Bali (ANTARA News) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, krisis keuangan global yang saat ini sedang terjadi menunjukkan ekonomi tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar lewat tuntunan tangan-tangan tak terlihat (invisible hand) yang menjadi prinsipnya.

Invisible hand adalah prinsip kunci dalam teori ekonomi klasik dari ekonom Adam Smith yang menjadi inti ideologi pasar bebas murni.

"Krisis menunjukan kepada kita keterbatasan dari invisible hand di dunia nyata. Kita lihat bagaimana the invisible hand membantu keruntuhan Lehman Brothers, Bear Stern dan lembaga investasi besar lainnya, yang didalamnya terdapat tabungan ribuan orang," katanya di Bali, Sabtu.

Ia menjelaskan, pasar keuangan global yang dibiarkan bebas telah mendorong terciptanya inovasi produk keuangan yang tidak bertanggung jawab.

"Banyak diantaranya (produk keuangan) tanpa penilaian yang memadai," katanya. Hal ini telah membuat gelembung keuangan, dimana uang berlipat-lipat tak terkendali akibat berbagai produk keuangan yang bebas dijual tersebut.

Disisi lain menurut dia, periode kebijakan moneter yang sangat lemah berjalan cukup panjang, lemahnya penilaian risiko, dan ketidakseimbangan global menyediakan amunisi bagi dana yang mudah bergerak menjadi pelatuk yang meledakan gelembung di sektor keuangan.

Ia menambahkan, semua faktor itu bergabung dengan rusaknya moral para manajer keuangan dan pembuat keputusan sehingga terjadi perilaku yang sangat menyimpang dalam keberanian mengambil resiko.

Ketika gelembung meletup di AS, membuat dana yang sebelumnya berlebih menjadi kering, terutama karena adanya pemburukan oleh membesarnya kerugian di sektor keuangan di AS.

Hal ini, membuat fungsi intermediasi (penghubung antara mereka yang membutuhkan dana dengan yang berlebihan dana) menjadi terganggu setelah para pemilik dana tidak lagi mempercayai penyaluran dana dengan lebih memilih mengamankannya.

Alhasil, suku bunga di pasar meningkat karena likuiditas sulit dicari, sementara persepsi risiko baik untuk kemudian mengglobal. Dan negara berkembang yang tidak ada hubungannya dengan produk keuangan tersebut pun menjadi korban prilaku irasional itu.

Karena persepsi risiko meningkat maka bunga surat utang baik korporasi maupun negara menjadi berlipat-lipat, meski tanpa penilaian yang adil terhadap kekuatan (fundamental) ekonomi yang dimilikinya.

Akibatnya, negara berkembang kesulitan mencari dana di pasar keuangan karena suku bunga yang ditawarakan tidak masuk akal.

Di sisi Lain, akibat kerugian besar di AS, dana-dana mengalir keluar dari negara berkembang ke AS yang digunakan untuk membiayai kerugian yang dialami AS itu.

Akibatnya, nilai tukar negara-negara berkembang melemah, begitu pula bursa efek mencatat penurunan tajam karena aliran dana keluar tersebut.

Tak hanya pada sektor keuangan, krisis ini merambat ke sektor riil di mana saluran kredit ke sektor riil terganggu.

Bank melihat kekeringan likuditas membuat mereka berhati-hati sehingga kredit untuk sektor riil pun mengalir tersendat karea hati-hati atau bahkan tertahan. Akibatnya membuat sektor riil sulit bergerak, dan permintaan duniapun anjlok.

"Aksi irasional ini menghukum kita dengan bunga surat utang yang tinggi, pasar irasional. Kita adalah korban," katanya. (*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009