Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah kalangan mengkhawatirkan kebijakan pemerintah yang menyerahkan ekspor beras kepada swasta akan menyulitkan dalam melakukan pengontrolan.
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), pengamat ekonomi maupun Asosiasi Pengusaha Logistik (Aplindo) di Jakarta, Rabu, menyatakan, beras merupakan komoditas strategis yang perdagangannya tidak bisa dilepas begitu saja ke pasar bebas.
"Ekspor beras kualitas apapun harus dilakukan melalui satu pintu atau eksportir tunggal sehingga mudah dikendalikan atau dikontrol," kata Ketua Badan Pertimbangan Organisasi HKTI, Siswono Yudhohusodo.
Sebelumnya, Deputi Menko Perekonomian, Bidang Pertanian dan Kelautan, Bayu Krisnamurthi, mengatakan, pemerintah memutuskan membuka kesempatan bagi swasta untuk ikut dalam ekspor beras.
"Jadi ekspor beras secara terbatas ini bukan monopoli Perum Bulog. Ini merupakan kebijakan baru yang ditetapkan dalam rapat koordinasi," katanya beberapa waktu lalu.
Dengan mengikutkan swasta, maka Bulog harus berkompetisi dengan swasta untuk memenuhi batas maksimal ekspor beras yang ditetapkan pemerintah sebanyak 100 ribu ton.
Sementera itu, Menteri Pertanian, Anton Apriyantono juga mengusulkan, agar ekspor beras dilakukan oleh swasta, alasan pelibatan swasta tersebut untuk meningkatkan margin keuntungan petani.
Secara terpisah, Guru besar Sosial Ekonomi dan Industri Pertanian Universitas Gajah Mada (UGM), Mohammad Maksum, mempertanyakan apakah sudah dipikirkan masak-masak untung ruginya melibatkan swasta dalam kebiatan ekspor beras.
"Apakah pemerintah sudah siap daya monitoring dan kontrol untuk mengatur volume ekspornya. Jika sudah siap mekanismenya apa," ujarnya.
Menurut dia, untuk mengontrol apakah swasta membeli gabah petani itu untuk ditimbun atau diekspor sulit dibedakan. Jangan sampai terjadi, dengan pembelian gabah yang dilakukan swasta begitu tinggi tahu-tahu cadangan beras dalam negeri ternyata tipis.
"Jika ternyata cadangan beras benar-benar tipis, dan akhirnya terjadi krisis pangan, harga beras melambung siapa yang bertanggung jawab? Apa swasta mau?," katanya mempertanyakan.
Maksum menyatakan, ketika harga beras tinggi swasta bisa jadi akan membongkar timbunan berasnya untuk dilempar ke pasar untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya.
Senada dengan itu, Sekjen Aplindo Nellys Soekidi menegaskan tidak perlunya melibatkan swasta dalam kegiatan ekspor beras.
"Selain tidak efektif urusan pangan yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus ditangani oleh pemerintah dalam hal ini Perum Bulog yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Nellys mengingatkan pemerintah, agar tidak bermain-main dengan masalah pangan utamanya beras, terlebih lagi melibatkan swasta ikut dalam ekspor beras secara langsung.
"Sebab jika terjadi sesuatu misalnya cukup tidaknya produksi sehingga perlu ekspor tidak ada yang menjamin," katanya.
Menurut dia, ekspor beras sebaiknya dilakukan lewat satu pintu atau melalui Perum Bulog karena dengan mendapatkan tugas PSO (Public Service Obligation) BUMN tersebut tak akan mengekspor beras sebelum kebutuhan dalam negeri terpenuhi.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009