Bandung (ANTARA) -
Peristiwa Bandung Lautan Api telah memasuki usia ke-75 tahun. Sesuai namanya, pada 23 Maret 1946, wilayah Bandung berubah menjadi kobaran api yang berasal dari rumah-rumah masyarakat yang dibakar.
 
Kejadian itu terekam dalam sejarah yang menjadi bukti perjuangan masyarakat Bandung di masa silam. Karena itu, setiap tahunnya peristiwa itu selalu diperingati, baik oleh pemerintah, sejarawan dan masyarakat, dengan berbagai kegiatan.
 
Dinas Pendidikan Kota Bandung pun biasanya menggelar perayaan pawai obor yang diikuti oleh ratusan pelajar dari berbagai sekolah untuk mengelilingi wilayah Bandung, mulai dari Lapangan Tegallega hingga ke Balai Kota Bandung.
 
Namun, sejak adanya pandemi COVID-19, hajat peringatan Bandung Lautan Api itu disemarakkan tidak seperti biasanya. Kini peristiwa itu hanya diperingati dengan kegiatan ziarah Pemerintah Kota Bandung ke taman makam pahlawan (TMP) dan upacara secara formal dengan unsur TNI.
 
Sejumlah kegiatan itu pun dibatasi sesuai dengan ketentuan protokol kesehatan COVID-19. Serangkaian kegiatan itu bakal mengundang Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI).
 
Musuh bersama
 
Pada peristiwa itu, Tentara Sekutu bersama dengan Tentara Belanda pada peristiwa Bandung Lautan Api menjadi musuh bersama masyarakat Bandung yang tak ingin wilayahnya kembali dijajah.
 
Menurut buku Sejarah Nasional Indonesia VI karya Marwati Djanoed Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, peristiwa itu bermula dari kedatangan Tentara Sekutu dan Belanda ke Tanah Air yang ingin membebaskan para tawanan warga Belanda pada saat penjajahan Jepang.
 
Namun kedatangan itu tidak disambut baik oleh rakyat karena tentara kolonial itu ingin kembali menjajah Tanah Air dengan meminta seluruh senjata yang dimiliki Rakyat Indonesia agar diserahkan. Alhasil, rakyat bersatu dan berjuang hingga pertempuran demi pertempuran tak dapat terhindarkan.
 
Setelah itu Panglima Tentara Sekutu Brigadir Jenderal MacDonald mengeluarkan ultimatum agar wilayah Bandung dikosongkan oleh para tentara pejuang dan juga rakyatnya.
 
Dengan kekuatan senjata pasukan yang tak sebanding, tentara penjajah itu memang perlu dihadapi dengan cara yang berbeda secara bersama-sama.
 
Melalui semangat kebersamaan, akhirnya tentara pejuang dan masyarakat Bandung sepakat untuk membumihanguskan Bandung agar tidak jatuh kepada penjajah.
 
Kini semangat menghadapi musuh bersama itu pun perlu dilakukan untuk menghadapi COVID-19. Dengan virus yang mudah menyebar pada kerumunan, COVID-19 memang perlu dengan cara yang berbeda.
 
Cara yang berbeda, dalam hal ini bukan dengan mengangkat senjata, melainkan dengan berdisiplin menerapkan protokol kesehatan COVID-19 dalam setiap aktivitas. Karena melawan COVID-19 tidak bisa dilakukan secara individual, harus ada gerakan bersama-sama agar COVID-19 tak lagi menyebar, layaknya gerakkan Bandung Lautan Api.

 
Rela berkorban
 
Membumihanguskan wilayah Bandung agar tidak jatuh ke tangan tentara penjajah, tentunya memiliki risiko yang sangat besar. Wali Kota Bandung Oded M Danial mengatakan pada saat peristiwa itu, harta benda masyarakat pun turut dilalap api.
 
Selain itu, para pejuang rakyat bersama TNI yang pada saat itu masih bernama Tentara Keamanan Rakyat pun turut angkat senjata melawan penjajah di berbagai pertempuran wilayah.
 
