Perkenalan saya dengan Mbah Surip, kurang lebih lima atau enam tahun belakangan, karena saya sering hadir di acara Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, yang dipimpin oleh Budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun).
Perkenalan saya dengan Mbah Surip, kurang lebih lima atau enam tahun belakangan, karena saya sering hadir di acara Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, yang dipimpin oleh Budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun).

Ia, Mbah Surip itu, dalam benak saya dan istri saya, adalah “penghibur wahid” yang nothing to loose yang membuat kami merasa “tercerahkan”.

Acara Kenduri Cinta sendiri adalah acara sederhana. Digelar di tempat parkir di areal TIM, acara yang rutin digelar setiap bulan sejak kurang lebih awal 2000 ini, punya penggemar setia, termasuk antara lain istri saya.

Sedangkan saya sendiri dengan komunitas Cak Nun sudah berinteraksi sejak 1990-an saat saya masih kuliah di Malang, Jawa Timur. Sesekali saya tampil ke depan, ngobrol soal politik dan kondisi bangsa, dengan berbagai narasumber.

Mbah Surip, sebelum mendadak tersohor luar biasa dan dikabarkan punya uang puluhan miliar rupiah, dan lantas mendadak meninggal itu, adalah salah satu “jamaah setia” Kenduri Cinta. Seingat saya sudah dua almarhum alumni Kenduri Cinta, selain almarhum Mbah Surip, satunya lagi adalah Penyair Hamid Djabbar.

Saya masih ingat, ramadhan beberapa tahun lalu, ketika acara Kenduri Cinta ditutup pukul tiga pagi, dan kami berempat, saya, Cak Nun, Hamid Djabbar (almarhum) dan Ilham (aktivis Kenduri Cinta, yang sekarang sudah non-aktif), makan sahur di rumah makan Padang seberang RSCM Cikini.

Dengan sandangan yang khas, rambut yang dibikin gimbal dengan topi khas, dan tentu saja wajah yang khas pula, Mbah Surip mendekap gitarnya, menunggu dipanggil tampil ke pentas oleh Cak Nun.

Dalam pandangan saya ia sufi yang “semeleh” (pasrah), ketika wajahnya mampu menyembunyikan banyak beban di pundaknya, dan selalu tersenyum dan tertawa menggembirakan semua orang.

Ideologi Mbah Surip ialah ideologi gembira, apa adanya, alamiah. Adapun ia harus perlu merasa tampil sebagai “Bob Marley”, karena publik ia perlu menarik perhatian. Karena untuk menyampaikan sesuatu, maka diperlukan daya tarik. Sebagai seniman, ia memilih genre-nya sendiri.

Lagu “Tak Gendong”, “Tidur Lagi” dan yang lain, sudah kami dengar bertahun-tahun yang lalu. Dan Mbah Surip masih tetap biasa-biasa saja, hingga tiba-tiba saya tersentak dengan berita-berita bahwa Mbah Surip tiba-tiba sudah menjadi jetset, justru ketika Micheal Jackson telah tiada (apa hubungannya ya?).

Bertahun-tahun bertapa sebagai “orang biasa”, menghibur “tanpa kenal harap” (walaupun ia terus berjuang dan berharap untuk terkenal dan menjadi bintang), akhirnya beberapa bulan belakangan ia dapat berkah, dapat momentum. Sebuah manajemen modern artis dan kecanggihan teknologi ringtone melejitkannya.

Sampai-sampai, ibu-ibu tetangga sebelah pun sering menyanyikan “Tak Gendong”, lebih indah dari suara aslinya. Hehehe.

Mbah Surip adalah jeda. Tanda. Seperti sedang ber-say hello, sebelum meninggal. Ia orang yang bersahaja. Yang memendam cita-cita. Dan sabarnya minta ampun (untuk merealisasikan cita-citanya itu). Saya kadang-kadang kasihan memandangnya saat itu, seperti pemain Ludruk yang tidak laku. Tapi, ia tak putus asa. Rekaman-rekaman sebelumnya “gagal”.

Mbah Surip tenggelam di tengah persaingan kapitalisme industri musik. Tapi, begitu momentum berpihak padanya, Mbah Surip ternyata demikian cepat meninggalkan kita, penggemarnya. O, betapa fana dunia ini.

