Jakarta (ANTARA) - Pada peringatan Hari Diabetes Sedunia Tahun 2020, Selasa (17/11), Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013 dan Tahun 2018 menunjukkan bahwa tren prevalensi penyakit Diabetes Melitus (DM) atau di masyarakat dikenal dengan penyakit kencing manis di Indonesia naik.

Prevalensi DM meningkat dari 6,9 persen menjadi 8,5 persen, sedangkan untuk faktor risikonya, seperti obesitas pada orang dewasa, dari 14,8 persen menjadi 21,8 persen.

"DM tidak hanya diderita oleh orang dewasa, namun juga bisa terjadi pada anak-anak," sebut Kemenkes dalam laman http://sehatnegeriku.kemkes.go.id.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat terjadi peningkatan yang cukup signifikan DM tipe-1 pada anak dan remaja dari 3,88 menjadi 28,19 per 100 juta penduduk pada Tahun 2000 dan 2010.

Ketua UKK Endokrinologi IDAI dr Novina mengatakan bahwa kenaikan kasus DM tersebut berkaitan erat dengan pola hidup kurang sehat, seperti pola makan tidak tepat, kurang aktivitas fisik, obesitas, tekanan darah tinggi, dan gula darah tinggi.

sementara Direktur Pencegahan Penyakit tidak Menular Kemenkes dr Cut Putri Ariane mengatakan untuk mengatasi persoalan tersebut, pemerintah telah melakukan upaya pencegahan yang proaktif dan persuasif di seluruh lapisan masyarakat.

Salah satunya dengan menekankan pentingnya screening secara berkala, supaya ketika ditemukan adanya penyakit tertentu dapat segera tertangani.

Screening awal harus diimbangi dengan gaya hidup yang sehat, terutama di masa pandemi COVID-19.

Dengan banyaknya aktivitas yang dilakukan di rumah, dikhawatirkan semakin banyak anak-anak maupun orang dewasa yang terjebak sedentari life, yakni mengonsumsi makanan cepat saji, dan sering menghabiskan waktu dengan gawainya.

Pola hidup yang demikian sangat berdampak buruk bagi kesehatan, terutama bagi mereka pengidap penyakit tidak menular (PTM), seperti DM itu.

"Di masa pandemi, kami memantau banyak sekali pasien-pasien Diabetes Melitus yang tidak bergerak. Artinya diam di rumah, sehingga penyakit-penyakit ini tambah memburuk. Harusnya ini tidak terjadi," kata Cut Putri Ariane.
Bupati Tapanuli Selatan Syahrul M.Pasaribu (empat kanan) dan Kapolres Tapanuli Selatan AKBP Roman Smaradhana Elhaj (dua kiri) bersama jajaran Pemkab Tapanuli Selatan menyempatkan diri bersama Kelompok Tani Dos Niroha di Desa Nanggarjati, Kecamatan Arse, Kabupaten Tapanulii Selatan, Sumatera Utara, memanen sayuran buncis, Rabu (14/10/2020) (FOTO ANTARA/HO-Humas Pemkab Tapsel)
 

Alternatif

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dari berbagai laporan yang ada menyebutkan bahwa jumlah pasien diabetes di Indonesia pada Tahun 2000 sekitar 8.426.000 jiwa.

Angka ini diperkirakan akan semakin meningkat pada Tahun 2030, dan diprediksi mencapai 21.257.000 jiwa.

Direktur Pencegahan Penyakit tidak Menular Kemenkes Cut Putri Ariane mengingatkan bahwa orang yang sudah menyandang penyakit tidak menular, seperti DM, tidak bisa sembuh dari penyakitnya, melainkan hanya dapat dikendalikan.

Namun bagi orang yang memiliki faktor risiko dan masih dalam keadaan sehat bisa mencegahnya dengan pola hidup yang sehat dan rutin memeriksa kesehatan secara berkala.

Bila merujuk pada mencegah dengan pola hidup sehat, agaknya ada alternatif yang bisa dilakukan dalam upaya terapi, yang bisa mengombinasikan antara penanganan medis.

Salah satu ikhtiar yang bisa dilakukan adalah mengonsumsi sayuran atau alternatif terapi-terapi herbal yang selama ini sudah dipraktikkan masyarakat, bahkan jauh sebelum ditemukan insulin (1928) dan obat oral hipoglikemik.

