Palangka Raya, (ANTARA News) - Sistem pengelolaan hutan di Indonesia dinilai telah salah kelola dengan banyaknya masalah kehutanan hingga tingginya laju kerusakan hutan setiap tahunnya.

Penilaian itu disampaikan Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang, di hadapan ratusan sarjana kehutanan dalam acara Musyawarah Daerah Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (Persaki) Kalteng Tahun 2009, di Palangka Raya, Senin.

"Tiap tahun kita selalu menjadi pembicaraan dunia seolah-olah menjadi bangsa yang perusak, karena tiap tahun jutaan hektare hutan dihancurkan," kata Teras Narang.

Dari sekitar 120,35 juta hektare kawasan hutan di Indonesia yang masih ada saat ini, sekitar 59,6 juta hektare di antaranya telah rusak.

Laju kerusakan hutan (deforestasi) Indonesia secara keseluruhan diperkirakan mencapai lebih dari dua juta hektare per tahun dan merupakan salah satu yang terparah di dunia, sebagian besar akibat penebangan liar.

Teras mengaku sedih dengan sindiran dunia internasional yang menilai rakyat Indonesia, termasuk Kalimantan Tengah sebagai salah satu pemilik hutan terluas, sudah demikian bobroknya dalam mengelola hutan.

"Masak sebobrok itu bangsa Indonesia. Kalau demikian, berarti ada sistem kehutanan yang salah," kata Teras dengan nada tinggi.

Berbagai persoalan hutan saat ini membayangi kebijakan pemerintah daerah di Kalimantan Tengah soal kehutanan, mulai dari alih fungsi hutan, sengketa tata ruang, kegagalan reboisasi, kelangkaan kayu, hingga penebangan liar yang tiada henti.

Teras menantang para rimbawan yang merupakan para ahli kehutanan, agar berani melakukan kajian revisi atas Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, yang menjadi dasar hukum pengelolaan hutan di Indonesia.

"Dalam wadah Persaki, rimbawan seharusnya memberi masukan untuk Departemen Kehutanan," tegas Teras.



Dephut Amburadul

Kritikan pedas Teras Narang terhadap persoalan kehutanan itu bukan kali ini saja dilontarkan, mengingat Kalimantan Tengah memiliki kawasan hutan terluas ketiga di Indonesia dengan total 10,3 juta hektare.

Pekan lalu, Teras Narang juga bersuara keras soal silang sengketa perebutan hutan di wilayahnya dengan menilai kebijakan Departemen Kehutanan sangat amburadul.

"Usul saya, tolong lakukan `legal audit` terhadap Departemen Kehutanan. Coba audit surat keputusan menteri, dirjen, sekjen, dan baplan, karena itu amburadul semua, itu kenyataan yang tak dapat dipungkiri," kata Teras saat bertemu Tim Reses Komisi IV DPR RI yang salah satunya membidangi kehutanan.

Teras mengaku kecewa dengan era sentralisasi yang dilakukan Dephut saat ini dengan menyatakan semua kegiatan di kawasan hutan harus seizin departemen pimpinan MS Ka`ban itu.

"Bagaimana mungkin hutan yang ada di Kalteng seolah-olah orang Jakarta yang menjaga, padahal warga sekitar hutan yang sebenarnya menjaganya," jelasnya.

Teras menambahkan, Undang Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan telah membuat dearah yang memiliki kawasan hutan luas tidak berdaya, sehingga menciptakan suasana tidak kondusif.

"Ujung-ujungnya pemerintah daerah yang dipersalahkan. Padahal yang terjadi adalah adanya aturan pusat yang tidak sesuai dengan daerah," demikian Teras Narang.(*)



Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009