Ambon (ANTARA News) - Menyusuri selat Manumbai yang memisahkan Kobror dan Wokam, dua pulau terbesar di Kabupaten Kepulauan Aru, tim ekspedisi Garis Depan Nusantara (GDN) memulai misinya menuju Pulau Penambulai itu untuk menancapkan tugu prasasti NKRI.

Pulau itu adalah salah satu dari delapan pulau terluar nusantara di Kabupaten penghasil mutiara. Lebatnya hutan mangrove yang berdiri tegak di sepanjang kedua pulau ini menjadi salah satu tanaman khas untuk melindungi kawasan pesisir kedua pulau yang berhimpitan itu.

Jauh ke tengah pulau yang masih hijau, kicauan burung nuri, kakatua raja berwarna hitam pekat, kakatua putih berjambul kuning sampai burung cendrawasih masih tetap eksis di habitatnya karena tidak jarang ditemukan aksi pengrusakan hutan.

Buaya, babi hutan, rusa, tikus tanah, kasuari dan kangguru yang dinamakan warga Aru dengan sebutan `Pelanduk` juga masih mudah ditemukan di daerah ini.

"Keanekaragaman satwa endemis inilah yang membuat tim ekspedisi pimpinan Walacea pernah menetap cukup lama sekitar tahun 1800-an di Selat Manumbai untuk melakukan penelitian. Hasil ekspedisi Walacea inilah yang akhirnya membagi jenis hewan dan tumbuhan di Kawasan Timur Indonesia dengan sebutan garis Walacea," kata ketua tim Ekspedisi GDN, Irwanto Iskandar.

Dengan menggunakan kapal ekspedisi Perahu Layar Motor (PLM) Cinta Laut jenis phinisi, tim ekspedisi yang berjumlah 13 orang dari Wanadri, kelompok perambah hutan dan pendaki gunung serta kelompok budayawan Rumah Nusantara mulai melakukan perjalanan yang cukup berhati-hati.

Kapal berukuran panjang 16 meter dan lebar sekitar 4 meter ini sempat meringsek di atas pasir yang timbul di tengah laut karena posisi air laut belum mengalami pasang secara normal. Segenap kru kapal dan tim ekspedisi dibuat kaget dengan kejadian ini.

Namun Kapten Bachtiar yang sudah pernah bekerja sebagai ABK nelayan sebuah perusahaan ikan di Benjina, Dobo (Maluku) sekitar tahun 2000 ini cukup memahami kondisi perairan Kepulauan Aru yang banyak terdapat daratan kecil berupa pulau pasir dan pulau karang di tengah laut.

"Masih beruntung kita kandas di daerah berpasir. Kalau di atas karang, perjalan ekspedisi ini akan mengalami hambatan yang cukup lama dan mencari kapal lain untuk menarik PLM Cinta Laut," kata Jacky Natasiang, salah satu anggota tim ekspedisi yang berasal dari Petugas Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP) Cabang Dobo.

Perjalanan tim ekspedisi ini juga tidak semulus yang direncanakan akibat kondisi cuaca buruk di laut yang kurang bersahabat karena kondisi laut yang tenang dan udara cerah, tiba-tiba berubah menjadi gelap ditutupi awan hitam disertai tiupan angin kencang 40 - 60 meter/jam dan ketinggian ombak antara 2-5 meter.

"Malam ini kita berlabuh di belakang desa Warabal, yang ada lokasi perusahaan perikanan PT. Arabika Jaya Tama. Besoknya kita menunggu air pasang baru melanjutkan perjalanan ke desa Warabal untuk melakukan pendataan demografi dan sosial penduduk sekaligus mencari lokasi koordinat Pulau Penambulai untuk menancapkan tugu prasasti NKRI," kata Irwanto.

Pulau sepanjang 165 Km dan hanya ada satu desa berpenduduk 80 Kepala Keluarga ini terletak garis 6 derajat 38 menit 26 detik Lintang Selatan - 134 derajat 54 menit 53 detik Bujur Timur sesuai ketentuan Undang-Undang nomor 6 tahun 1969 tentang Perairan Indonesia dan Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2002 tentang daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia.

Di Pulau yang menjadi habitat hidupnya buaya muara ini, ada sebuah patok beton yang ditancapkan pihak Pertamina dan satu patok lagi ditanam TNI Angkatan Laut sejak beberapa tahun lalu, namun koordinatnya berbeda dengan patok yang ditancapkan tim ekspedisi GDN.