Untuk mempertahankan kedaulatan Tanah Air, para pejuang dan masyarakat pada saat itu rela berkorban jiwa dan raga, bahkan hingga harta benda.
 
Di masa pandemi COVID-19 ini, masyarakat pun diharuskan untuk merelakan berbagai hal. Selain merelakan untuk tidak melakukan pertemuan dan silaturahim, pendapatan sebagian masyarakat pun menjadi berkurang akibat adanya pembatasan sosial.
 
Akibatnya, hal itu pun berdampak secara besar dengan membuat pertumbuhan ekonomi turun. Pemerintah pun memang tak menghendaki kondisi tersebut, namun hal itu perlu dengan suka rela dilakukan demi mengutamakan kesehatan.
 
"Mari kita jadikan pengorbanan mereka, jiwa pengorbanan yang sangat luar biasa, kita harus hadirkan hari ini, hari ini Ibu Pertiwi butuh pengorbanan dari anak bangsa ini," kata Oded.

Aksi perjuangan masyarakat dan tentara pejuang melawan penjajah tentunya kerap kali membuat jatuhnya korban jiwa pada sejumlah pertempuran yang terjadi dalam rangka mempertahankan kedaulatan NKRI.
 
Bahkan, ada sejumlah pejuang yang hingga kini belum diketahui namanya meski telah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Cikutra, Bandung.
 
Meski pada Tahun 1946 wilayah Bandung sempat hangus dilalap api, namun semangat perjuangan tersebut tetap "abadi" yang membuat Kota Bandung dan masyarakatnya tetap ada hingga detik ini.
 
Sementara itu, COVID-19 sendiri kini telah membuat sebanyak 267 orang meninggal dunia di Kota Bandung. Ratusan korban itu dimakamkan dengan menggunakan protokol COVID-19.
 
Maka dari itu Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi DPC Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Djuhiya mengatakan semangat Bandung Lautan Api perlu ditiru oleh generasi masa kini. Karena ia yakni pandemi COVID-19 ini akan usai sehingga Kota Bandung kembali pulih.
 
Dulu, kata dia, populasi Kota Bandung hanya ratusan ribu, tetapi semangatnya sangat tinggi. Untuk kondisi saat ini perlu ditingkatkan kembali semangatnya, terutama dalam menghadapi masalah pandemi sebagai persoalan bersama.
 
Pada 23 Maret 1946, berbagai kalangan masyarakat Bandung bersama unsur tentara pejuang Republik Indonesia mengadakan musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3).
 
Hasil musyawarah itu diumumkan oleh Komandan Divisi III Tentara Republik Indonesia (TRI) yakni Abdul Haris Nasution. Hadirin pada musyawarah itu sepakat untuk memenuhi ultimatum penjajah dengan mengosongkan wilayah Bandung.
 
Pengosongan itu akhirnya dilakukan diiringi dengan aksi eksodus besar-besaran warga yang meninggalkan wilayah Bandung. Hal itu, tidak berarti wilayah Bandung tidak diserahkan begitu saja kepada penjajah, namun disepakati kota itu untuk dibakar agar penjajah tidak bisa merebut wilayah.
 
Oded mengatakan peristiwa bumi hangusnya wilayah Bandung merupakan semangat kekompakan warga dan seluruh elemen di Bandung yang pada saat itu tak ingin dijajah oleh Tentara Sekutu dan Belanda.
 
Semangat kekompakan dan guyub itu, menurutnya, perlu diteladani oleh masyarakat saat ini dalam menghadapi COVID-19. Meski petugas kesehatan selalu bersiaga menangani COVID-19, namun masyarakat perlu proaktif menerapkan protokol kesehatan.
 
Berbagai unsur masyarakat sipil, TNI, Polri, pengusaha, dan unsur lainnya kini perlu bahu membahu menghadapi COVID-19 sesuai dengan kapasitasnya. Karena dengan kekompakan, ia yakin COVID-19 akan segera tuntas.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021