Jakarta (ANTARA) - Pada kasus COVID-19 sering terjadi pembekuan darah sebagai salah satu reaksi imun atau hasil peperangan saat antibodi melawan virus SARS-CoV-2. Pengobatan kondisi ini bisa melalui pemberian pengecer darah sesuai prosedur dari Kementerian Kesehatan.

Artinya pengobatan kasus pembekuan darah tidak bisa sembarang misalnya dengan memberi air minum banyak pada pasien seperti pendapat seseorang yang muncul di media sosial beberapa waktu lalu.

Baca juga: Tren stroke bergeser ke usia 30 tahunan

Pakar kesehatan yang mengambil spesialisasi jantung dan pembuluh darah dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI), Vito A. Damay mengatakan, pasien bisa diberikan antikoagulan yang bertugas melarutkan kembali bekuan-bekuan darah yang berbahaya akibat peradangan infeksi pada pasien COVID-19.

Ada dua jenis antikoagulan yang biasanya diberikan pada pasien COVID-19 yakni LMWH atau Low Molecular Weight Heparin dan Unfractionated Heparin.

Pemberian antikoagulan ini pun memperhitungkan risiko terjadi pengenceran darah yang juga mengikuti pengentalan darah. Tubuh orang yang terkena COVID-19 mengalami inflamasi virus SARS-CoV-2 menyebabkan koagulopati atau gangguan pembekuan darah.

"Koagulopati adalah istilah medis untuk gangguan pembekuan darah. Proses pembekuan darah ini menjadi kacau sehingga terjadi aktivitas berlebihan. Darah menggumpal dan terjadi thrombosis (penggumpalan darah) pada pembuluh vena (pembuluh balik) yang mengalir ke jantung," tutur Vito kepada ANTARA belum lama ini.

Baca juga: Satgas COVID-19 tutup sementara cabang pabrik air minum di Tambora

Lebih lanjut, gumpalan darah ini akhirnya menyumbat pembuluh darah jantung yang harusnya mengalirkan darah ke paru-paru, akibatnya aliran dari jantung kanan ke paru-paru sangat berkurang atau tidak ada. Inilah alasan saturasi oksigen (kadar oksigen dalam darah) mendadak turun dan terjadi (risiko) kematian pada pasien.

Pakar hematologi dari the Johns Hopkins University School of Medicine, Roberts Brodsky dan dokter spesialis pengobatan paru di Johns Hopkins Bayview Medical Center, Panagis Galiatsatos mengungkapkan, selain paru-paru, pembekuan darah termasuk yang terkait dengan COVID-19 juga dapat membahayakan sistem saraf.

Menurut mereka, gumpalan darah di arteri yang menuju ke otak dapat menyebabkan stroke. Beberapa orang yang tadinya sehat lalu terkena COVID-19 bisa mengalami stroke, kemungkinan karena pembekuan darah yang tidak normal.

Beberapa orang dengan COVID-19 juga dapat mengembangkan gumpalan darah kecil yang menyebabkan area kemerahan atau ungu pada jari kaki. Gejalanya bisa terasa gatal atau nyeri.

Parameter untuk memeriksa adanya gumpalan darah antara lain D Dimer dan fibrinogen. Semakin banyak pembekuan darah yang terjadi maka semakin banyak juga proses melarutkan bekuan itu yang akhirnya menyebabkan semakin tinggi pula D Dimer.

"D Dimer bagian dari penyakit COVID-19 yang masih menyimpan banyak misteri, salah satunya pembekuan darah yang kacau, merangsang proses keenceran darah. Maka, pemberian pengencer darah tidak boleh sembarangan," kata Vito.

Pembekuan ini berbeda dengan istilah kekentalan darah yang sebagian orang anggap bisa diatasi dengan meminum banyak air agar darah menjadi lebih encer.

Pada kondisi darah mengental misalnya saat seseorang dehidrasi maka viskositas (kekentalan) dan osmolalitas (keseimbangan cairan dan garam tubuh)-nya meningkat dan terjadi hemokonsentrasi.

Mudahnya, disebut darah mengental dan ini berbeda dengan darah menggumpal atau adanya bekuan darah seperti pada kasus COVID-19.


Baca juga: Dokter bilang "long" COVID bukan COVID-19 yang masih terjadi

Baca juga: Akankah pandemi COVID-19 akan lekas berlalu? Ini kata pakar feng shui

Baca juga: Maroko terima 4 juta dosis vaksin AstraZeneca dari India


 

Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021