Pemilu tersebut telah diundur hingga Agustus karena kekhawatiran mengenai serangan-serangan dari kelompok gerilya yang menentang langkah-langkah dukungan Barat menuju demokrasi di negara itu, dimana invasi pimpinan AS menggulingkan pemerintah Taliban pada akhir 2001.
Scheffer mengatakan, empat batalyon tambahan yang mencakup sekitar 4.000 prajurit diperlukan untuk mengamankan pemilihan umum Afghanistan pada Agustus.
Saat ini terdapat sekitar 70.000 prajurit asing di Afghanistan dan 17.000 prajurit tambahan AS dijadwalkan tiba di negara itu pada tahun ini.
Ketika ditanya berapa banyak pasukan tambahan yang diinginkannya untuk mengamankan pemilu itu, Scheffer mengatakan, "Empat batalyon." Satu batalyon NATO berjumlah sekitar 1.000 prajurit.
"Kami akan mengirim pasukan tambahan sebelum, selama dan setelah pemilihan umum agar pengamanan berlangsung lancar," kata Scheffer kepada wartawan setelah perundingan dengan Presiden Afghanistan Hamid Karzai.
Ada ancaman tinggi serangan gerilya terhadap pemilu di Afghanistan selatan dimana sejumlah daerah dikuasai Taliban yang kini melakukan pemberontakan.
"Tentu pemilu ini akan menjadi tantangan," kata Scheffer. "Namun kami akan memenuhi tantangan ini karena setiap warga Afghanistan memiliki hak, di mana pun ia berada, untuk memberikan suara dalam pemilu."
Menurut konstitusi, pemilihan presiden -- baru yang kedua dilakukan di Afghanistan -- harus dilaksanakan 30-60 hari sebelum masa tugas Karzai berakhir pada 22 Mei.
Kekerasan di Afghanistan mencapai tingkat tertinggi sejak invasi pimpinan AS pada akhir 2001. Sekitar 5.000 orang, termasuk lebih dari 2.000 warga sipil, tewas dalam pertempuran tahun lalu saja, menurut PBB.
Sekitar 70.000 prajurit asing di bawah komando NATO dan AS berada di Afghanistan sejak akhir 2001 untuk membantu pemerintah Presiden Hamid Karzai memerangi Taliban dan gerilyawan Al-Qaeda sekutu mereka.
Pemerintah baru AS berencana mengirim 17.000 prajurit tambahan tahun ini untuk menstabilkan Afghanistan, yang dikhawatirkan sejumlah politikus dan analis Barat akan tergelincir ke dalam anarki.
Taliban, yang memerintah Afghanistan sejak 1996, mengobarkan pemberontakan sejak digulingkan dari kekuasaan di negara itu oleh invasi pimpinan AS pada 2001 karena menolak menyerahkan pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden, yang bertanggung jawab atas serangan-serangan di wilayah Amerika yang menewaskan sekitar 3.000 orang pada 11 September 2001.
Gerilyawan Taliban sangat bergantung pada penggunaan bom-bom pinggir jalan dan serangan bunuh diri untuk melawan pemerintah Afghanistan dan pasukan asing yang ditempatkan di negara tersebut.
Dalam salah satu serangan paling berani, gerilyawan tersebut menggunakan penyerang-penyerang bom bunuh diri untuk menjebol penjara Kandahar pada pertengahan Juni, membuat lebih dari 1.000 tahanan yang separuh diantaranya militan berhasil kabur.
Peningkatan jumlah korban akibat kekerasan yang dilakukan Taliban di Afghanistan telah membuat sejumlah negara berencana melakukan pengurangan atau penarikan pasukan yang tergabung dalam ISAF pimpinan NATO.
Semakin banyaknya prajurit asing yang tewas juga membuat sejumlah negara Barat enggan mengirim pasukan mereka ke daerah-daerah dimana kelompok dukungan Al-Qaeda itu beroperasi paling aktif.
Jumlah prajurit internasional yang tewas di Afghanistan tahun ini mencapai sedikitnya 63, sebagian besar akibat serangan-serangan gerilya, menurut situs berita icasualties.org yang mencatat korban-korban di Afghanistan dan Irak.
Lebih dari 295 prajurit internasional tewas di Afghanistan tahun lalu dan tahun sebelumnya 230.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009