Brisbane (ANTARA News) - Dua warga negara Indonesia, Beni dan Mohamad Tahir, Rabu, divonis Pengadilan Magistrat Darwin lima tahun penjara karena menyelundupkan 47 orang Afghanistan ke Australia pada 14 April.

Hakim pengadilan itu membuka peluang bagi pembebasan mereka, kata seorang diplomat RI.

"Vonis lima tahun penjara bagi Beni dan Tahir dijatuhkan hakim pukul 10.00 Rabu pagi tadi. Setelah tiga tahun menjalani hukuman penjara, mereka bisa mengajukan `parole` atau permintaan bebas selama mereka berkelakuan baik," kata Sekretaris III Konsulat RI Darwin Wahono Yulianto.

Kepada koresponden ANTARA yang menghubunginya dari Brisbane, Wahono mengatakan, hakim Pengadilan Magistrat Darwin membuka kesempatan kepada keduanya untuk mendapat pembebasan lebih cepat jika mereka dapat "memberikan informasi yang sangat berguna" bagi upaya penumpasan aksi penyelundupan manusia.

"Hakimnya tadi membuka kesempatan kepada Beni dan Tahir jika mereka dapat membantu upaya penyelidikan aparat Australia dengan memberi mereka informasi yang sangat berguna dalam penyelidikan aksi penyelundupan manusia, khususnya aktor dan pelaku peledakan kapal mereka 16 April lalu," katanya.

Hakim memandang Beni dan Tahir hanya sebagai korban otak sindikat penyelundupan manusia dan mereka dijanjikan "bebas setelah setahun menjalani hukuman di penjara" jika mereka dapat memberikan informasi yang sangat berguna bagi upaya penumpasan aksi penyelundupan manusia, termasuk insiden 16 April, katanya.

Berkaitan dengan hukuman yang dijalani Beni dan Tahir, Wahono mengatakan, keduanya berharap mereka dapat menjalani masa hukumannya di Penjara Hakea, Perth, Australia Barat, karena di sana ada banyak orang Indonesia yang senasib dengan mereka.

"Tahir dan Beni minta dipindahkan ke Perth sebagai tempat mereka menjalani hukuman karena di sana ada lebih banyak WNI yang senasib, sedangkan di Penjara Berrimah Darwin, tidak banyak narapidana Indonesia," katanya mengutip permintaan keduanya.

Beni dan Tahir adalah nelayan Indonesia yang berurusan dengan hukum Australia setelah kapal kayu yang mereka awaki ditangkap kapal perang Australia, HMAS Albany, sekitar dua mil dari Pulau Karang Ashmore pada 14 April bersama 47 orang pencari suaka asal Afghanistan.

Kapal mereka kemudian meledak saat dikawal HMAS Albany menuju Pulau Christmas, Australia Barat pada 16 April 2009 pagi. Insiden ledakan itu menewaskan lima orang pencari suaka dan melukai beberapa orang lainnya, termasuk Beni dan Tahir.

Keduanya bersama sejumlah pencari suaka yang terluka sempat dirawat di rumah sakit di Brisbane dan Perth. Namun berbeda dengan Beni dan Tahir yang divonis lima tahun penjara, 42 orang pencari suaka asal Afghanistan yang menumpang kapal mereka telah pun dibebaskan Australia dengan status residen tetap.

Berdasarkan hukum Australia, para pelaku penyelundupan manusia diancam hukuman maksimal 20 tahun penjara.

Perahu yang dinakhodai Mohamad Tahir dan Beni ini merupakan kapal pengangkut migran gelap keenam yang ditangkap di perairan Australia pada 2009.

Hingga Oktober 2009, sudah lebih dari 30 kapal pengangkut pencari suaka asing yang ditangkap aparat keamanan laut Australia. Jumlah ini sudah melampaui jumlah kapal yang menerobos perairan negara itu tahun lalu.

Kedatangan ribuan pencari suaka ilegal secara bergelombang lewat laut ke Australia dalam setahun terakhir ini memunculkan perdebatan sengit antara kubu pemerintah dan kubu oposisi.

Perdana Menteri Kevin Rudd melihat "faktor-faktor keamanan global" sebagai pendorong munculnya kasus-kasus baru para pencari suaka ke Australia sedangkan kubu oposisi menuding perubahan kebijakan pemerintah federal Australia sebagai pemicunya.

Di era pemerintahan PM John Howard, Australia menerapkan kebijakan "Solusi Pasifik", yakni para pencari suaka yang tertangkap di perairan negara itu dikirim ke Nauru. Mereka yang dianggap pantas diberi visa proteksi sementara.

Setelah pemerintahan beralih ke tangan Partai Buruh Australia, kebijakan "Solusi Pasifik" dan "visa proteksi sementara" ini kemudian dihapus.

Sebagai penggantinya, pemerintahan PM Rudd sepenuhnya memberdayakan keberadaan pusat penahanan imigrasi di Pulau Christmas dan memberikan visa residen tetap bagi para pencari suaka yang telah menjalani pemeriksaan dan mendapatkan status pengungsi.

Aksi penyelundupan ribuan orang pencari suaka asing dengan perahu-perahu kayu ke Australia itu kembali marak sejak 29 September 2008.

Di antara para nakhoda perahu-perahu pengangkut ratusan orang pencari suaka itu berasal dari Indonesia.

Sejak September 2008, Polisi Federal Australia telah menahan 57 orang terdakwa kasus penyelundupan manusia. Sebanyak 53 orang di antaranya adalah para awak dan nakhoda kapal yang mengangkut ribuan pencari suaka ke negara itu.

Setiap tahun Australia menerima sedikitnya 13.500 orang pengungsi.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009