Jakarta (ANTARA News) - Tinggal beberapa puluh jam lagi bulan suci Ramadhan 1431 H akan berlalu. Sesudah berpuasa sebulan penuh, tibalah saat Allah SWT, Tuhan pemilik alam semesta, mengganjar kita dengan satu Fitri.

Apakah di hari itu kita termasuk golongan hambaNya yang dapat berkah dan maghrifah, tentu hanya Dia pula semata yang tahu. "Berpuasalah untuk-Ku, nanti Aku yang menentukan pahalanya untukmu".

Apakah kita dikembalikan suci seperti bayi baru lahir, segala dosa diampuni, tentu itu menjadi dambaan kita bersama. Ataukah sebaliknya, kita tetap saja makhluk memble, seperti sediakala, belum lulus juga dari ujian di bulan Ramadhan ini? Nauzublillahi minzalik.

Beribadah shaum atau berpuasa Ramadhan memang istimewa. Bulan penuh berkah. Hanya di bulan Ramadhan puasa diwajibkan. Satu-satunya bulan yang di dalamnya terdapat Lailatul Qadar. Yang di dalamnya, ada satu malam, di antara malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir itu, nilai keberkahannya bagai seribu bulan. Ada ulama pernah menghitung, keberkahan seribu bulan itu setara dengan delapan puluh tiga tahun usia manusia.

Taman Firdaus

Janji Allah itu kongkrit. Frekuensinya jelas, tinggal kita saja bisa tepat tune in atau tidak di dalam frekuensi Zat Maha Rabbi tersebut. Itulah daya tarik satu Ramadhan dan satu hari Fitri persembahan Tuhan yang tak ubahnya sebuah taman bermain, taman firdaus nan indah dengan berbagai fasilitas yang comfort, berlimpah hadiah, berlimpah bonus karena Allah langsung memimpin gamenya. Itu rahasia mengapa bulan puasa selalu dinanti.

Orang yang dirasuki setan sepanjang hidup pun menyambut riang kehadiran bulan puasa. Berharap juga dosa-dosanya dihapus, dan itu tidak mustahil. Tak heran jika di akhir Ramadan, banyak yang meratap, menangis sedu sedan, enggan berpisah dengan bulan suci itu.

Semua orang mendambakan kembali suci pada hari Fitri, di akhir Ramadhan. Namun, kita juga mafhum Allah SWT tetap memberlakukan asas selektivitas dalam urusan itu.

Kita tahu diri tak begitu saja Tuhan membebaskan dosa-dosa hambaNya. Ada prosedur dan ketentuannya. Yang hobi berat bikin dosa kepada Tuhan dan kepada sesama manusia tentu proses pengampunan berlaku lebih ketat. Apalagi, bagi orang yang dengan sengaja sebelas bulan selalu bikin dosa dan bebal menganggap dosa-dosa itu toh hapus dengan sendirinya saat Ramadhan dan Idul Fitri.

Padahal, anak kecil saja tahu yang disucikan Allah SWT di hari fitri hanya orang yang sepenuh-penuhnya beriman dan bertakwa. Yang sungguh-sungguh ikhlas mengikuti perintah dan menaati laranganNya. Kita tak tahu, adakah kita termasuk di antara golongan itu. Kita cuma bisa berharap masuk golongan yang diampuni.

Batas halal & haram

Kami tahu, Ya Allah! Yang berpuasa saja tidak otomatis bakal diberi ampunan dosa, apalagi yang sengaja tidak berpuasa. Berbagai hal masih akan diperiksa, termasuk niatnya. Ya, Rabbi, Engkau memang berulangkali mengingatkan, jangan berpuasa hanya untuk menahan lapar dan dahaga tok. Sedangkan yang lain, misalnya hawa nafsu, untuk korupsi, selingkuh, berzinah, tidak berhasil dikendalikan.

Padahal, menahan hawa nafsu termasuk tujuan utama puasa. Puasa, kata para ulama sengaja diciptakan Tuhan demi mereedukasi kita supaya makin tajam mengenal batas halal dan haram. Batas hak dan yang batil. Batas punya orang dan punya abang kita sendiri. Batas milik negara dengan milik kita pribadi.

Puasa dibuat untuk simulasi bagi kita supaya pandai mengenali mana lapar mata, mana lapar nyata. Waktu siang rasanya semua makanan sanggup kita telan, namun begitu beduk maghrib, nyatanya sepiring nasi saja sulit dihabiskan.

Lihat perempuan cantik, mata kita silau, lupa kita periksa dia sungguh-sungguh perempuan atau jelmaan iblis belaka.

