Ambon (ANTARA News) - Mantan wakil bupati Maluku Tenggara Barat (MTB), Lukas Uwuratuw, Jumat siang ditahan oleh Kejaksaan Tinggi Maluku setelah diperiksa sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan enam kapal penangkapan ikan senilai Rp2,7 miliar pada 2002.

Uwuratuw ditangkap di kantor Kejaksaan Agung di Jakarta Kamis siang sekitar pukul 12.00WIB, dan baru tiba di Kota Ambon Jumat pagi.

Uwuratuw didampingi kuasa hukumnya, Matheis Haluruk, saat dibawa ke Rutan Kejati Maluku di Desa Waiheru, Kecamatan Baguala, Kota Ambon dengan mobil dinas Asisten Pidana Khusus (Aspidus) Kejati Maluku, AG Hadari, SH.

Uwuratuw mengaku ditangkap di Jakarta dan setelah tiba di Ambon langsung digiring ke kantor Kajati Maluku untuk diperiksa.

"Saya tidak bisa melanjutkan pemeriksaan karena kesehatan terganggu," ujarnya sambil naik ke mobil.

Lebih lanjut, dia memastikan akan mempraperadilan Kejati Maluku pada 3 Mei nanti.

"Saya akan mengajukan pra peradilan agar terungkap kasus sebenarnya sehingga nama baik yang tercemar sejak kasus ini ditangani Kejati Maluku pada 2004 bisa dipulihkan," tegasnya.

Wakajati Maluku, Herman Koedoeboen, yang didampingi Ketua tim Jaksa penanganan kasus dugaan korupsi enam kapal penangkap ikan, Vitalis Tuturan, menyatakan bahwa penangkapan Uwuratuw sesuai prosedur setelah lima kali mangkir dari panggilan.

"Kami mengetahui bersangkutan akan melaporkan bukti data perkara lain di Tual, Kabupaten Maluku Tengah kepada Jaksa Muda Pengawasan (Jamwas) di Kejagung, makanya disusun strategi untuk menangkap tersangka," tegasnya.

Kejati Maluku pada 28 April 2010 telah menahan Asisten Tata Pemerintahan Pemprov Maluku, Pieter Norimarna, dan Kepala Dinas Pendapatan Kabupaten Kepulauan Aru, Frangky Hitipeuw, di Rutan Waiheru.

Norimarna terkait kasus dugaan korupsi karena saat pengadaan kapal itu ia menjabat Kadis Perikanan MTB, sedangkan Hitipeuw sebagai Ketua Bappeda MTB.

Uwuratuw ditetapkan sebagai tersangka karena berdasarkan hasil penyidikan terbukti berinisiatif atau memprakarsai pembelian enam unit kapal penangkapan ikan dan menyalahi ketentuan Kepres 18 Tahun 2000, tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah.

Bukti lainnya adalah pengadaan kapal tersebut tanpa melalui tender. Bahkan, memanipulasi perusahaan rekanan dalam pengadaan kapal. Kapal juga tidak bisa difungsikan sehingga kini karam di pelabuhan Saumlaki, ibu kota Kabupaten MTB.

Dari data yang dimiliki ANTARA, dalam APBD MTB 2002 tercantum pos belanja untuk proyek Pengelolaan Sumber Daya Perikanan diantaranya pengadaan enam unit kapal ikan senilai Rp2,7 miliar.

Rincian biaya pengadaan enam kapal ikan itu terebut dalam RKL pada DIPDA yang ditetapkan tanggal 31 Mei 2002 senilai Rp 2,5 miliar ditambah Rp 200 juta sebagai biaya administrasi tender.

Namun, sesuai nota transfer tanggal 31 Mei 2002, ternyata Hitipeuw selaklu pimpro hanya melakukan pembayaran Rp2,23 milyar kepada PT Karya Teknik Utama (KTU) melalui rekening Dirut PT KTU, Asnim Wardono, di Bank BCA Jembatan Merah, Jakarta.

Pembayaran itu diduga tanpa melalui proses pencairan sesuai ketentuan Kepres 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah.

Disebutkan pula ada perintah dari Piet Norimarna kepada Hitipeuw agar Direktur CV Kharisma membuat surat Usul Penawaran Harga Pengadaan Kapal Ikan dengan Nomor surat 09/DH-CV.K/VII/2002, disusul Surat Perintah Kerja No 010/DKP/SPK-PSP/VII/2002 tertanggal 15 Juli 2002 dan Surat Perjanjian Kerjasama Nomor 010A/DKP/SPKS-PSDP/2002 tanggal 17 Juli 2002.

Diduga surat-surat tersebut dibuat hanya sebagai formalitas saja karena pelaksanaan pengadaan enam kapal penangkap ikan tersebut sebelumnya telah dilakukan oleh PT KTU di Pelabuhan Marunda, Jakarta.

(ANT/S026)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010