Jakarta (ANTARA News) - Kesuksesan film 3D disertai dengan komplain dari beberapa penonton karena sakit kepala dan mata lelah setelah menonton, kata sebuah laporan yang dilansir Technology Review.

Dengan 3D TV, Blu-Ray, dan permainan (games) datang ke rumah tahun ini, beberapa ahli melakukan lebih banyak penelitian atas kemungkinan mata lelah sehubungan nonton 3D, khususnya layar yang lebih kecil dan pada jarak yang dekat.

Masalah mata lelah "datang baru-baru ini, anekdot, orang-orang mengalami gejala sakit kepala setelah menonton Avatar," kata Michael Rosenberg, MD, dan asosiasi profesor di Sekolah Kesehatan Feinberg Universitas Northwestern.

"Ini pertama kali ada sebuah film 3D yang menarik jumlah orang yang membuatnya dan merupakan bagian dari perkembangan teknologi yang diciptakan."

Teknologi 3D mengakali otak dengan menampilkan mata sebelah kiri untuk satu gambar dan mata kanan gambar lainnya. Otak menempatkan gambar ini bersama untuk menghasilkan sebuah gambar 3D. Untuk film 3D terbaru, sebuah kacamata polarisasi menyaring gambar yang berbeda untuk setiap mata.

Dalam pengaturan 3D TV, ketika baterai kacamata diaktifkan dan menangkap gambar TV setiap detik waktu untuk memperlihatkan mata masing-masing gambar yang berbeda.

Untuk melihat sebuah objek tiga dimensi dalam hidup nyata, sebuah pengaturan mata harus melakukan dua hal. Pertama, mereka harus "mengukur" sedikit memutar ke dalam atau ke luar sehingga proyeksi gambar selalu di tengah antara kedua retina.

Kedua, mata harus "mengakomodasi" mengubah bentuk setiap lensa agar gambar fokus ke retina.

"Tanpa ukuran yang tepat anda akan melihat ganda dan tanpa akomodasi yang sesuai anda akan melihat kabur," kata Martin Banks, seorang profesor optometry (dokter mata) Universitas Berkeley California yang sedang meneliti efek dari 3D dalam sistem visual.

Pembuatan 3D menyebabkan "konflik ukuran dan akomodasi," menurut Banks karena penonton harus fokus satu arah (ketika cahaya memancar dari layar) tetapi hampir di lain arah (dimanapun objek 3D berada di dalam satu ruang).

Perbedaan ini dalam jarak penonton 3D mungkin sumber sakit kepada dan ketidaknyamanan, katanya.
"Dalam 3D, aslinya hubungan alami antara ukuran dan akomodasi akan rusak."

"Ada sebuah ketidakcocokan melekat dalam 3D," kata Alan Sullivan, seorang ilmuwan peneliti senior di Mitsubishi Electric Research Laboratories, Cambridge, MA, yang telah bekerja dalam 3D teknologi.

"Matamu harus tetap fokus pada layar, tetapi harus menyatu di dalam--baik di depan atau di belakang layar--di mana gambar dari setiap mata tumpang tindih dengan benar."

Banyak orang dapat menonton 3D tanpa mengalami ketegangan di semua bagian, tetapi Rosenberg yakin bahwa masalah-masalah mata kecil mungkin sedikit diperkuat dengan menonton 3D.

Mengenai pengalaman anak matanya lelah ketika menonton 3D, dia berkata,"Itu mungkin suatu indikasi bahwa mereka harus menemui ahli dokter mata untuk melihat apakah mereka memiliki masalah mendasar."

Konflik akomodasi-ukuran akan buruk di layar. "Saat anda pergi menjauhi layar, konsekuensinya konflik akan berkurang," kata Banks. "Saya tidak khawatir dengan situasi film karena jaraknya yang jauh."

Tetapi ia baru-baru ini melakukan sebuah survei yang mengindikasikan bahwa pengguna mendapati masalah saat mereka berada kurang dari satu meter dari layar.

Grup Bank telah mengembangkan sebuah perangkat yang dirancang untuk menghindari konflik akomodasi-ukuran ketika monton 3D. Sebuah lensa di depan mata memfokuskan gambar untuk penonton guna menyelesaikan perbedaan.

"Karena posisi pengguna diketahui letaknya, perangkat itu dapat mengoptikalkan benar bahwa fokus akurat. Dalam uji terhadap 17 sukarelawan, pengguna melaporkan secara signifikan sedikit gejala terkait dengan kelelahan mata, penglihatan jelas, dan sakit kepala daripada saat tidak menggunakan perangkat untuk menonton gambar 3D.

Sementara proses setup terlalu rumit dan mahal yang akan digunakan untuk produk konsumen, Banks menyarankan itu bisa digunakan untuk mengkhususkan aplikasi 3D dalam operasi atau komputer desain.

Sullivan berkata ketidaksadaran mental dalam upaya rekonstruksi obyek buatan 3D bukan
satu-satunya yang bisa menyebabkan sakit kepala dan gejala negatif lainnya.

Dia katakan beberapa masalah bisa juga disebabkan oleh kesalahan isi walaupun perbedaan kecil dalam ukuran antara gambar kiri dan kanan atau jenis lain yang tidak sejajar.

"Benda ini sangat mudah diatur dengan CG film tetapi cukup sulit dengan adegan nyata
seperti sepak bola," yang dapat diubah ke 3D secepatnya, kata Sullivan.

"Saya prediksi masalah ini akan mulai muncul ketika kita tonton 3D dan isi berkualitas rendah menghasilkan dengan kurang memperhatikan secara rinci."

(Adm/S026)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010