(ANTARA News) - Perahu-perahu kelotok yang bersandar dan berderet di bibir Pantai Pamuna, siang itu, seakan menjadi lambang tak adanya kegiatan berarti para nelayan.

Gelombang Laut Jawa siang itu relatif tenang dibandingkan beberapa hari sebelumnya. Namun para nelayan di Pulau Bawean dan Pulau Gili, Jawa Timur tetap saja tidak melaut.

"Tak ada ikan," kata Saleh (45) di sela-sela kesibukannya menambal lambung perahunya di pantai timur Pulau Bawean itu tanpa ekspresi.

Selama tidak ada ikan, para nelayan di Pantai Pamuna menyibukkan diri dengan memperbaiki perahu dan pukat. Sebagian lainnya memilih bercocok tanam.

Dibandingkan dengan beberapa wilayah di Pulau Bawean, lahan pertanian di sekitar Pantai Pamuna relatif lebih subur karena dukungan saluran irigasi yang lebih optimal.

Para nelayan di Dusun Pamuna, Desa Sidogedungbatu, Kecamatan Sangkapura, Pulau Bawean, memiliki gantungan hidup sampingan di sawah. Padi di sekitar pantai itu sudah mulai menguning. Berarti hanya tinggal menghitung hari lagi mereka akan panen.

Namun tidak sedikit penduduk di desa itu yang hanya bisa mengandalkan hidupnya di lautan. Di saat sepi ikan seperti sekarang, mereka tetap saja melaut karena tak punya pilihan lain.

Hal itu, misalnya, dilakukan Irwan Saputra. Ditemani seorang rekannya, pria berusia 27 tahun itu memacu perahu kelotoknya untuk mengarungi Laut Jawa yang sore itu gelombangnya sudah mulai meninggi.

Setelah berlayar sekitar 1,5 jam, dimatikannya mesin tempel perahu. Agar tidak terombang-ambing arus gelombang, sauh pun ditancapkannya di dasar laut.

Irwan bersiap-siap melakukan penyelaman dengan peralatan seadanya, kacamata dan masker. Masker yang menutupi mulut dan hidungnya itu tersambung dengan selang panjang pada katup tabung yang diletakkan di atas perahu. Masker itu bisa membantunya bernapas di dalam air, meski dalam waktu yang sangat terbatas.

Sambil mengitari terumbu karang di kedalaman 15 meter hingga 25 meter, tangan-tangan cekatan pria berambut ikal itu memungut binatang laut yang kulitnya berbulu dan besarnya seukuran mentimun muda.

Satu per satu teripang (Holothusia edulis) yang berhasil dipungutnya itu dimasukkannya ke dalam "wangsal", sebuah wadah tertutup yang terbuat dari rajutan senar, mirip sebuah jaring ikan.

Sesekali kepalanya menyembul ke permukaan air untuk sekadar mengambil napas, dalam sekejap tubuh pria yang dikaruniai seorang anak itu lenyap di hamparan luas Laut Jawa.



Maut mengancam

Meski penuh risiko, perantau asal Kampung Rote, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu tetap menekuni pekerjaannya untuk menghidupi istri dan seorang anaknya yang tinggal di Dusun Satu, Desa Teluk Dalam, Kecamatan Sangkapura, Pulau Bawean.

Hampir setiap hari Irwan menyelami Laut Jawa yang mengitari gugusan Pulau Bawean. "Yang penting hati-hati, kalau badan kurang sehat, lebih baik tak usah menyelam," kata suami Linda Zulvia itu menuturkan.

Penyelaman yang dilakukan dengan peralatan seadanya itu sangat berisiko. Mereka bisa mengalami kelumpuhan yang berakhir dengan kematian.

Penyelaman dengan hanya menggunakan bantuan udara melalui kompresor berisiko terkena keracunan nitrogen (decompression sickness maupun nitrogen narcosis).

Penyakit dekompresi itu terjadi akibat seseorang terlalu lama berada di bawah laut, apalagi jika arus sedang deras. Kondisi ini membuat tulang, otot, dan persendian melemah.

Kebiasaan penyelam naik ke permukaan laut terlalu cepat, mendahului kecepatan gelembung udara yang diembuskannya, dapat berakibat fatal.

Gelembung gas yang terbentuk dalam jaringan tubuh dapat menghentikan aliran darah yang dapat dirasakan seperti orang kesemutan. Jika pembuluh ke otak atau saraf tersumbat, dalam jangka panjang dapat mengakibatkan kelumpuhan.

Bagi Irwan, hal itu bukan ancaman yang menakutkan, apalagi saat ini harga teripang sedang bagus, yakni Rp200ribu-Rp300ribu per kilogram. Tentu sebuah nilai nominal yang menggiurkan, di saat lautan sedang tidak banyak ikan.

"Kami pernah mendapatkan ancaman maut yang lebih serius dari sekadar di gelombang dan arus di bawah laut," katanya mengenang peristiwa pengeroyokan yang nyaris merenggut nyawanya di Pulau Gili lima tahun silam.

