Trenggalek (ANTARA News) - Jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Trenggalek, Jawa Timur, menuntut dua orang rekanan yang menjadi terdakwa dalam korupsi pengadaan barang teknologi informasi (TI) tahun 2007 dengan hukuman masing-masing empat tahun dan lima tahun penjara.

Sidang yang berlangsung terpisah pada Kamis itu dihadiri kedua terdakwa, yakni Hamid Subagyo dan Nuryanto. Sidang yang digelar di ruang I Pengadilan Negeri (PN) Trenggalek itu dipimpin oleh hakim ketua Iwan Hariwinanto didampingi dua hakim anggota lain, yakni hakim Sunarti dan Joko waluyo.

Pada sidang pertama yang berlangsung kurang lebih satu jam, JPU Ririn dan Ipe secara bergantian membacakan amar tuntutan yang tertuang dalam surat tuntutan dengan nomor registrasi PERK: PDS-05/TRGAL/0208 atas diri terdakwa Hamid Subagyo yang intinya berisi ancaman hukuman selama empat tahun penjara.

JPU berkeyakinan bahwa terdakwa telah secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 2 ayat (1) UU RI nomor 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi sebagaimana diperbaharui dengan UURI nomor 20 tahun 2001.

"Perbuatan terdakwa telah merugikan keuangan negara sebesar Rp618,176 juta," kata jaksa Ririn saat membacakan materi tuntutannya.

Selain menuntut hukuman empat tahun penjara dikurangi masa penahanan, terdakwa Hamid juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp200 juta subsider enam bulan kurungan.

Menanggapi tuntutan tersebut, penasehat hukum terdakwa Hamid, Krisna Budi Cahyana menyampaikan keberatannya terhadap isi materi tuntutan jaksa. Dia menilai bahwa "klien" yang didampingi hanya menjadi korban.

"Dimana-mana yang namanya kasus korupsi itu biasanya yang dibidik terlebih dahulu adalah pejabat atau penyelenggara anggarannya terlebih dahulu, bukan rekanan. Menurut saya, kasus ini aneh dan terkesan seperti ada `permainan`," kata Krisna Budi tanpa bersedia menjelaskan lebih rinci apa yang dia maksud dengan "permainan" itu.

Dia hanya mengisyaratkan bahwa "klien" yang didampinginya sengaja dijadikan "tumbal". Indikasinya, selain penanggung jawab justru sama sekali tidak "disentuh" jaksa, proyek pengadaan barang teknologi informasi senilai Rp1,416 miliar itu telah melalui prosedur pelaksanaan yang ditentukan.

"`Kan sudah ada pengawas proyeknya. Kalau memang pelaksanaan proyek tersebut dianggap bermasalah, harusnya pencairan anggaran proyek tidak diberikan sepenuhnya pada kontraktor," kata Krinsa berargumentasi.

Namun, karena sidang pembelaan atau pembacaan pledoi baru dijadwal dua minggu lagi (10/12), maka Krisna berjanji untuk mengungkap semua fakta itu di depan majelis hakim dalam sidang lanjutan, termasuk mengungkap adanya indikasi "permainan" dalam penanganan kasus tersebut.

Pembelaan kurang lebih sama disampaikan penasehat hukum terdakwa Nuryanto yang dituntut lebih berat, yakni lima tahun penjara. Kepada ANTARA, dia mempertanyakan diskriminasi jaksa yang mengajukan tuntutan lebih berat pada terdakwa Nuryanto.

"Padahal kasusnya sama, tapi baiklah, karena itu memang menjadi hak jaksa penuntut. Kami akan tetap melakukan pembelaan karena `klien` saya yakin dirinya tidak bersalah dan hanya jadi korban," kata Patoyo, penasehat hukum terdakwa Nuryanto.

Sama seperti halnya sidang terdakwa Hamid, sidang kedua dengan terdakwa Nuryanto ini berlangsung singkat. Jaksa dalam amar tuntutan setebal kurang lebih 70 halaman itu menjerat pasal yang sama, yakni pasal 2 ayat (1) UURI nomor 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi sebagaimana diperbaharui dengan UURI nomor 20 tahun 2001.

Terdakwa Nuryanto dianggap secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang TI sehingga merugikan keuangan negara hingga ratusan juta rupiah.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009