Jakarta (ANTARA News) - Gerakan Peduli Pluralisme menyatakan perlunya merawat kemajemukan dalam bernegara untuk memperkuat ikatan nasionalisme Indonesia yang sangat plural.

"Saat ini, pluralisme di tengah cobaan, banyaknya kejadian yang menjadi penghalang dalam kebersamaan, pluralisme perlu untuk kemudian dirawat," kata salah seorang pemrakarsa Gerakan Peduli Pluralisme Damien Dematra di Jakarta, Rabu.

Dalam diskusi memperingati hari lahir Mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang ke 70, Damien mengatakan, apabila pluralisme di Indonesia semakin tersisih, maka membuat Indonesia rawan terhadap adanya berbagai tindak kekerasan yang akan memakan korban masyarakat dan juga perpecahan.

Ia mengatakan, menguatnya fundamentalisme agama di berbagai belahan di dunia membuat nilai pluralisme juga terancam.

"Tidak hanya aksi sepihak dari ormas Islam misalnya terhadap Ahmadiyah, tapi juga rencana aksi kelompok non denominasi Dove World Outreach Centre membakar Al Qur`an untuk memperingati tragedi 9 September WTC ini juga berbahaya dan memicu kembali fundamentalisme yang lebih luas," katanya.

Untuk itu usaha agar pluralisme dapat terus menjadi nilai dan budaya masyarakat Indonesia sangat diperlukan.

Tokoh muda NU Zuhairi Misrawi dalam diskusi tersebut menilai, di Indonesia kini memunculkan dua faksi yang saling bersitegang, yaitu mereka yang setuju dengan pluralisme dan mereka yang tidak setuju dengan pluralisme. Menurut dia, saat ini negara cenderung mendukung mereka yang anti pluralisme.

"Hal ini menjadi kesulitan tersendiri, ketika negara berposisi mendukung aksi anti pluralisme," katanya.

Ia pun menilai, selama ini negara tidak mampu bertindak secara tegas terhadap para kelompok anti pluralis yang melanggar hukum. "Negara seolah-olah membiarkannya, inikan berbahaya," katanya.

Salah satu orang dekat `Gus Dur` yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut KH Nuril Ariffin mengatakan, negara yang tidak tegas terhadap perilaku kekerasan telah membuat aksi fundamentalisme merasa dibenarkan.

"Ini negara-negara hukum, bagaimana aksi kekerasan oleh ormas dibenarkan, negara hukumnya dimana?," katanya.

Sementara itu, Mantan Menteri Pertanian Bungaran Saragih yang hadir dalam diskusi itu menuturkan memiliki pengalaman yang menarik terkait dengan pluralisme Indonesia di mata orang asing.

Ia menceritakan, saat dirinya menjadi menteri pertanian pernah diminta oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur untuk menemani Presiden Jerman Johannes Rau.

Dalam sebuah perbincangan, Presiden Rau ingin bertemu dengan para pemikir agama di Indonesia. Saat itu, menurut Bungaran, Gus Dur sendiri yang memimpin pertemuan tersebut.

Setelah pertemuan tersebut, menurut dia, Presiden Rau sangat kagum dengan gagasan pluralisme di Indonesia. "No wonder", Indonesia memang banyak masalah, tetapi masalah pluralisme ini jauh lebih maju dari Jerman, seharusnya kita belajar dari Anda," demikian kata Bungaran menirukan Presiden Rau saat itu.

Menurut dia, pernyataan Presiden Rau tersebut bukti Indonesia telah menjadi contoh pluralisme bagi negara lain. "Untuk itu marilah kita rawat pluralisme, karena hal ini bukan saja sumbangan terhadap Inonesia, tetapi juga akan menjadi sumbangan terhadap dunia," katanya.

(M041/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010