Jakarta (ANTARA) - Biological antropologis asal Inggris Piers D. Mitchell dalam bukunya berjudul Sanitation, Latrines and Intestinal Parasites in Past Populations pada 2015 menemukan bahwa bangsa Mesopotamia bahkan sebelum penemuan tulisan telah menggunakan toilet dan mengelola sampah dengan efektif.

Peradaban kuno yang menjadi asal sejarah yang letaknya diperkirakan di atas wilayah Irak itu menjadi cermin ada fenomena kemunduran masyarakat urban saat ini dalam kaitannya dengan pengelolaan sampah yang baik.

Di Indonesia sendiri, misalnya, pekerjaan rumah terkait permasalahan sampah masih sangat banyak, terlebih sebagaimana catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, jumlah timbunan sampah nasional pada 2020 mencapai 67,8 juta ton.

Jika bangsa ini tidak melakukan kebijakan dan upaya-upaya luar biasa (“extraordinary effort”) atau hanya sebatas "business as usual" maka diperkirakan pada tahun 2050 komposisi sampah di Tanah Air akan lebih dari dua kali lipat.

Semua telah menyadari bahwa sampah adalah tentang peradaban, bukan semata membuat lingkungan bersih dari kotoran melainkan mengelola-nya dengan bijak.

Oleh karena itu solusi masalah sampah sejati-nya berhenti pada persoalan "political will state" didukung dengan "political will society".

Maka sampah adalah masalah bersama yang butuh keberpihakan politis bukan semata dari satu pihak melainkan seluruh elemen pembentuk negara.

Jika ditilik lebih dalam, permasalahan utama dalam penanganan sampah di Indonesia terletak pada rendahnya tingkat kolektibilitas.

Hingga kini, daerah-daerah yang sampahnya ter-cover itu hanya 39 persen. Sementara 61 persen wilayah Indonesia belum terlayani sistem angkutan.

Swasta Terlibat
Banyak yang kemudian menyadari bahwa sampah bukan persoalan yang bisa diselesaikan dalam semalam.

Sebagaimana disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Sampah Indonesia (APSI) Saut Marpaung, dalam sebuah webinar virtual dengan tema “Kemitraan Pengelolaan Sampah” yang digelar baru-baru ini, perlu adanya keterlibatan pihak swasta untuk membantu pengelolaan sampah di 61 persen wilayah yang belum ter-cover di Indonesia.

Pada kenyataannya memang daur ulang sampah juga tidak bisa diandalkan untuk menyelesaikan permasalahan sampah ini. Karena, daur ulang itu pada dasarnya hanya mampu mengurangi sekitar 40 persen saja dari sampah yang ada. Begitu juga dengan bank sampah, hanya mampu mengurangi sampah 10-20 persen.

Maka dalam perkembangannya pun penting untuk dilakukan pemilahan sampah dari sumbernya seperti dari rumah, restoran, rumah sakit, hotel, dan lain-lain. Hal itu semata bertujuan agar tidak semua sampah itu terangkut ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir).

Kenyataan mengejutkan terjadi di lapangan ketika banyak TPA saat ini sedang berada dalam ancaman krisis lahan.

Hal itu bisa terlihat dari TPA yang sudah penuh dengan sampah, bahkan hingga menjulang tinggi seperti gunung. Dimana-mana semua bisa melihat hampir semua TPA tidak punya lahan lagi untuk menampung kapasitas sampah yang terus bertambah seiring waktu.

Oleh karena itu, sudah saatnya mendorong semua pemda untuk menyusun perencanaan jangka pendek dalam mengolah sampahnya supaya tidak selalu diarahkan ke TPA.

Sebenarnya memang persoalan sampah ini tidak boleh hanya dibebankan kepada produsen saja. Hal itu mengingat permasalahan sampah itu yang begitu kompleks.

Dan yang terpenting bahwa tugas utama dalam mencari solusi permasalahan sampah ini sebetulnya ada di pundak pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi. Seperti, misalnya, pemerintah yang harus mengalokasikan anggaran lebih besar untuk pengelolaan sampah.

Hal ini menjadi bukti sebuah keberpihakan dalam "political will state".

Baca juga: Bekasi gandeng penegak hukum tutup sampah ilegal CBL

Baca juga: Walhi NTB nilai "zero waste" program setengah hati


Sebab sampai saat ini dapat dilihat sebuah kecenderungan dimana masih belum ada standar anggaran yang sebenarnya dibutuhkan untuk bisa mengatasi masalah sampah khususnya untuk membangun infrastruktur dan tempat-tempat koleksi sampah.

Misalnya, untuk cara yang paling gampang adalah memberdayakan bumdes-bumdes melalui dana desanya membeli angkutan transportasi untuk mengangkut sampah ke rumah-rumah.

Sehingga, warga desa tidak lagi membuang sampah ke lingkungan atau membakar-bakar sampah bahkan membuang sampah ke sungai.

Ketua Bank Sampah Patriot Bekasi, Endang juga setuju bahwa untuk pengelolaan sampah ini perlu kolaborasi dari semua pemangku kepentingan.

Kata Endang, sampah ini harus dipilah mulai dari rumah. Sayangnya, dia melihat monitoring di lapangan kurang kontinyu dilakukan.

Memang dalam praktiknya, perlu ada monitoring secara terus-menerus dalam soal sampah bahkan jika diperlukan ada "punishment" dan "reward" yang diberikan.

Dalam kaitan dengan itu, perlu adanya perubahan paradigma masyarakat dalam pengelolaan sampah di Indonesia sebagai bukti adanya "political will society".

Menjadi Tradisi
Pengelolaan sampah adalah soal membangun tradisi, karena sampah akan terus ada selama peradaban manusia ada.

Asisten Deputi Pengembangan Industri Kemenko Perekonomian, Atong Soekirman, mengatakan dalam soal sampah ke depan perlu membangun sebuah kebiasaan atau habit untuk mengelola sampah ini dari awal bagi masyarakat Indonesia.

Artinya, mulai dari tingkat pendidikan usia dini perlu adanya program pendidikan bagaimana cara pengolahan sampah yang baik dan benar.

Selain masyarakat dan pemerintah, industri juga memiliki peran penting dalam pengelolaan sampah.

Baca juga: 436 meter kubik sampah diangkat dari pintu air dan jembatan

Baca juga: Ketua DPRD Bali-Wali Kota Surabaya jajaki kerja sama penanganan sampah


Beberapa pemangku kepentingan "stakeholder" termasuk perusahaan swasta sudah mulai memiliki perhatian khusus soal sampah di antaranya perusahaan air minum AQUA yang sudah menggunakan konsep “reuse” untuk botol kemasannya. Hal ini perlu diapresiasi dan direplikasi lebih jauh oleh entitas bisnis yang lain.

Selain itu ada pula salah satu contoh daerah yang berhasil mengelola sampahnya dengan baik dan pantas ditiru oleh daerah-daerah lainnya, yakni Kabupaten Lamongan.

Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Lamongan, Anang Taufik, menyampaikan setiap bulan Kabupaten Lamongan bisa mengurangi sampah yang ada di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dari 1.200 ton menjadi 500 ton pada tahun 2020 lalu.

Mereka dapat mengelola sampah di daerah itu berkat perjuangan dan kepedulian bersama. Tidak hanya pemerintah, tapi juga masyarakat dan semua pihak-pihak terkait.

Maka benar bahwa solusi sampah itu terletak pada dua hal yakni kemauan pemerintah dan masyarakat untuk sama-sama menemukan jalan terbaik dalam pengelolaannya.

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021