Jakarta (ANTARA News) - PT Pertamina (Persero) dan PT Medco Energi Internasional Tbk tetap mengharapkan produksi gas Senoro, di Sulawesi Tengah tetap diekspor, sebab akan memberikan penerimaan negara yang paling besar.

Pernyataan itu diungkapkan juru bicara Pertamina Basuki Trikora Putra dan Direktur Proyek Medco Energi Internasional Lukman Mahfoedz dalam kesempatan terpisah di Jakarta, Kamis, menanggapi pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menyatakan seluruh gas Senoro akan diperuntukkan bagi kebutuhan pasar domestik.

Basuki Trikora Putra mengatakan, Pertamina melihat opsi ekspor dan sebagian buat domestik akan memberikan penerimaan yang maksimal buat Indonesia.

"Apalagi, gas Senoro ini sudah ditetapkan dalam suatu kontrak dengan pembeli Jepang yakni Chubu dan Kansai," katanya.

Menurut dia, Pertamina telah memberi jaminan ke pembeli Jepang tersebut bahwa kontrak gas tetap akan dijalankan.

Sedang, Lukman Mahfoedz mengatakan, ekspor merupakan opsi terbaik bagi pengembangan blok marjinal yang sudah 28 tahun tidak dikembangkan.

"Apalagi, proyek ini murni swasta, tanpa membebani negara, dan tanpa cost recovery," katanya.

Ia juga menambahkan, tidak mudah mencari pendanaan proyek Senoro yang mencapai 3,4 miliar dolar AS dan tanpa jaminan pemerintah di tengah situasi krisis global sekarang ini.

"Kalau dengan cara lain, berapa lama lagi harus menunggu," katanya.

Sebelumnya, Dirut Pertamina Karen Agustiawan mengungkapkan, potensi penerimaan negara dari pengembangan gas Senoro mencapai 6,4 miliar dolar AS atau Rp64 triliun selama 15 tahun masa kontrak.

Potensi tersebut merupakan pilihan terbaik dari empat skenario yang ada.

Keempat skenario itu adalah pertama, gas buat PT DS LNG dan petrokimia. Opsi itu dengan asumsi volume gas sebesar 335 MMSCFD yang berasal dari Blok Senoro 250 MMSCFD dan Matindok 85 MMSCFD masuk ke kilang DS LNG dan 70 MMSCFD lainnya dari Senoro buat petrokimia.

Alternatif tersebut memberikan penerimaan negara sebesar 6,4 miliar dolar AS pada harga minyak 70 dolar AS dan delapan miliar dolar AS pada harga minyak 80 dolar AS.

Dengan skenario tersebut maka pendapatan negara sudah positif sejak tahun pertama kilang beroperasi dengan nilai 430 juta dolar AS per tahun pada harga minyak 70 dolar AS.

Skenario kedua adalah gas 335 MMSCFD yang berasal dari Blok Senoro 250 MMSCFD dan Matindok 85 MMSCFD masuk ke kilang DS LNG dan tidak ada alokasi buat petrokimia.

Dengan skenario kedua ini negara mendapat penerimaan 5,7 miliar dolar AS.

Skenario ketiga adalah gas 335 MMSCFD yang berasal dari Blok Senoro 250 MMSCFD dan Matindok 85 MMSCFD buat petrokimia dan tidak ada yang dialokasikan ke kilang DS LNG.

Melalui opsi itu negara mendapat penerimaan 2,5 miliar dolar AS.

Namun, skenario itu terdapat kelemahan karena kemampuan penyerapan domestik saat ini hanya 70 MMSCFD, sehingga sebagian besar gas tidak bisa diproduksikan.

Sedang skenario keempat adalah sebanyak 265 MMSCFD yang berasal dari Blok Senoro 180 MMSCFD dan Matindok 85 MMSCFD masuk ke kilang DS LNG dan 70 MMSCFD buat petrokimia.

Alternatif terakhir ini memerikan penerimaan negara sebesar lima miliar dolar AS.

Akan tetapi, skenario tersebut dapat menyebabkan kemunduran jadwal proyek karena harus mengubah desain awal.

Selain itu, tidak ekonomis membangun kilang LNG dengan suplai hanya 265 MMSCFD karena minimum membutuhkan 335 MMSCFD, sehingga tidak menarik investor.

Skenario ketiga dan keempat juga membutuhkan investor petrokimia yang mempunyai kemampuan keuangan dan mampu mencari sumber pendanaan yang cukup sulit sekarang ini. (*)

Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009