"Tidur siang terlalu mahal buat kita! Asrama ini dibayar rakyat, SPP kita juga dibayar rakyat!" begitu kata kawan saya, Jordan, pada suatu siang akhir tahun 80an membangunkan saya.
"Tidur siang terlalu mahal buat kita! Asrama ini dibayar rakyat, SPP kita juga dibayar rakyat!" begitu kata kawan saya, Jordan, pada suatu siang akhir tahun 80an membangunkan saya.

Asrama kami dikenal dengan nama Asrama Felicia IPB, hanya bisa dihuni oleh maksimal 15 orang. Model bangunan tua, warisan Belanda. Asrama tersebut hingga kini masih ada. Dua tahun lalu, asrama tersebut sempat jadi lokasi shooting film "Perempuan Berkalung Sorban".

Siang itu, dengan agak dongkol namun dalam hati saya membenarkan teguran itu, saya terbangun dari tidur siang yang jarang saya nikmati. Siang itu, kami tertidur sejenak untuk menghilangkan penat setelah seminggu menyelenggarakan pelatihan kepemimpinan tingkat nasional sebuah organisasi extra-universiter di Bogor.

Teguran itu, bukan satu-satunya kebiasaan yang Jordan lakukan terhadap kami. Dia juga mengajak teman-temannya berdisiplin untuk total berorganisasi, sebagai cara untuk membayar utang pada rakyat, katanya.

Selama tinggal di asrama, dia paling sering mengkritik paper dan materi-materi kultum subuh yang bergiliran kami lakukan.  Kuliah tujuh menit (kultum) sehabis sholat subuh, membuat paper, presentasi, diskusi, latihan jadi pengarah diskusi, dan mengisi hari-hari sebagai penggiat organisasi kemahasiswaan adalah hari-hari yang membuat asrama tersebut tidak pernah sepi.

Dia juga yang paling sering memprovokasi rapat-rapat pengurus asrama, forum diskusi coffee morning yang dilakukan setiap hari minggu pagi dan rapat-rapat kepengurusan organisasi agar terus kritis, meski kadang rapat baru selesai dengan diakhiri sholat subuh berjamaah.

Bahkan, laporan pertanggungjawaban kepengurusan organisasi yang hampir disetujui forum pun bisa mentah lagi bila ia datang dan bergabung. “Kita harus mengkritisi pertanggungjawaban, ada tanggung jawab besar di sana” begitu katanya mendelik.

Sebagai orang Surabaya, Jordan selalu menyampaikan semua pandangannya dengan lugas diiringi matanya yang berbinar-binar menyala. Bahkan, semua penghuni asrama dapat julukan unik, sesuai dengan kebiasannya.

Seorang teman yang rajin mengetik surat-surat, dia juluki "teketek" mengikuti bunyi mesin tik merk Brother waktu itu. Dia bilang, jadi Sekretaris Umum jangan hanya pandai mengetik surat, namun harus jadi master-mind organisasi.

Seorang teman yang ia nilai paling bijak, dia panggil "Buya", agar teman itu mengikuti kearifan Buya Ismael Metareum yang saat itu memimpin PPP. Saat itu kami suka tersenyum sendiri mengamati “kreativitas” dan "kejahilan" Jordan ini. Pasrah, sebab dia punya hak untuk memanggil kami dengan sebutan sesukanya. Hak itu, tidak kami gunakan terhadapnya.

Jordan telah menjadi kawan berorganisasi yang sangat mengasyikkan dan kadang-kadang “menjengkelkan” dengan totalitasnya yang luar biasa. Sebab, dia tidak pernah puas dengan kinerja teman-temannnya. Dia selalu melihat kekurangan, yang kadang tidak kami lihat.

Dia juga terus menjadi "lawan" diskusi yang terus menantang kemampuan argumentasi kami. Puncaknya, seperti diuraikan pada awal tulisan ini, dia juga terus “mengganggu" kami yang ingin tenang berisirahat, setelah penat beraktivitas.

Bertahun-tahun mengalami masa-masa itu sungguh masa yang tidak nyaman. Pada masa itu, saya merasa Jordan “over dosis”, kelebihan hormon adrenalin berorganisasi. Tidak jarang, saya pun merespon dengan keras sikap-sikapnya tersebut. Terhadap sikap keras itu pun, Jordan tidak berubah, dan tidak pernah berubah. Bahkan setelah saya selesai  kuliah dan harus pindah dari asrama tersebut.

Belakangan, Jordan selesai juga studinya. Saat ini, Jordan menekuni bisnis asuransi setelah sempat berkarir di dunia sekuritas. Dia hidup bahagia bersama keluarganya. Kami masih sering berhubungan. Jordan sekeluarga menjadi sahabat keluarga kami. Matanya yang berbinar-binar terwariskan pada Btari, puteri sulungnya.