"Patok stenlis steel yang kami tancapkan terdapat gambar burung Garuda dan nama pulau, titik dasar koordinat serta nama kabupaten dan Provinsi kemudian dalam patok NKRI ini kami sisipkan pesan yang ditandatangani seluruh anggota tim, dimasukan dalam sebuah botol plastik baru dilakukan pengecoran," kata anggota tim ekspedisi lainnya, Galih Donikara dari Wanadri.

Masyarakat diharapkan sama-sama menjaga keberadaan tugu prasasti NKRI tersebut karena ini merupakan tanda kepemilikan wilayah Indonesia terhadap pulau dimaksud, sekaligus menarik garis sepanjang 12 mil ke tengah laut menjadi hak milik bangsa dan kedaulatan negara.

Selama dua hari di Penambulai, tim ekspedisi melanjutkan perjalan ke desa Mariri dan bermalam selama dua hari untuk melakukan pendataan demografi dan kehidupan sosial budaya masyarakat setempat yang berdekatan dengan Ararkula, pulau kedua terdepan nusantara di Kepulauan Aru yang dikunjungi tim.

"Program pemerintah yang masuk di Warabal dan Mairir serta sejumlah desa lainnya yang berdekatan di Pulau terdepan nusantara Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) mandiri. Sayangnya air bersih agak sulit didapat dan masih minimnya sarana Mandi Cuci Kakus (MCK)," kata anggota tim ekspedisi lainnya, Yudi Barkah.

Sarana lain yang menjadi kebutuhan masyarakat pulau terluar adalah sarana perhubungan laut yang lebih memadai, listrik dan talud penahan ombak karena kawasan pesisir pantai di pulau-pulau ini setiap tahun mengalami pengikisan air laut (abrasi) antara dua sampai tiga meter.

Program PNPM mandiri yang ada seperti pemberian alat pembangkit listrik dari tenaga surya cukup efektif tapi tidak semua warga di desa menerimanya, itu pun berfungsi saat musim panas tapi tidak dapat digunakan warga untuk menonton televisi.

Aru Selatan

Setelah berhasil melakukan pendataan penduduk dan menancapkan tugu prasasti NKRI di Penambulai,Karaweira dan Ararkula di kawasan Timur Kepulauan Aru, tim ekspedisi melanjutkan perjalanan menuju pulau terluar lainnya di selatan Kepulauan Aru, diantaranya Kultubai Utara, Kultubai Selatan, Pulau Enu, Pulau Karang dan Pulau Batu Goyang.

Desa-desa terdekat dengan pulau terdepan ini seperti Gomo-Gomo, Masiang dan Longgar Apara memiliki kondisi yang tidak jauh berbeda dengan desa lainnya di kawasan Aru Timur.

"Target kita mengitari delapan pulau terdepan di daerah ini selama dua minggu ternyata tidak mudah karena kondisi cuaca yang buruk saat ini. Kita terpaksa mencari tempat berlabuh yang aman untuk menunggu situasi yang lebih baik sambil melakukan koordinasi dengan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Tanjung Priok Jakarta," kata komandan operasi ekspedisi, Haris Mulyadi.

Tiupan angin kencang dari selatan menuju arah barat dengan kecepatan 40 - 60 meter/jam menghambat perjalanan tim untuk mendatangi pulau-pulau terdepan nusantara di daerah itu yang dimulai dari 13 Januari dan harus berakhir 30 Januari 2010.

Usai melakukan penancapan tugu prasasti di Pulau Enu yang terdapat menara mercusuar dan dijaga dua petugas navigasi, tim ekspedisi kembali ke pelabuhan Benjina untuk berlindung selama dua hari guna menghindari badai.

"Untuk sementara kami beristirahat di Benjina sambil menyiapkan perbekalan dan kebutuhan air bersih sambil menunggu cuaca membaik, baru melanjutkan perjalanan ke Batu Goyang yang merupakan pulau terdepan terakhir di Kabupaten Kepulauan Aru," katanya.

Pulau Batu Goyang terletak pada lintang 7 derajat 57 menit 1 detik Lintang Selatan dan 134 derajat 11 menit 38 detik Bujur Timur.

Apalagi keganasan laut Kepulauan Aru telah menelan korban jiwa sekitar 30 orang berkebangsaan RRC dan WNI karena berani melintasi kawasan tersebut dengan sebuah speedboat dari Dobo menuju Kota Tual hari Rabu siang (27/1) kemarin.

Sehingga tim ekspedisi harus mewaspadai kondisi alam di daerah ini agar tidak terjadi masalah yang membahayakan keselamatan mereka.

(T.D008/S026)

Oleh Oleh Daniel Leonard
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010