Jakarta (ANTARA News) - Memasuki masa tenang, masyarakat benar-benar tenang. Mereka tidak lagi diganggu terpaan iklan politik yang bagaikan lebah mendengung.

Iklan-iklan politik, yang kebanyakan hanya menebar janji-janji atau klaim terhadap suatu keberhasilan, tak lagi menghiasi layar-layar kaca dan sejumlah halaman koran.

Rakyat yang jengah dengan gambar calon presiden atau caleg yang kerap muncul sejak berbulan-bulan lalu, kini bisa bernafas kembali.

Alangkah sia-sianya usaha keras yang telah dilakukan partai politik, caleg dan calon presiden, jika terbukti iklan-iklan itu tidak mampu membetot perhatian rakyat.

Pengamat politik Bima Arya tidak yakin ada korelasi antara banyaknya iklan oleh partai politik dengan jaminan meningkatkan rating popularitas parpol di mata masyarakat.

Ia memperkirakan, saat ini massa mengambang tetap sulit ditebak kemana hatinya. Mereka tak tergiring oleh iklan-iklan itu, padahal belanja iklan yang sudah dikeluarkan para caleg, parpol dan calon presiden selama ini teramat besar.

"Jika pada Pemilu 2004 totalnya biayanya hanya Rp 400 miliar, pada pemilu kali ini mungkin meningkat berlipat-lipat," kata pengamat politik Bima Arya saat berdiskusi BNI Economic Outlook 2009 bertajuk `opportunity in crisis` di Hotel Shangrila, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Bima meyakini tidak ada korelasi antara jumlah belanja iklan dan popularitas parpol. "Ada parpol yang banyak menggelontorkan dana, namun ratingnya rendah dan begitu sebaliknya," ujarnya.

Dia menambahkan kunci penting dalam Pemilu 2009 adalah memulihkan kepercayaan rakyat. Selain itu, berdasarkan survei, masyarakat akan memilih parpol yang mampu menyediakan lapangan pekerjaan dan memiliki akses ke pemerintahan serta mampu merealisasikan janji-janji yang dilontarkan pada masa kampanye.

Berbeda dengan Bima, Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Fadli Zon, menilai iklan yang selama ini dilakukan parpolnya efektif memperkenalkan Gerindra ke masyarakat.

"Hasil iklan (Gerindra) selama ini bahkan melebihi prediksi. Pada April 2008, hanya 3 persen responden yang mengetahui Partai Gerindra. Namun, pada Juni, angkanya meningkat menjadi 17 persen, 59 persen pada Agustus, dan 84 persen pada Oktober 2008," ujar Fadli.

Iklan diyakini juga merupakan faktor penting meningkatnya popularitas Partai Demokrat belakangan ini. "Iklan Demokrat masif dan memberi kesan positif," kata Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Saiful Mujani.

Nielsen Media Indonesia mencatat biaya iklan pemerintahan dan politik tahun 2008 telah mencapai Rp2,208 triliun, atau naik 66 persen dibandingkan dengan tahun 2007 yang hanya Rp1,327 triliun.

Menengok hasil pemilihan presiden 2004, saat itu pasangan Yudhoyono-Kalla yang diusung partai kecil gencar beriklan di media massa dan nyatanya dapat mengalahkan Megawati-Hasyim.

Histeria

Pengajar Universitas Paramadina Jakarta, Bima Arya Sugiarto, menambahkan, maraknya iklan politik saat Pemilu, disebabkan saat ini masih terjadi histeria media, khususnya televisi.

"Televisi hampir selalu ditemukan, meski kita berjalan di permukiman kumuh atau pelosok Indonesia. Hampir semua yang disiarkan media itu juga dilahap masyarakat. Jadi dapat tampil di media tersebut merupakan kesempatan besar yang dapat dimanfaatkan untuk apa saja, termasuk kampanye politik," papar Bima.

Maraknya iklan di media massa, juga diakibatkan rendahnya keterkaitan antara parpol dan masyarakat selama ini. Iklan menjadi sarana untuk menutup kelemahan parpol selama ini, khususnya dalam menumbuhkan keterkaitan dengan masyarakat.

Jika partai politik berhasil membangun jaringannya di masyarakat, mereka tidak perlu banyak beriklan di media massa. Namun, yang mengkhawatirkan adalah berbagai iklan itu muncul di tengah kesadaran dan pengetahuan sebagian besar masyarakat yang rendah terhadap politik. Akibatnya, iklan cenderung langsung diterima tanpa pengkritisan sebelumnya.