Namun kawan, “latihan” mental menghadapi sikap Jordan tersebut telah membuat saya dan teman-temannya belakangan lebih terbiasa menghadapi tekanan dan kondisi ketidak-nyamanan yang terjadi pada lingkungan, di manapun. Tidak ada hidup yang mudah, sebab setiap orang pasti harus menghadapi setiap ujian, baik ujian pada kehidupan pribadi maupun saat berinteraksi dengan lingkungan kerja dan sosial lainnya.

Hanya orang yang sudah meninggal yang bebas dari ujian. Namun orang yang meninggal itu tidak dapat kembali pada kehidupan sebelumnya untuk melakukan tindakan-tindakan perbaikan, sebab kematian adalah one way ticket; jalan yang tidak memungkinkan kita kembali ke dunia.

Dalam kehidupan ini, kita masih punya kemewahan untuk melakukan tindakan-tindakan perbaikan. Amal jariah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak soleh dan solihah lah yang dapat terus mengisi tabungan kebaikan yang kita lakukan, bila kita meninggal kelak. Lain tidak.

Kawan, kita semua pasti pernah memiliki masa-masa yang tidak menyenangkan dalam kehidupan, terutama memiliki teman-teman yang mungkin “menjengkelkan”. Ada teman yang selalu melihat kekurangan atau ketidaksempurnaan dari apa yang kita lakukan.

Saya yakin Anda sepakat dengan saya, kawan tersebut ternyata adalah sahabat sejati, sebab ia mampu menyampaikan hal-hal yang bisa membuat kita terus-menerus memperbaiki diri, dalam segala hal. Bahkan, pepatah lama menyatakan “kawan sejati, adalah kawan yang berani menyatakan kekurangan pada diri kita”. Dan, pepatah lain menyatakan yes man adalah musuh kita sesungguhnya. Terima kasih Jordan, sahabat sejati kami.

Beberapa tahun lalu, Edward de Bono pernah menulis buku yang terkenal berjudul “Six Hats of Thinking”. Setiap orang berpikir dengan cara yang berbeda-beda, tergantung topi apa yang ia kenakan.

Ada yang sering mengenakan topi yang membuatnya sering pesimis atau sebaliknya. Apa pun topi yang dikenakan, semua adalah sudut pandang yang bisa saling melengkapi agar kita bisa melihat semua persoalan secara menyeluruh.

Moral dari cerita di atas adalah pelajaran bagi saya, dan mungkin Anda, bahwa kawan yang “menjengkelkan” pun, boleh jadi adalah sahabat dan bahkan guru sejati. Pelajaran ini penting bagi kita yang tengah berikhtiar menjadi master-mind dan “programmer” hidup kita masing-masing. Kita memiliki kebebasan untuk bersikap terhadap stimulus lingkungan apapun yang terjadi pada diri kita.

Setiap orang adalah pemimpin, begitu Sabda Nabi Muhammad SAW. Setiap pemimpin pasti diminta pertanggungjawabannya, begitu Nabi melanjutkan. Sungguh bijaksana, bila setiap pemimpin mampu meramu semua sudut pandang dalam proses pengambilan setiap keputusan atau kebijakan, pada tingkap kepemimpinan apa pun.

Mari petik pelajaran dari de Bono di atas, sungguh bijak bila para pemimpin lebih banyak mendengar agar dapat membuat peta yang lebih lengkap terhadap setiap permasalahan.

Kualitas kepemimpinan sangat ditentukan oleh kualitas keputusan yang diambilnya, sebab pemimpin adalah orang-orang yang melakukan hal-hal yang benar, begitu kata pakar kepemimpinan, Warren Bennis.

Mata kita terbatas, sudut pandang kita pun terbatas. Orang-orang di sekitar kita, boleh jadi adalah mereka yang mampu memberikan sudut pandang yang lebih luas, meski terkadang sudut pandang tersebut pahit terdengar karena berupa kritikan terus-menerus. Sebagai insan pembelajar, jalan perbaikan atas keputusan dan praktik kepemimpinan yang kita jalankan adalah jalan mendaki yang mungkin tidak berujung.

Saat kita berhasil menaklukan sebuah gunung walau melalui proses pendakian terjal dan panjang, biasanya kita melihat ada gunung lain yang lebih tinggi masih harus kita taklukkan berikutnya, begitu kata Stephen Covey.

Bagi mereka yang berorientasi pada ikhtiar membangun keagungan kepribadian, boleh jadi mereka ingin terus mendaki, sebab mereka ingin membawa misi untuk menyuarakan suara hatinya yang paling dalam, memberi makna dan manfaat bagi orang lain.

Kawan, kita tahu jamu itu pahit. Namun, mengapa kita masih mau meminumnya? Sebab jamu itu kita yakini dapat menyembuhkan dan menyehatkan, bukan?. Boleh jadi, kita harus mengubah cara melihat teman-teman yang “menjengkelkan” itu, sebab boleh jadi juga teman tersebut sesungguhnya adalah teman sejati kita. Wallahu’alam.

*) Praktisi manajemen dan pemerhati kepemimpinan, tinggal di Bogor. 

Oleh Ahmad Mukhlis Yusuf
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009