Karena, sejak dahulu terapi utama penderita DM adalah terapi dengan menggunakan tanaman obat, yang berasal dari tumbuhan, dan bahkan hingga kini tetap dilakukan.
Buruh tani memindahkan bibit cabai yang sudah siap jual di Dusun Wedani, Desa Badang, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Rabu (15/7/2020). Desa setempat dikenal sebagai kampung bibit, karena sebagian besar warganya memiliki usaha penyemaian berbagai jenis tanaman hortikultura yang dijual ke berbagai daerah di Jawa Timur mulai Rp200-Rp300 per biji. ANTARA FOTO/Syaiful Arif/foc. (ANTARA FOTO/SYAIFUL ARIF/SYAIFUL ARIF)

Riset buncis

Adalah Yayuk Andayani, seorang mahasiswa yang melakukan penelitian untuk disertasinya di Institut Pertanian Bogor (IPB) mengenai sayuran buncis (Phaseolus vulgaris L.), yang dilakukan pada 2003.

Melalui riset penelitiannya berjudul "Mekanisme Aktivitas Antihiperglikemik Ekstrak Buncis pada Tikus Diabetes dan Identifikasi Komponen Aktif", yang mengantarkannya meraih gelar doktor, mahasiswa Program Studi Biologi Program Pascasarjana IPB itu membuktikan bahwa sayuran yang mudah didapatkan di pasar-pasar tradisional itu bisa digunakan sebagai penurun kadar glukosa darah.

Di bawah Komisi Pembimbing Prof drh Reviany Widjadja Kusuma, PhD (Ketua) dengan anggota Prof dr Slamet Suyono, Sp.PD, KEMD, Dr Rimbawan dan Dr drh Heru Setijanto, serta penguji Luar Komisi Prof Dr dr Mulyanto (Guru Besar Universitas Mataram) dan Prof dr Ir Dedi Muchhtaddi (Fateta IPB), hasil riset tersebut dipaparkan dengan gamblang.

Menurut Yayuk Andayani, diabetes, merupakan penyakit dengan kadar gula darah tinggi yang menyebabkan penderitanya terpaksa harus hati-hati dalam menerapkan pola makan.

Dalam risetnya ia melakukan percobaan pada tikus jantan putih berumur tiga bulan dengan perlakuan induksi diabetes.

Tikus tersebut sebelumnya telah diberi ekstrak buncis sehingga 30 menit setelah "dengan sengaja" dibuat menderita diabetes, di mana akhirnya diketahui tekanan gula darah tikus-tikus percobaan kembali normal tanpa mengalami penurunan pada tingkat hipoglikemik (di bawah kadar gula normal).

Ia menjelaskan hal tersebut bisa dipahami karena dalam buncis mengandung b-sitosterol dan stigmasterol yang bisa meningkatkan produksi insulin.

Selain itu, sayur berwarna hijau panjang ini dalam 100 gram-nya mempunyai komposisi karbohidrat 7,81 persen, lemak 0,28 persen, protein 1,77 persen, serat kasar 2,07 persen, dan kadar abu 0,32 persen.

"Dengan begitu, konsumsi buncis tentunya akan mampu mengontrol kadar gula darah yang tinggi. Sehingga penderita diabetes melitus bisa menjadikan ini sebagai alternatif baru untuk mengobati penyakit yang seringkali banyak memakan korban," katanya.

Bagi dunia kedokteran sendiri, kata dia, riset itu bisa menjadi referensi untuk membuat obat diabetes dengan mengekstrak buncis, sehingga obat diabetes akan lebih murah dan mudah didapat dengan banyaknya bahan yang tersedia.

Baca juga: Khawatir kena diabetes? ayo mulai konsumsi kacang-kacangan

Dengan rujukan penelitian tersebut, bagi para "diabetasi" -- sebutan bagi penderita DM -- kini mendapatkan alternatif untuk terapi, karena tidak sedikit yang hingga kini memilih pengobatan dengan pendekatan "tidak harus dengan obat kimia".

Buncis, mudah didapat, dan cara mengonsumsinya juga tidak sulit, apakah dijadikan sayuran, dibuat jus dan bentuk-bentuk olahan lainnya.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020