Kondisi seperti ini akhirnya hanya menampilkan politik ikon, yaitu politik yang berdasarkan citra tertentu yang dibentuk di media massa. "Risiko salah pilih besar kemungkinan terjadi pada politik ikon. Apalagi jika politik uang mulai ikut bermain. Sebab, yang muncul dalam citra di media bisa amat berbeda dengan kenyataan," papar Bima.

Tetapi pertanyaannya, bagaimana kalau iklan yang diberikan kepada rakyat ini hanya berisi pembodohan ?

Sebagai contoh adalah klaim keberhasilan incumbent yang menilai bahwa gara-gara kinerja pemerintahlah maka harga BBM diturunkan, Bantuan Langsung Tunai diluncurkan. Bahkan soal BLT ini jadi materi iklan yang sangat kontroversial, karena di satu pihak dianggap kutub penyelamat, di sisi lain malah dianggap hanya membuat rakyat menjadi bermental pengemis, dan dikritik sebagai upaya memuluskan parpol atau capres tertentu karena baru digelontorkan menjelang pemilu 2009.

Apa pula iklan yang berisi tentang janji parpol yang akan memberi dana bagi setiap desa miliaran rupiah, apabila parpolnya menang dalam pemilu 2009, padahal seharusnya mereka tahu tidak mungkin gagasan ini berhasil tanpa bantuan parpol lainnya.

Promosi besar-besaran dari partai dengan mendengung-dengungkan janji-janji manis mereka untuk mensejahterakan rakyat begitu terasa sangat kontradiktif dengan situasi yang sedang terjadi di Indonesia. Satu partai menawarkan kinerja parpol yang jujur dan bersih, parpol yang lain menawarkan pemberantasan korupsi, kesejahteraan rakyat, nasionalisme yang tinggi, lapangan pekerjaan yang layak, semua itu diiklankan melalui media massa cetak, televisi dan radio.

Beberapa parpol menggunakan ketokohan seseorang untuk mengesankan ia dekat dengan para petani dan memperjuangkan produk-produk dalam negeri. Padahal yang terjadi ia tengah menghambur-hamburkan uang demi sebuah promosi yang sebenarnya sangat tidak relevan dengan keadaan masyarakat yang terpuruk di tengah kemiskinan.

Atau ada parpol lain yang mengiklankan penurunan angka kemiskinan di Indonesia dan pertumbuhan sebesar 6 persen di sektor ekonomi, dan menuai banyak kritik pedas karena tidak sesuai dengan yang terjadi di lapangan. Karena faktanya saat ini penyerapan tenaga kerja masih sangat minim, pengangguran meningkat tajam dan kenaikan harga BBM yang hampir-hampir membuat seluruh sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) gulung tikar.

Keluarga

Pengamat komunikasi AG. Eka Wenats Wuryanta juga menilai maraknya iklan politik di media massa termasuk di televisi, pengaruhnya tak sehebat yang diharapkan.

Menurut mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi UI ini, kehadiran iklan politik akan menjadi agenda masyarakat, apabila diberitakan terus menerus.

Eka ragu apakah terpaan iklan ini efektif dalam menyumbang keputusan calon pemilih untuk memilih parpol tertentu. Ia justru melihat iklan politik sebagai upaya pemborosan dana yang luar biasa jumlahnya.

"Terpaan iklan politik hanya menyumbang antara 5-10 persen dari keputusan seseorang memilih atau mencentang saat pemilu 2009," kata staf pengajar Universitas Paramadina ini.

Tetapi justru yang banyak mempengaruhi keputusan mencentang adalah faktor-faktor lain seperti faktor keluarga, atau latar belakang kelompok sosial semacam itu.

"Faktor-faktor primordial, agama, entah itu kesukuan, keluarga amat berpengaruh apalagi bagi pemilih pemula yang jumlahnya cukup banyak. Si pemula akan bertanya kepada bapak ibunya apa yang akan mereka centang pada kali pertama," ujarnya.

Dia melihat, rakyat Indonesia makin hari semakin cerdas dan tidak akan mempan dibodohi terus semacam itu lewat tayangan-tayangan iklan parpol atau capres yang menyeruak di layar dan halaman-halaman koran-koran bergengsi.

"Menurut saya iklan dan gaya kampanye terbuka, percuma. Dalam arti harus diubah sistemnya. Kita tidak bisa berada terus dalam situasi kampanye terbuka yang lebih menonjol acara dangdut. Substansi pembicaraan juru kampanye akan hilang atau kalah dengan geliat erotis penyanyi dangdut." ujarnya. (*)

Oleh Oleh Indiwan Seto Wahju Wibowo
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009