Kudus (ANTARA News) - Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK) memastikan buruh rokok di Kudus yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) mendapatkan dana klaim jaminan sosial tenaga kerja yang dikelola Pusat Koperasi Karyawan Industri Rokok Kudus (PKKIRK).

"Pengelolaan PKKIRK sangat transparan. Bahkan setiap pekerja bisa mengecek nilai jaminan hari tua (JHT). Demikian pula soal klaim bagi pekerja di pabrik rokok yang terkena PHK tetap dijamin akan mendapatkannya," kata anggota tim Advokasi Hubungan Industrial PPRK, Daniyal Falah, di Kudus, Selasa.

Ia mengatakan, keanggotaan PKKIRK juga jelas dengan diterbitkan kartu anggota sebagai tanda kesertaan para buruh rokok dalam mendapatkan jamsostek.

Terkait dengan ribuan buruh PT Jambu Bol yang belum mendapatkan JHT, katanya, hingga sekarang belum ada pernyataan resmi yang menyebutkan status buruh perusahaan rokok tersebut diberhentikan atau terkena PHK.

Selain itu, katanya, buruh juga dapat menerima dana JHT jika ada pernyataan resmi dari dinas terkait yang menyebutkan perusahaan tersebut pailit.

"Kami pasti akan menyerahkan dana JHT kepada buruh yang mendapatkan surat keterangan resmi dari perusahaan terkait tentang PHK atau tidak dipekerjakan lagi sesuai saldo yang terkumpul," katanya.

Ia mengatakan, tuduhan kepada PKKIRK yang tidak memberikan dana JHT kepada para buruh rokok tidak benar.

"Selama ini tuduhan yang sering dialamatkan kepada PKKIRK tidak jelas," katanya.

Hal serupa juga terkait dengan tuduhan PPRK melakukan pelanggaran terutama terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja atau Buruh.

"Selama ini tidak ada halangan bagi pekerja untuk berserikat karena aturannya cukup dengan puluhan anggota bisa mendirikan serikat pekerja," katanya.

Kalaupun ada pihak yang kesulitan mendirikan serikat pekerja, katanya, dimungkinkan karena mereka tidak terdaftar sebagai karyawan perusahaan dan anggotanya juga tidak jelas.

"Tentu wajar jika tidak bisa membuat serikat pekerja baru," katanya.

Ia mengatakan, tidak adanya perjanjian kerja bersama (PKB) di masing-masing perusahaan rokok justru menguntungkan buruh yang bekerja di perusahaan rokok golongan kecil.

"Pasalnya pabrik rokok yang tidak memenuhi standar produksi hingga ribuan batang, upah yang diterima para buruhnya tetap harus sesuai dengan standar yang disepakati sejumlah pengusaha," katanya.

Jika masing-masing perusahaan rokok membentuk PKB, katanya, upah yang diterima buruh rokok sulit dikontrol.

"Pada saat produksi kurang dari standar, upah yang diterima buruh juga disesuaikan dengan kondisi tersebut dan tidak bisa tetap mendapatkan upah sesuai yang diperoleh pada saat PKB dibentuk di bawah kordinasi PPRK," katanya.

Ketua Pengurus Cabang Rokok Tembakau Makanan dan Minuman (RTMM) Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) "tandingan" Kudus, Noor Khozim, menyatakan kukuh ingin membubarkan PPRK karena perusahaan rokok yang tergabung dalam organisasi tersebut melanggar UU tentang perburuhan.

"Kami juga mengritisi masih banyak buruh rokok yang belum mendapatkan JHT," katanya.

Ia mengatakan, pembentukan PKB di bawah koordinasi PPRK tidak efektif karena perbedaan standar perusahaan kecil dengan besar.

"Pembentukan PKB pabrik rokok skala besar tentu bisa disejajarkan dengan pabrik besar lainnya bukannya dengan pabrik skala menengah atau kecil," katanya.

Pihaknya menuntut setiap perusahaan rokok di Kudus membentuk PKB sendiri.

"Hampir dua tahun lebih perusahaan rokok besar di Kudus dan perusahaan di PPRK tidak memberikan akses untuk perundingan terkait dengan penyusunan PKB," katanya.(Ant/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010