Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Front Persatuan Nasional (FPN) KH Agus Miftach mengatakan, pemerintah harus meningkatkan kesejahteraan dan keadilan kepada masyarakat guna menghadapi fenomena pengobatan bocah "batu petir"Ponari (10) yang mendapat kepercayaan ribuan masyarakat di Jombang, Jatim.

"Fenomena Ponari yang berasal Dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Jombang, Jatim, memiliki akar yang kuat dalam sejarah spiritualisme dan antropologi bangsa Indonesia karena selama lebih 1300 tahun bangsa Nusantara menganut Shiwa-Buddha dengan tradisi mitologi yang sudah merasuk dalam konstitusi jiwa," katanya di Jakarta, Senin.

Pemimpin Jamaah Wahdatul Ummah itu mengatakan, kebijakan pemerintah dan fatwa MUI, dirasakan kurang mempedulikan dengan posisi rakyat, seperti aksi penggusuran PKL yang kejam oleh Satpol PP dan fatwa keharaman rokok yang merugikan para petani tembakau, maka rakyat melakukan langkah regresi dan menemukan pijakan pada mistisisme.

"Kebangkitan mistisisme tradisional ini menemukan momentum dengan munculnya bocah batu petir Ponari. Ponari menjadi figur  stimulus yang menghubungkan kejiwaan masyarakat dengan basis mistisisme tradisional yang pernah menjadi 'mainstream' di masa lalu, dan sesungguhnya masih eksis di bawah kesadaran hingga masa kini," ujarnya.

Sedangkan, dakwah Islam belakangan yang dinilai dangkal dan diwarnai aksi kekerasan, kata Agus, belum mampu menembus sistem tradisional mistisisme ini, bahkan mendapat perlawanan diam-diam yang cukup efektif. 

"Melalui figur bocah batu petir Ponari yang jujur, polos tanpa rekayasa, rakyat menemukan tingkat kepercayaan yang tinggi untuk mencapai pertolongan dan harapan. Pertama soal kesembuhan dari penyakit, nanti akan meningkat ke soal rezeki dan soal-soal kehidupan lainnya," ujarnya.

Menurut Agus, ini memang fenomena kemiskinan dimana sistem obyektif tidak mampu menjawabnya, maka rakyat akan mencari jawaban ke dalam perbendaharaan ketidaksadaran kolektifnya dan memanggil kembali kedalam kesadarannya nilai-nilai tradisional yang melekat dalam konstitusi jiwa orang Indonesia.

"Pemerintah, MUI atau lembaga formal apapun tidak akan mampu melarang fenomena mistisisme tradisional ini, tanpa melahirkan ekspektasi baru dari sistem sosial yang kini diberlakukan," katanya.

Pada kesempatan terpisah, Pengamat sosial dan kebudayaan Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang, Prof Dr Tadjoer Ridjal, MPd mengatakan fenomena dukun cilik Ponari akan hilang dengan sendirinya karena fenomena Ponari tidak memiliki keterkaitan langsung dengan masalah pelayanan kesehatan dan kondisi sosio-kultural masyarakat Jombang secara umum.

"Yang datang ke rumah Ponari, bukan hanya masyarakat Jombang. Kalau dicermati lagi, justru lebih banyak dari daerah lain, termasuk Kalimantan, Sumatra, Bali, dan beberapa wilayah lain di Indonesia," katanya.

Menurut dia, fenomena Ponari merupakan potret masyarakat yang masih memegang teguh pemikiran tradisional. "Golongan masyarakat ini ingin menghidupkan kembali mitos lama yang telah punah. Golongan ini penganut romantisme mistis," katanya.

"Biasanya fenomena itu akan berakhir, kalau sudah ada unsur komersial. Karena kesaktian seseorang itu didasari syarat-syarat moral, di antaranya yang paling utama adalah membantu orang lain tanpa pamrih. Jadi secara otomatis, kesaktian seseorang akan sirna, jika sudah berorientasi pada materi," kata Tadjoer menambahkan.(*)


Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009