Lagu "Semalam di Malaysia" karya Syaiful Bachri ––yang awalnya dinyanyikan Said Effendi dan kemudian D’Lloyd ––masih sering diperdengarkan dalam berbagai acara di Indonesia. Bagi mereka yang berusia di atas 40 tahun, lagu ini semacam evergreen, kenan
Lagu "Semalam di Malaysia" karya Syaiful Bachri ––yang awalnya dinyanyikan Said Effendi dan kemudian D’Lloyd ––masih sering diperdengarkan dalam berbagai acara di Indonesia. Bagi mereka yang berusia di atas 40 tahun, lagu ini semacam evergreen, kenangan indah.

Lagu ini bercerita tentang pengembara Indonesia di Malaysia. Ketika pulang, ia tidak lagi menemukan kekasih hatinya, yang sama-sama berjuang. Ia hampa, kehilangan,  dan merasakan nasib sebagai pengembara yang hina.

Saya menyukai lagu ini. Semasa anak-anak, pada 70 sampai 80-an di Sumatera Utara, lagu ini sering diperdengarkan Radio Malaysia –– yang masa itu satu-satunya gelombang radio transistor yang dapat didengar  ––  selain lagu-lagu Malaysia yang dinyanyikan P Ramlee, Saloma, Ahmad Djais, Syarifah Aini, maupun Rafeah Buang.

Melalui Radio Televisyen Malaysia (RTM), pendengar di Malaysia dan Indonesia saling bertukar lagu dan ucapan. Pendengar dari Riau, Sumbar, Sumut, dan Kalimantan bertukar ucapan selamat dan bertanya kabar kepada saudara atau teman-teman mereka di Negeri Sembilan, Kuala Lumpur, Terengganu, dan Johor.

Melalui RTM pula, sepekan sekali disiarkan film-film Indonesia pilihan, yang dialognya diperdengarkan secara utuh. Film-film (mereka menyebutnya wayang gambar) itu antara lain "Kawin Lari" (Teguh Karya) dan "Pengantin Remaja" (Wim Umboh). Dan, melalui RTM juga, kami lebih mengenal nama Tun Abdul Razak, Musa Hitam, Hussein Oon, maupun Mahatir Mohammad, daripada nama menteri-menteri Indonesia. Kami juga lebih hafal pemain sepak bola mereka. Ada Mochtar Dahari, So Tjin Aun, dan Sontokh Sing.

Kini sudah berbeda. Di beberapa stasiun radio Malaysia, pendengar lebih suka meminta lagu-lagu Krisdayanti, Peterpan, Rosa, dan Sheila On-7. Ini sempat diprotes penyanyi-penyanyi Malaysia karena lagu-lagu mereka jarang disiarkan. Di rak penjualan kaset dan CD di Kuala Lumpur, mudah sekali menemukan album penyanyi-penyanyi Indonesia. Konser penyanyi Indonesia dipenuhi penonton. Di Indonesia, Siti Noorhaliza juga disukai.

Begitulah interaksi terjadi. Belakangan saya sering ke Malaysia, beberapa kali bertemu Perdana Menteri Ahmad Badawi, wakilnya Najib Razak (kini PM), serta tokoh-tokoh pers di sana. Bersama beberapa wartawan, pada pemilu Malaysia lalu, kami berkunjung ke semua negara bagian (kerajaan). Hampir tak ada beda dengan perjalanan ke Sumatera dan Kalimantan: rumah-rumah panggung,  warung kopi dan pisang goreng di pinggir jalan. Kambing, sapi, dan ayam sering pula melintasi jalan.

Kultur kedua negara hampir sama. Perbedaan justru tingkat kesejahteraan. Awalnya, Malaysia meminta guru dari Indonesia. Buku-buku Hamka hingga Pramoedya Ananta Toer jadi bacaan wajib mahasiswa. Ribuan mahasiswa Malaysia belajar di Indonesia. Pada masa Mahatir Mohammad. Mereka mengadopsi restorasi Meiji. Anggaran pendidikan terus ditingkatkan. Mereka mengirim pelajar-pelajar ke seluruh dunia.  Kini, hampir tidak ada negara tanpa mahasiswa Malaysia.

Mahatir memindahkan pusat pemerintahan dari Kuala Lumpur ke perkebunan sawit di Putra Jaya, sekitar 50 km dari Kuala Lumpur. Jauh sebelumnya, Indonesia sudah merencanakan memindahkan kantor pemerintahan dari Jakarta ke Jonggol, Jawa Barat. Kita lebih awal memiliki gagasan, namun Malaysia yang merealisasikannya.

Sedangkan kita pada 20 tahun lalu, terlena dan bahkan lupa pada masa depan. Pak BJ Habibie melakukan lompatan teknologi melalui IPTN dan mengirim ratusan mahasiswa Indonesia ke Eropa dan AS, namun niat baik ini hancur dilanda politik ketika Gus Dur dan Megawati berkuasa. Mahasiswa Indonesia yang dikirim justru bekerja di luar negeri ––  bahakan beberapa orang bekerja di Malaysia –– karena di  sini keahlian mereka tidak dimanfaatkan.