Demokrasi “Tak Gendong”

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ny Ani Bambang Yudhoyono turut berduka cita atas meninggalnya Mbah Surip, “seniman agung dari Mojokerto” itu. Presiden dan Ny Ani mengirim bunga ucapan duka cita saat almarhum disemayamkan di kediaman Budayawan agung Rendra (yang sekarang sedang menderita sakit itu), Bengkel Teater Rendra, Depok.

Secara khusus diberitakan Presiden SBY juga mengucapkan berbela sungkawa. Berbagai stasiun televisi menyiarkan “besar-besaran” kematian Mbah Surip dan prosesi penguburannya dengan siaran langsung.

Pada hari yang sama, di meja saya dikirim sebuah tabloid politik yang bergambar Presiden SBY menggantikan wajah Mbah Surip sedang menggendong seseorang. Dan kalau sudah dikarikaturkan secara politik, maka Mbah Surip sudah menjadi ikon politik pula.

Syair “Tak Gendong” yang populer itu, mendadak pula menjadi syair politik yang dikaitkan dengan peristiwa politik. Kebetulan 2009 ini adalah tahun politik. Kultur politik Indonesia yang “demikian pragmatis” seolah klop memperoleh kritik tajam dari syair “Tak Gendong”.

Mbah Surip itu, Anda tahu, orang Jawa tulen, walaupun ia mengaku pernah bekerja di dunia perminyakan di Amerika (kalau ini saya baru tahu). Namanya kalau tidak salah Urip Ariyanto, membuat syair “Tak Gendong” dengan gaya bahasa campuran Jawa-Indonesia. Kata “tak”, bukan berarti “tidak”, tetapi “saya”, maka “tak gendong” berarti “saya gendong”.

Kata “gendong” pun juga dari khasanah bahasa Jawa. Sama-sama berkonotasi memikul kata “gendong” beda dengan “bopong”, angkat, “usung”, timang, atau yang lain.

Kata “gendong” punya arti yang khas. Aktivitas menggendong dikaitkan dengan adanya orang yang kuat untuk menggendong yang “perlu digendong”, biasanya yang punya keterbatasan, atau anak kecil.

Posisi yang digendong di belakang punggung. Andai saja ada ojek manusia, maka pengojek akan menggendong penumpangnya. Karenanya “menggendong” berkonotasi pula mengangkat, memberangkatkan dan membawanya ke posisi tertentu.

Dan dalam dunia politik, ada senioritas yang menarik para juniornya. Ada oligarkhi politik, sekerumunan elite yang mengakar ke dalam suatu kroni yang eksklusif, dimana satu sama lain saling menggendong, memperkuat kelompoknya. Karenanya, lagu “Tak Gendong” sesungguhnya pula mengkritik realitas “kroniisme” di lembaga-lembaga politik kita.

Di sisi lain, ujaran “Tak Gendong” juga merupakan semacam peringatan, kalau bukan semacam “filsafat politik”, akan harus dipertanggungjawabkannya “amanat demokrasi”. Barangkali Mbah Surip sendiri tak sampai atau tak bermaksud “berfilsafat” demikian, tetapi secara tidak sengaja ia mengajak publik untuk membangun suatu penafsiran akan betapa seriusnya “demokrasi tak gendong” itu.

Pesan “demokrasi tak gendong” jelas: kita, rakyat, telah berpartisipasi dalam pemilu yang demokratis, memilih para wakil rakyat yang notabene “para pemimpin”, dan karenanya rakyat telah memberikan amanat kepada mereka, para politisi kita itu.

Sesungguhnya mereka hadir karena “digendong” oleh rakyat, untuk dititipkan amanat demokrasi dalam “gendongan” mereka. Bersahajalah menjadi pemimpin. Selesaikan urusan “kepentingan pribadi” terlebih dahulu apabila Anda hendak jadi pemimpin, agar tidak kemaruk dan menjadikan kekayaan-materi sebagai tujuan.

Tafsir ini mengingatkan saya pada penjelasan Anies R Baswedan saat mengomentari buku saya “Menjadi Pemimpin Politik” (terbitan Gramedia dan diluncurkan 22 Juli 2009 di Universitas Paramadina), saat membaca kutipan Richard Nixon dalam buku itu, “A public man must never forget that he loses his usefulness when he as an individual, rather than his policy, becomes the issue”. (***)


M Alfan Alfian, Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta.

Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009