Jakarta (ANTARA News) - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Patrialis Akbar menegaskan bahwa dasar pemberikan grasi berupa potongan tiga tahun masa penahanan kepada mantan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani Hassan Rais adalah Hak Asasi Manusia (HAM).

"Ini kasuistis. Jangan digeneralisasi. Kita harus melihat masalahnya dengan jernih. Pemberantasan korupsi target utama kita tapi Hak Asasi Manusia tidak boleh diabaikan, karena itu pula Kementerian ini bernama Kementerian Hukum dan HAM kan, karena ada hak asasi di sana," kata Patrialis di Jakarta, Jumat.

Pada dasarnya, ia menjelaskan bahwa permohonan grasi menjadi hak semua narapidana. Sesuai Undang-undang, dulu grasi boleh diajukan sebanyak dua kali, tapi sekarang diajukan satu kali oleh keluarga atau pengacaranya.

Pengajuan grasi dilakukan melalui Pengadilan Negeri tempat terpidana divonis dan dikirim ke Mahkamah Agung (MA), ujar dia. MA mempunyai wewenang multak untuk memberikan pertimbangan hukum bagi Presiden, sedangkan Presiden wajib memberikan grasi jika sudah mendapat pertimbangan MA.

Kasus Syaukani, lanjutnya, MA telah memberikan pertimbangan untuk mengurangi hukuman tiga tahun. "Semestinya Maret lalu dia keluar, tapi karena baru dikasih, maka baru kita proses pembebasannya sekarang," ujarnya.

Ia sendiri yang menyampaikan masukan terkait kondisi sakit mantan Bupati Kutai Kartanegara tersebut kepada Presiden, sehingga pertimbangan pengurangan penahanan tiga tahun dilakukan.

"Syaukani itu orang sakit. Saya sebagai pembantu Presiden wajib memberi masukan. Saya harus lihat sendiri. Dirjen Pemasyarakatan (PAS) pun harus lihat juga kondisi Syaukani sebelum pemberian grasi," katanya.

Ia mengatakan, kondisi Syaukani memprihatinkan. "Ternyata, matanya sudah buta, badannya sudah kaku, tidak bisa bicara lagi, saya sampaikan pada Presiden bahwa dia sakit permanen, makanya diberikan grasi," ujar Patrialis.

Kalau pun tidak diberikan grasi, menurut dia, dalam dua bulan ke depan mantan Bupati Kutai Kartanegara tersebut sudah bisa mendapatkan status bebas bersyarat.

"Jadi tidak ada yang perlu di permasalahkan karena semua ada landasannya. Kecuali pemberian tanpa landasan, itu baru salah," tutup Patrialis.

Syaukani ini dinyatakan resmi bebas pada 18 Agustus 2010. Status narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang kini telah dicoret.

Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 7/G Tahun 2010 tanggal 15 Agustus 2010 menyebutkan hukuman untuk Syaukani dikurangi dari enam tahun jadi tiga tahun penjara, sehingga terpidana korupsi yang telah menjalani hukuman tiga tahun tersebut dinyatakan bebas.

Syaukani sendiri telah mengembalikan kerugian negara beserta dendanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebesar Rp49,6 miliar.

Mantan Bupati Kutai Kartanegara ini dinyatakan bersalah menyalahgunakan dana perangsang pungutan sumber daya alam (migas), dana studi kelayakan Bandara Kutai, dana pembangunan Bandara Kutai, dan penyalahgunaan dana pos anggaran kesejahteraan masyarakat.

Jumlah dana yang disalahgunakan dari tahun 2001 hingga 2005 mencapai Rp93,204 miliar.

Pengadilan Tipikor dan pengadilan tingkat banding sendiri telah memvonis Syaukani dengan hukuman dua tahun enam bulan penjara. Di tingkat kasasi, hukumannya justru diperberat menjadi enam tahun penjara.
(ANT/P003)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010