Kedatangan anak pasangan Adam Malelak dan Anna Baleng dari NTT ke pulau itu dianggap membawa misi tertentu. Namun berkat pertolongan tokoh agama di Pulau Gili, jiwa Irwan terselamatkan. Warga Pulau Gili pun akhirnya memperkenalkan seorang perempuan yang kini menjadi pendamping hidupnya di Pulau Bawean itu.

"Nggak tahu, sampai kapan saya harus menyelam," kata pria yang berkeinginan bisa menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi itu.

Lain Iwan lain pula Maksum. Pria berusia 46 tahun itu memilih mundur dari profesi yang ditekuninya selama hampir 25 tahun setelah sebagian organ tubuhnya mengalami gangguan.

"Saya sudah tidak kuat lagi melakukan apa-apa," kata Maksum saat ditemui di rumahnya di Desa Sawah Laut, Kecamatan Sangkapura, Pulau Bawean.

Di benaknya masih tersimpan keinginan untuk menyelam lagi, mengingat harga teripang yang terbilang bagus untuk ukuran seorang nelayan.

"Mungkin kalau anak dan istri tidak mencegah, saya sudah menyelam. Terus terang, saya tergiur dengan harga teripang saat ini," katanya sambil mengubur dalam-dalam keinginannya itu.



Bara konflik

Selain menyimpan aneka satwa laut terutama teripang yang bisa menopang perekonomian sebagian masyarakat, di bawah perairan Bawean itu terdapat kekayaan alam yang harus tetap dilestarikan sepanjang masa, yaitu terumbu karang.

Bahkan Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanla) Jawa Timur menaruh harapan besar terumbu karang di perairan Bawean tetap terjaga kelestariannya.

"Hanya di Bawean terumbu karang kondisinya lebih bagus dibandingkan dengan daerah lainnya di Jatim," kata Kepala Diskanla Jatim Kardani.

Dulunya, di Jatim banyak ditemukan terumbu karang yang masih bagus, mulai dari pesisir Tuban, Lamongan, Situbondo, Banyuwangi (Laut Jawa), Malang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, dan Pacitan (Samudra Hindia).

Namun terumbu karang di daerah-daerah pesisir itu kini sudah punah akibat kegiatan para nelayan yang menggunakan bahan kimia jenis potasium, nitrogen, dan pencemaran.

"Praktis, di Jatim kini hanya tinggal 40 persen terumbu karang yang masih hidup. Paling banyak berada di perairan Pulau Bawean," kata Kardani saat ditemui di sela-sela rapat koordinasi dengan pejabat Diskanla se Jatim di Surabaya, beberapa hari lalu.

Tapi, nasib terumbu karang di perairan Bawean tak beda jauh dengan terumbu karang di daerah lain yang perlahan-lahan punah akibat ulah manusia.

Kelestarian terumbu karang di perairan Bawean, terutama di sekitar Pulau Gili, Pulau Noko, dan Pulau Bawean terancam kepunahan akibat aktivitas para pemburu teripang.

Bahkan, keberadaan para pemburu teripang menyulut bara konflik horizontal. Para nelayan yang hanya menggantungkan hidup dengan menangkap ikan tidak suka dengan kegiatan para pemburu teripang yang membawa nitrogen untuk membantu pernapasan.

Bakan tak segan-segan para nelayan itu mengambil sikap "main hakim sendiri" terhadap para pemburu teripang. "Sudah diperingatkan, tapi tetap saja melakukan hal itu, terpaksa kami menyelesaikannya dengan cara kami sendiri," kata Agung Abdullah (35), nelayan Pulau Gili.

Nitrogen yang dibawa oleh para pemburu teripang itu mengakibatkan terumbu karang tererosi dan materialnya terbawa hingga ke pantai. "Kalau terumbu karang banyak yang rusak, sudah barang tentu jarang ikan. Selama ini ikan di sini melimpah karena banyaknya terumbu karang yang cocok jadi tempat persembunyian ikan," katanya.

Hingga kini, Diskanla Jatim tak mampu menengahi konflik antara para pencari teripang dengan nelayan di perairan Bawean itu, bahkan cenderung melemparkan tanggung jawab kepada pemerintah daerah.

"Itu sudah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah setempat. Kalau itu terjadi di Pulau Bawean, berarti yang bertanggung jawab Pemkab Gresik," kata Kardani.

"Boleh-boleh saja mencari teripang, tapi jangan lupa dengan hayati laut yang tetap harus dilindungi. Jangan sampai terumbu karang itu rusak semua gara-gara aktivitas para pencari teripang," katanya menambahkan.

Ia mengaku, terbatasnya jumlah personel, yakni sembilan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dan 18 petugas pengawasan laut, menjadi alasan utama bagi Diskanla Jatim dalam mengawasi kelestarian terumbu karang. (*)

Oleh oleh M. Irfan Ilmie
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009