Benar, saat bulan puasa semua setan dikerangkeng. Tapi, eh jangan main-main, malah banyak di antara kita yang sudah terlanjur pakai ilmu setan. Membuat puasa menjadi aneka macam. Ada puasa untuk konsumsi tetangga maupun politik. Ada puasa beduk: hari pertama dan hari terakhir doang. Itu yang membuat terus keliru mengira toh Idul Fitri nanti semua dosa diampuni. Dosa apa pun, besar atau kecil.

Kita selalu lupa, bahwa jago tipu sehebat apa pun tak mungkin bisa mengelabui Tuhan. Presiden bisa dikelabui, kapolri, menteri, ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekalipun bisa dikecoh, atau gubernur mungkin dapat dibodohi atau sebaliknya. Tuhan mana pula bisa, kawan. Tuhan pasti belum pernah mencipta manusia yang mampu mengelabuinya.

Mana pula Tuhan bisa kecolongan, seperti halnya kita, memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden pada waktu pemilu misalnya. Ternyata belakangan baru menyesal, pemimpin pilihan kita cengeng banget. Sedangkan, anggota parlemen yang kita pilih, karena dia kawan, eh ternyata pecundang.

Kita baru tahu permainannya kotor. Ibaratnya, dia sendirian yang bermain di lapangan tenis, sangka kita dua orang. Yang mengoper bola dia dan dia sendiri pula yang mengembalikan. Kasarnya, dia memang tampil di depan umum mengecam habis satu golongan. Tapi, di balik layar, tangannya sampai juga diberangkas pihak yang dikecamnya. Makelar kasus (Markus) rupanya. Mainan khas Orde Baru (Orba) yang dulu dia juga ikut mengecam, kini dipungutnya lagi.

Mana bisa Tuhan dibohongi oleh pejabat yang mengemplang bantuan untuk orang miskin dan jatah anak yatim. Tuhan mustahil bisa melupakan perbuatan pengusaha besar sekaliber apapun yang sembilan puluh persen hartanya dari hasil kongkalikong, dari proses hajab sirajab bin mustajab yang merugikan orang lain, menjarah dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dana Bank Century, menjarah milik negara lainnya, milik rakyat, walaupun waktu bulan puasa di layar televisi, tampak royalnya membagi sedekah tiada tanding.

Idul Fitri memang populer juga dengan sebutan Lebaran. Bisa jadi karena itu, maka kebanyakan kita pun mengira syarat utama menjadi suci adalah mengikuti Lebaran.

Lihat saja salah satu ikonnya, ketupat, yang hanya bikin kenyang secara fisik. Sedangkan, Lebaran dipersempit lagi maknanya, harus di kampung. Pengampunan dosanya seakan lebih mulus dibandingkan di kota. Maka, mau tak mau, apa pun kesulitannya, terabas saja. Mau satu minggu atau satu bulan konvoi mudik bikin macet jalanan sampai mengerahkan energi nasional mengurusnya tidak soal. Mau seminggu dua minggu tinggalkan tugas dan kewajiban kantor, "emangnya gue pikirin".

Maka, persoalan pun menjadi semakin rumit. Sebulan penuh rasanya waktu kita habis hanya untuk memburu segala keperluan lebaran. Kirim kartu lebaran saja memakai biaya negara bermiliar rupiah. Kue lebaran, angkutan lebaran, libur lebaran, tunjangan hari raya (THR), dan banyak lagi benda-benda lebaran telah menyita energi nasional kita, sampai sekedar mengingatkan negara tetangga yang lancang menghina, seperti tak punya daya.

Di wilayah ini kita kembali terjerembab dalam kehidupan yang itu-itu lagi: saling bersikut lagi, saling mengenyahkan dan saling adu mengambil dan hendak memiliki lebih banyak dari yang lainnya. Bodohnya lagi kita, karena menganggap dengan mengajukan permohonan maaf kepada teman, sanak keluarga, kerabat, relasi serta siapa saja ke segala penjuru dunia, kita telah menyempurnakan tradisi Lebaran. Dosa telah diampuni Tuhan. Beres.

Ya, Allah, semoga Engkau memaafkan gaya kami dalam merespons Ramadhan-Mu, hari Fitri-Mu, yang cupet sangat kami namai lebaran, yang masih sebatas begitu-begitu saja kami laksanakan. Maafkan kami yang telah diberi kesempatan berkali-kali, sampai berpuluh kali, tapi belum juga mampu tune in, tepat dalam frekuensi-Mu. Berilah kami lagi kesempatan untuk memperbaiki ibadah puasa tahun depan, Ya Rabbi. Sesungguhnya kami memang makhluk amat rendah dihadapan-Mu. (*)

*) H. Ilham Bintang (ilhambintangmail@yahoo.co.id, ilhambintang@cekricek.co.id, twitter: @ilham_bintang) adalah Sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, dan Pemimpin Redaksi Tabloid Cek&Ricek (C&R).

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010