"Akar konflik di Papua sampai sekarang belum diurus dengan baik yaitu masalah marginalisasi orang Papua, pelanggaran Hak Azasi Manusia dan lainnya," kata Muridan kepada ANTARA di Jakarta, Minggu.
Muridan dimintai tanggapannya terkait kasus pendudukan lapangan terbang perintis Kasiepo di Distrik Mamberamo Hilir, Kabupaten Mamberamo Raya oleh kelompok bersenjata sejak 19 Mei lalu.
Menurut dia, tanpa adanya niat baik dan platform yang sama dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di Papua untuk menuntaskan masalah-masalah mendasar orang Papua maka wilayah di ujung timur Nusantara ini tetap akan konflik.
"Stabilitas politik dan keamanan di Papua sangat rapuh. Kejadian-kejadian kecil bisa dipakai untuk sebuah isu politik yang besar. Semua kelompok bisa bermain di Papua," kata Muridan.
Berkaitan dengan kasus pendudukan lapangan terbang perintis Kaisiepo di Memberamo Hilir, Muridan menduga hal itu merupakan dampak dari konflik kepentingan elit politik lokal.
"Kelompok separatis di Papua macam-macam, ada kelompok yang sudah lama, tetapi ada juga yang bisa terbentuk dengan sendirinya dalam waktu kapan saja," katanya.
Dia mengatakan masyarakat Papua sebetulnya sudah jenuh dengan berbagai konflik yang terjadi yang tidak jelas akar persoalannya. Masyarakat Papua, menurut Muridan, menghendaki penyelesaian secara menyeluruh terhadap berbagai persoalan yang ada di Papua sebagaimana yang terjadi dengan di Nangroe Aceh Darussalam.
"Penyelesaian masalah Papua tidak pernah sampai tuntas seperti di Aceh. Itulah yang membuat Papua menjadi rapuh," katanya.
Agar rakyat Papua bisa menikmati hidup yang aman, Muridan meminta unsur pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Papua harus benar-benar komit untuk menjalankan empat agenda utama Otonomi Khusus (Otsus) yaitu pembenahan yang tuntas sistem pendidikan dasar dan kesehatan yang masih sangat memprihatinkan, dan mendorong tumbuh dan berkembangnya ekonomi kerakyatan agar rakyat Papua merasa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari NKRI.
Selain itu, pengusutan dan proses hukum yang fair kepada kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM.
Muridan juga mengingatkan pemerintah dan aparat penegak hukum agar tidak lagi menggunakan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan konflik di Papua karena pendekatan seperti itu justru menjadi biang kerok dari berbagai permasalahan yang terjadi di Papua selama ini.
Sebagaimana diketahui, untuk membebaskan lapangan terbang perintis Kaisiepo di Distrik Memberamo Hilir, jajaran Polda Papua telah menyiapkan satu kapal polisi perairan (Polair) dan sejumlah perahu kayu di dekat lokasi kejadian.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Abubakar Nataprawira di Jakarta, Jumat lalu mengatakan kapal Polair dipakai sebagai sarana negosiasi antara polisi dengan kelompok bersenjata.
"Kapal Polri itu dilengkapi dengan pengeras suara sehingga dapat dipakai untuk menghimbau warga agar meninggalkan lapangan terbang," katanya.
Sedangkan sejumlah perahu disediakan untuk warga yang bersedia meninggalkan lapangan terbang secara sukarela. Polri, katanya, hingga kini tetap menggunakan upaya persuasif dengan melibatkan tokoh agama, tokoh adat dan pejabat pemerintah setempat.
"Upaya negosiasi telah tiga kali dilakukan dan akan terus diupayakan agar mereka meninggalkan lapangan terbang secara sukarela," ujarnya.
Menurut dia, kendati jumlah warga yang menduduki bandara sekitar 150 orang namun hanya tiga orang yang memiliki senjata api dan diduga sebagai pihak yang menggerakkan warga.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009
Lembaga negara bukan saling tolak masalah, tetapi merefleksikan secara bersama guna mencari solusi bagi kedaulatan bersama.
Sebab konflik masih saja terjadi walaupun sudah ada solusi otonomi Khusus bagi Papua. Entah mengapa begini? Elite Jakarta tidak me-reka reka solusi, tetapi kembalikan kepada rakyat Papua pemegang kedaulatan. Trims