Faktanya, tidak sedikit praktik pendidikan yang hanya bertumpu pada materi pelajaran, kemudian mengabaikan aspek penanaman karakter-karakter baik untuk siswa
Bondowoso (ANTARA) - Perubahan sebagai suatu keniscayaan. Bahkan ada adagium bahwa yang kekal itu adalah perubahan itu sendiri.

Kalau biasanya perubahan itu merupakan pilihan, dengan tujuan perbaikan atau untuk mempertumbuhkan atas keadaan menuju yang lebih baik, maka pandemi COVID-19 telah memaksa semua orang untuk berubah.

Pandemi Corona Virus Disease 2019 memaksa semua pihak dan semua sektor kehidupan untuk ikut berubah, tak terkecuali dunia pendidikan.

Kalau di era 1990-an atau awal 2000-an pembelajaran jarak jauh hanya menjadi wacana, maka sejak kasus pertama ditemukan pasien COVID-19 di Indonesia, yakni pada Maret 2020, pembelajaran jarak jauh harus menjadi praktik dan kebiasaan.

Sebagai kebiasaan baru, tidak mudah bagi para pemangku kepentingan bidang pendidikan untuk mengejawantahkan apa yang dahulu pernah diprediksi oleh ahli pendidikan itu. Kendala utama terletak pada bagaimana guru mengoperasikan perangkat teknologi yang selama ini hanya untuk kepentingan media sosial, kemudian diubah menjadi peranti pendidikan.

Semua terlihat kelimpungan menghadapi kenyataan baru itu. Dalam kondisi apapun pendidikan harus terus berjalan. Maka, keadaan memaksa para guru, termasuk siswa dan orang tua siswa, untuk mengikuti pola pembelajaran jenis baru itu karene tuntutan di masa pandemi.

Pakar pendidikan dari Universitas Negeri Malang (UM) Prof Dr I Nyoman Sudana Degeng mengistilahkan dunia pendidikan sebagai sebuah orkestra yang harus berlangsung dengan indah dan menyenangkan.

Baca juga: Pendidikan di tengah pandemi luput dari pidato presiden

Pada pelatihan nasional persiapan pembelajaran tatap muka setelah kasus COVID-19 mereda yang diselenggarakan oleh Musyawarah Guru Bimbingan Konseling (MGBK) SMK Jawa Timur secara daring itu, Sudana Degeng menampilkan sebuah video orkestra musik yang menggambarkan bagaimana proses pembelajaran di sekolah telah berubah dari masa ke masa.

Awalnya dosen pascasarjana bidang teknologi pembelajaran UM itu menampilkan video orkestra dengan pemain dari masyarakat banyak. Awalnya mereka terpencar-pencar, kemudian bertemu di suatu halaman terbuka yang semua penontonnya juga menjadi pemain musik. Musik itu menjadi sajian indah yang bisa dinikmati bersama. Itulah gambaran dunia pendidikan saat ini. Semua pihak, mulai dari siswa, keluarga besar siswa, dan masyarakat harus menjadi pemain dari orkestra pendidikan itu.

Sudana Degeng kemudian menampilkan video lain, yakni permainan orkestrasi di ruang tertutup yang sudah diatur sedemikian rupa dengan hanya orang tertentu yang memainkan alat musik tanpa ada penonton. Guru menjadi konduktor. Itulah gambaran dunia pendidikan di era 1990-an dan sebelumnya.

Pada era lalu, proses pembelajaran terjadi dengan pola guru dan murid datang ke sekolah dan memasuki ruang kelas tertutup, di mana guru menjadi sentral atau pemain utama. Murid tidak bebas memainkan alat musik yang mereka pegang, karena harus berpatokan pada materi musik yang sudah ditetapkan oleh konduktor. Suara musik pun hanya menggema di ruang terbatas, kelas.

Itulah realitas perubahan yang mau tidak mau harus diikuti oleh guru. Guru harus berubah agar tidak ditinggalkan oleh siswanya.

