Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PKS Sukamta menilai penyebaran COVID-19 yang saat ini hampir menyentuh semua provinsi di Indonesia, tidak cukup mengatasinya dengan kebijakan pembatasan sosial berskala besar dan tidak perlu menyikapinya dengan kebijakan darurat sipil.

"Saat ini kita hadapi pandemi COVID-19 yang telah menyebar dengan cepat dan menjadi ancaman nyata bagi kesehatan dan nyawa rakyat Indonesia. Dalam UU Kekarantinaan Kesehatan, kondisi ini disebut sebagai kedaruratan kesehatan, bukan darurat sipil," kata Sukamta dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa.

Menurut Sukamta, masyarakat membutuhkah langkah konkret dan segera untuk mencegah penyebaran COVID-19. Hal itu pilihannya adalah dengan melakukan karantina wilayah sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Langkah yang perlu dilakukan di dalam UU tentang Karantina Kesehatan, kata dia, sudah sangat jelas jika arahnya membatasi pergerakan orang agar tidak keluar masuk yang dilakukan adalah karantina wilayah atau istilah populernya lockdown.

Baca juga: Kepala daerah diminta tak boleh gegabah ambil kebijakan "lockdown"

"Jika masalahnya adalah perlu peraturan pemerintah untuk sebagai peraturan pelaksana, segera buat PP tersebut. Itu menjadi domain pemerintah sepenuhnya semestinya bisa segera dibuat," kata Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI ini.

Setelah Pemerintah menetapkan status darurat bencana COVID-19 pada tanggal 29 Februari 2020 atau sudah berjalan selama 1 bulan, berbagai langkah yang dilakukan perlu dimaksimalkan untuk menekan perkembagan virus corona. Sebaliknya, virus semakin menyebar dengan kenaikan pasien positif lebih dari 500 persen.

Sukamta memandang perlu Pemerintah mengevaluasi secara menyeluruh dan juga bisa mengambil pengalaman negara-negara lain yang berhasil menekan penyebaran virus serta menekan jumlah korban jiwa, seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Korea Selatan, dan Singapura.

"Pengalaman negara lain menyisakan dua pilihan, yaitu lockdown atau perbanyak tes COVID-19. Sejauh ini Pemerintah mencoba memperbanyak tes dengan mengimpor rapid test yang oleh beberapa ahli dikatakan tingkat akurasinya sekitar 30 persen. Jumlahnya masih terbatas sehingga tidak mampu mengimbangi kecepatan penyebaran virus," katanya.

Sukamta memahami untuk melakukan lockdown tentu membutuhkan perhitungan yang cermat supaya bisa berjalan dengan sukses.

Selain itu, menurut dia, juga membutuhkan anggaran yang cukup besar, setidaknya untuk menjamin ketersediaan kebutuhan pokok masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah.

Di samping itu, juga perlu memberikan insentif bagi pekerja sektor informal yang terdampak dan juga dunia usaha.

Baca juga: Legislator: Doni bisa terapkan kembali 'pentahelix' melawan COVID-19

Sukamta pernah membuat hitungan, yaitu perlu Rp12,5 triliun untuk jaminan kebutuhan pokok penduduk miskin, Rp300 triliun untuk insentif pekerja sektor informal dan dunia usaha jika dilakukan lockdwon di Pulau Jawa selama 2 bulan.

Anggaran sejumlah itu, menurut dia, bisa disedikan dengan melakukan realokasi anggaran di APBN yang tidak mendesak.

Menurut dia, masyarakat secara mental siap untuk lockdown. Hal ini terbukti dengan banyak tempat di dusun, kampung melakukan lockdwon swadaya.

"Masyarakat sudah makin paham bahaya penyebaran COVID-19, caranya dibatasi orang yang keluar masuk ke dusun atau kampung. Beberapa pemerintah daerah yang juga punya niatan lakukan karantina wilayah karena peningkatan jumlah penderita," katanya.

Ia mengatakan bahwa niatan baik masyarakat dan pemda itu seharusnya mendapat dukungan dengan segera menerbitkan payung hukum, seperti peraturan pemerintah (PP) agar karantina wilayah berjalan optimal.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020