskusi dan peluncuran buku "Nilai-nilai Kepahlawanan Laksamana Muda John Lie" di Univeristas Paramadina, Jakarta, Rabu.

Diskusi dengan moderator Dr. Asvi Warman Adam yang diselenggarakan Yayasan Nabil dan Universitas Paramadina itu juga menghadirkan Prof. Dr. Abdul Hadi WM, dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, dan sejarawan maritim Prof. Dr. Adrian B. Lapian.

Anhar mengatakan pemberian gelar pahlawan bagi John Lie yang berpangkat terakhir laksamana muda TNI AL bukan untuk kepentingannya karena ia telah wafat.

"Ia yang telah menghadap Tuhan Yang Mahaesa tak memerlukan lagi gelar itu, tapi kita yang masih hidup merasa perlu John Lie diberi gelar pahlawan karena pikiran dan karyanya," ujarnya.

Dalam konteks kekinian dan masa depan Indonesia, menurut Anhar, generasi muda memerlukan keteladanan dari pemimpin dan generasi sebelumnya karena Republik ini tak akan berlanjut jika generasi muda tak melanjutkan nilai-nilai yang telah ditanamkan para pahlawan.

Abdul Hadi WM dan Adrian B. Lapian juga sependapat bahwa John Lie pantas diangkat sebagai pahlawan nasional. Mantan KSAL Bernard K. Sondakh dan beberapa senior TNI AL yang secara dekat mengenalnya setuju atas usul pemberian gelar pahlawan bagi John Lie.

Abdul Hadi mengingatkan jangan menilai pahlawan dalam konteks budaya yang bisa berbeda dalam cara memandangnya.

"Ayatullah Khomeini jadi pahlawan bagi Iran tapi tidak bagi Amerika," ujarnya.

Menurut dia, nilai-nilai kepahlawanan harus ditegakkan pada saat masih ada "intervensi dari luar negeri ke dalam masalah di dalam negeri" dengan melhat konteks politik, hukum, ekonomi dan budaya.

Dalam sambutan pada acara tersebut Rektor Universitas Paramadina Dr. Anies Baswedan mengatakan John Lie menunjukkan nasionalismenya bukan lewat pidato-pidato, melainkan melalui perjuangan nyata bagi kepentingan bangsa.

Pada masa revolusi fisik dulu nama John Lie, putera Lie Kae Tae (pengusaha Tionghoa di Manado) cukup tenar. Tidak saja di kalangan pejuang kemerderkaan, tetapi ia juga disegani pihak Belanda.

John Lie yang bergabung dengan TNI AL (dulu ALRI) sejak 1946 setelah keluar dari perusahaan pelayaran Belanda KMP, aktif dalam penyelundupan persenjataan di kawasan Sumatra-Singapura-Malaya-Thailand guna mempertahankan kemerdekaan RI melawan agresi Belanda.

Antara 1947-1949, John Lie bersama teman-temannaya selalu berhasil menembus blokade Belanda di Selat Malaka dengan sebuah kapal tua dan selalu berlayar pada malam hari tanpa lampu. Berbagai cara dihalalkan Belanda untuk menghentikan aktivitas kaum Republiken termasuk kapal the Outlaw pimpinan John Lie. Tetapi Belanda tak pernah mampu melumpuhkannya.

Berita tentang The Outlaw yang berhasil menerobos blokade Belanda di Selat Malaka menggemparkan dunia lewat siaran radio BBC dan All Indian. Berkat berita-berita itu yang senantiasa didengar para pejuang diplomatik Indonesia seperti Sjahrir, KH Agus Salim, LN Palar dan Soedjatmiko di PBB, para diplomat Indonesia mendapat "amunisi" untuk memperkuat argumen mereka bahwa Republik Indonesia masih tetap eksis dan sekaligus menggurkan provokasi Belanda yang menuduh bahwa mereka hanyalah "sekumpulan gerombolan dan kaum ektrimis".

Sebagai penganut Kristiani yang saleh, John Lie dikenal dunia internasional sebagai penyelundup senjata dan kitab suci (the arms and bible smuggler).

Memasuki masa kemerdekaan John Lie meneruskan darma baktinya melalui Angkatan Laut dan berpartisipasi aktif dalam operasi-oeprasi militer untuk menjaga keutuhan NKRI melawan gerakan-gerakan DI/TII, RMS, PRRI-Permesta. Bahkan saat memasuki masa purnawira, John Lie tetap berkarya lewat kepeduliannya kepada gelandangan di Jakarta.

John Lie mendapat kehormatan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata sesuatu yang langka bagi golongan etnis Tionghoa. Presiden Soeharto sempat meminta pemakamannya ditunda satu hari berhubung Pak Harto yang saat itu sedang di Makasar, juga ingin datang melayat sang pemberani.

Dalam testimoni beberapa kenalannya, banyak pengemis dan gelandangan berduka atas wafatnya John Lie yang ketika masih hidup pernah menggugat terminologi pribumi dan non-pribumi. Ia menyatakan mereka yang meski pun lahir dan dibesarkan di Indonesia, belum tentu bisa digolongkan pribumi. Tapi mereka yang membela kepentingan bangsa dan Pancasilais itulah pribumi sejati - meski mereka keturunan Tionghoa atau lainnya.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2009