"Kebijakan dalam negeri Indonesia sangat jauh dari apa yang dijanjikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada internasional," Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara Bustar Maitar di Jakarta, Rabu.
Pemerintah Indonesia sebenarnya bisa berupaya mengurangi emisi gas rumah kaca dengan melindungi hutan gambut yang kaya karbon namun ini pun tidak dilakukan, lanjutnya.
Sebaliknya, Departemen Pertanian malah mengeluarkan kebijakan baru yang memungkinkan pembukaan lahan gambut untuk penanaman kelapa sawit meski memang disertai catatan tidak boleh dilakukan pada lahan gambut bertebal tiga meter.
Januari lalu Deptan malah memperbolehkan penggunaan kayu alam untuk bahan kertas hingga tahun 2009 dengan asumsi saat itu industri sudah siap beralih dari kayu hutan ke kayu akasia yang ditanam sendiri.
"Tapi karena ternyata belum ada yang tanam dan ijin kemudian diperpanjang sampai tahun 2014," katanya.
Bustar menjelaskan, sebenarnya dengan melindungi hutan pemerintah bisa mendapatkan keuntungan besar dari usaha-usaha internasional untuk mengurangi emisi yakni pendanaan negara-negara industri untuk melindungi hutan di negara berkembang.
Oleh karena itu Greenpeace menyarankan pemerintah segera melakukan upaya nyata dalam mengurangi deforestasi, termasuk menarik kembali undang-undang yang membolehkan konversi lahan gambut.
Selanjutnya, pasar karbon harus difokuskan pada upaya mendorong negara maju memotong emisi besar-besaran di negaranya dan membantu pendanaan hutan di negara-negara berkembang.
"Hal ini sebaiknya dilakukan dengan pendanaan hutan yang memberi nilai pada iklim dan keragaman hayati hutan dengan cara-cara yang menghormati hak masyarakat adat," demikian Bustar. (*)
Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009