Pada masa Orde Baru, Indonesia merasa bangga dianggap sebagai negara utama ASEAN, sebagai pemimpin politik di kawasan ini. Di dalam, ekonomi rapuh. Puncaknya terjadi krisis ekonomi dan politik 1998. Pak Harto jatuh dan bangsa ini terpuruk. Malaysia, yang ketika itu juga terkena krisis, cepat pulih. Mahatir menolak gagasan Wakil PM Anwar Ibrahim yang mendorong Malaysia mengikuti saran IMF. Meski ada ketegangan –– Anwar dipecat –– namun situasi politik negara itu stabil.

Stabilitas politik itu mendorong Malaysia memperkuat dirinya. Perusahan besar mereka, Petronas –– yang dulu belajar dari Pertamina –– terus melakukan ekspansi ke berbagai negara, termasuk ke Indonesia. Mereka pun membeli bank-bank Indonesia, yang dijual murah. Mereka memiliki perkebunan sawit di Sumatera dan Kalimantan.

Krisis politik masa reformasi yang disusul pergantian presiden, membuat kita terkulai dan  tidak berdaya cukup lama. Pengangguran meningkat. Lebih dari dua juta orang akhirnya mencari kerja ke Malaysia, menjadi pembantu rumah tangga dan bekerja di perkebunan.

Buruh-buruh itu ada yang melalui jalur resmi, ada juga melalui calo. Malaysia kewalahan dan sebagian dipulangkan, namun kembali lagi. Di antara buruh illegal itu ada yang disiksa dan tak diberi gaji. Bahkan ada juga yang menjadi penjahat  dan perampok. Dengan nada sinis, media-media Malaysia yang kecewa atas perilaku itu, menyebut salah satu kawasan yang didiami banyak orang Indonesia di Kuala Lumpur, sebagai ”Jakarta”.

Ketika bertemu PM Badawi dan pada hari yang sama bertemu Wakil PM Najib Razak pada 2008 lalu, kami menyampaikan protes atas penggunaan istilah ”Indon” terhadap orang Indonesia. Kepada media Malaysia, kami juga menyampaikan hal sama. Protes ini mereka terima dan di media istilah itu tidak ada lagi.

Dalam percakapan, PM Badawi menyatakan berkepentingan atas kemajuan Indonesia. Alasannya, apabila Indonesia maju, maka Malaysia mendapat keuntungan politik dan ekonomi. Sebaliknya, bila Indonesia menghadapi konflik atau ekonomi memburuk, misalnya, maka Malaysia menerima imbasnya. Rakyat Indonesia akan membanjiri Malaysia daripada Singapura. Pekerja ilegal akan semakin banyak.

Hubungan antarrakyat juga sangat kuat. Istri Mahatir berasal dari Tanjungpura, Sumatera Utara. PM Najib berasal dari keturunan Bugis dan istrinya dari Minangkabau. Dari generasi ke generasi, tali perkawinan terjadi antara orang Indonesia dan Malaysia. Orang-orang Melayu, Minang, Bugis, dan Jawa mendiami berbagai wilayah di negara itu. Mereka menggunakan bahasa yang sama: bahasa Melayu. Orang-orang Indonesia itu membawa pula kebudayaan leluhur mereka ––tari-tarian, wayang, batik, reog –– yang kemudian berbaur dalam kebudayaan negara itu.

Kini hubungan kedua negara mengalami ketegangan karena kapal-kapal perang Malaysia mendekati Blok Ambalat. Indonesia menyatakan wilayah itu miliknya, sedangkan Malaysia juga mengklaim hal serupa. Harga diri Indonesia, sebagai negara besar, terganggu oleh perilaku Malaysia itu, apalagi sebelumnya Sipadan dan Ligitan jatuh ke tangan mereka melalui Mahkamah Internasional pada masa pemerintahan Megawati.

Bagi Indonesia, seperti ditegaskan Presiden SBY, Ambalat merupakan harga mati. Tapi kedua negara berupaya menyelesaikan persoalan ini melalui jalur diplomasi, bukan kekuatan militer. Panglima Tantara Diraja Malaysia, Jenderal Abdul Aziz Zaenal, Rabu (10/06) bertemu Menhan Juwono Sudharsono untuk meredakan ketegangan ini.

Dua negara ini memiliki banyak persamaan, kecuali tingkat kesejahteraan. Ini semestinya tidak mendorong satu dan lainnya merasa lebih tinggi atau sebaliknya.  Apa yang diperoleh kedua negara –– baik atau buruk –– adalah buah dari pohon yang ditanam para pemimpin dan rakyatnya.

Di Chow Kit, sebelah utara Kuala Lumpur, lagu-lagu dangdut lama dan baru silih berganti diputar melalui pengeras suara di toko-toko musik dan elektronik sepanjang jalan. Kaset khotbah pagi Buya Hamka terdengar pula di sela-sela hingar bingar pasar, yang banyak menjual makanan padang, jamu, dan rokok Indonesia itu. Saya berbisik pada seorang teman: Kita sedang berada di Indonesia!

(*)

Oleh Asro Kamal Rokan
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2009