Baca juga: Psikolog: Orang tua harus paham literasi digital di era COVID-19

Kalau dulu guru hanya bekerja sendirian untuk menyiapkan agar proses pembelajaran berlangsung dengan baik, maka saat ini perlu adanya kolaborasi, yakni dengan siswa, termasuk orang tua, bahkan masyarakat, termasuk industri penyedia layanan telekomunikasi juga.

Pada waktu lain, Prof Sudana Degeng juga menampilkan video seorang anak yang datang ke kelas selalu terlambat. Si guru selalu memberi hukuman pada si anak. Sikap guru berubah ketika suatu pagi ia melihat si murid masih mengantar ayahnya ke rumah sakit. Ketika sang murid kembali datang terlambat dan siap menerima hukuman, si guru kemudian menangis dan memeluk muridnya itu. Si guru begitu menyesal dan merasa bersalah.

Video itu menampilkan pesan agar guru lebih dekat dengan mengetahui banyak tentang siapa murid mereka. Pengetahuan tentang masing-masing murid itu sangat penting agar guru tidak melakukan kesalahan-kesalahan menghadapi muridnya dalam proses belajar. Pengabaian terhadap "pengetahuan siapa muridnya" itu sangat banyak dilakukan oleh guru. Guru terlalu gampang menghakimi dan memberikan hukuman tanpa menelaah jauh sebab dan akibat murid yang melakukan kesalahan, sehingga proses pembelajaran tidak menghasilkan tujuan yang maksimal.

Video yang sangat menyentuh ditampilkan Sudana Degeng ketika seorang anak menyuapi ibunya yang sudah renta, kemudian di waktu lain di si anak menyunggi ibunya saat melewati pematang dan menyeberangi sebuah sungai. Ini adalah pesan tentang pendidikan karakter yang juga harus menjadi perhatian guru untuk mendidik manusia yang memiliki karakter kuat, yakni peduli pada sesama.

Pertanyaannya, apakah pendidikan selama ini sudah menyentuh ke hal-hal yang seperti itu? Faktanya, tidak sedikit praktik pendidikan yang hanya bertumpu pada materi pelajaran, kemudian mengabaikan aspek penanaman karakter-karakter baik untuk siswa.

Hal ini kembali kepada pentingnya seorang guru mengetahui siapa sebenarnya si murid itu. Pengabaian terhadap karakter masing-masing anak, pada akhirnya akan menghasilkan murid yang berkarakter tidak peduli pada sesama.

Maka, pembelajaran dengan pola baru yang ditandai dengan pembelajaran jarak jauh ini, guru harus mampu menyentuh hal-hal yang berimplikasi pada penanaman karakter baik pada anak didik. Sudah bukan waktunya guru membeda-bedakan potensi anak didik, misalnya hanya memperhatikan mereka yang cerdas dan hebat. Pada hakikatnya, semua anak adalah hebat.

Pada fase pembelajaran jarak jauh, di mana guru menjadi konduktor dan siswa, termasuk orang tua menjadi pemain alat musik, tentu menjadi tantangan tersendiri bagi guru untuk menyampaikan materi pelajaran sesuai kurikulum dan saat bersamaan juga dituntut untuk menanamkan karakter yang baik pada anak didiknya.

Pekerjaan guru, termasuk orang tua, adalah seni yang menuntut keterampilan "tinggi" dengan melibatkan hati dan perasaan sehingga orkestra pendidikan tadi menjadi sesuatu yang kolaboratif, indah, dan harmoni.

Salah satu kuncinya adalah guru harus senantiasa menjadi teladan yang baik bagi para muridnya, juga untuk orang tua murid dan masyarakat. Guru harus menjadi inspirasi.

Baca juga: Unhas terus berupaya tingkatkan mutu pendidikan di tengah pandemi
Baca juga: Mendikbud: Orang tua berperan pendidikan karakter selama PJJ
Baca juga: Mengantisipasi krisis karakter di kala pandemi

 

Copyright © ANTARA 2021