Godaan njlimet belanja jaringan telekomunikasi nirkabel memenuhi ungkapan habis terang terbitlah terang. Optimistis, karena teknologi Pansus Bank Century mengandalkan gancang, gaco, gape (3G). Boleh dibilang, dari kata terbitlah fakta, dari isin (mal
Mana lebih keren bagi penggila belanja teknologi informasi dan komunikasi, jaringan telekomunikasi nirkabel di Tanah Air yang  variatif, atau jaringan telekomunikasi nirkabel ora ngerti isin yang meditatif? Pilihlah, teknologi 3G, yang diplesetkan dengan glosari Betawi sebagai Gancang (cepat), Gaco (andal), Gape (lihai).
   
Dijamin ayem tentrem. Dua kubu saling berhadapan, antara GSM (global system for mobile communication) dan CDMA  (code division multiple access). Dan ujung-ujungnya publik bersimbah evolusi kecepatan.

Silakan pilih dan rogoh kocek, karena konsumen bertindak sebagai "penumpang gelap" yang siap menyalip di tikungan di tengah persaingan kubu Internet selular dan WiMax. Kredonya: tarif murah.

Godaan njlimet belanja jaringan telekomunikasi nirkabel memenuhi ungkapan habis terang terbitlah terang. Optimistis, karena teknologi Pansus Bank Century mengandalkan gancang, gaco, gape (3G). Boleh dibilang, dari kata terbitlah fakta, dari isin (malu) terbitlah ora ngerti isin (tidak tahu malu).
   
Bukankah di jaringan Internet, Indonesia kelak memasuki babak baru dengan kiprah teknologi Internet berkecepatan wus-wus-wus (hingga 70 Mbps). Jadikan terang benderang bagi persaingan ketat layanan Internet berbasis seluler yang memanfaatkan teknologi 3G, 3,5G, bahkan 4 G: gancang, gaco, gape, genjing (ramai).
   
Bagaimana tidak 3G dan 4G? Simak saja genjingnya sapuan perhatian media yang ditingkahi teks komentar dan dihiasi gambar Menteri Keuangan Sri Mulyani berukuran tiga perempat halaman muka surat kabar.

Kata "tentang" menyeruduk mata perhatian pembaca seputar apa yang terungkap dan apa yang tersingkap. Kata pepatah Latin, mereka mempunyai mata tetapi tidak melihat (oculos habentes sed non videntes).
   
Tentang dampak penyelamatan Bank Century, menurut harian Bisnis Indonesia, Sri Mulyani yang juga mantan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) mengatakan, "Seluruh rakyat Indonesia (diuntungkan). Dan terbukti hingga sekarang APBN kita merupakan salah satu yang tersehat dibandingkan dengan negara-negara lain".

Tentang tanggung jawab sebagai Ketua KSSK, ia mengatakan, "Saya mencegah krisis dengan menyelamatkan Bank Century berdasarkan data Rp632 miliar". Tentang kerugian negara, ia mengungkapkan, "Saya belum lihat ada kerugian negara dalam PMS (penyertaan modal sementara). PMS itu adalah dana penyertaan LPS kepada Century dan belum dibukukan sebagai kerugian".
   
Dengan dibekali 4G, respons kritis tiba. Kata anggota Fraksi Partai Golkar (FPG) Melkias Markus Mekeng, "Itu statement yang misleading. Menurut saya dia sebagai pejabat publik salah ngomong begitu."

Menurut anggota Pansus Gayus Lumbuun, "Tidak bisa begitu, secara moral harus tanggung jawab secara keseluruhan Rp6,7 triliun." Serta merta bersua komentar pamungkas dari anggota pansus Mahfudz Siddiq, "Itu terlalu dini."

Tiga variasi jawaban dari Menkeu itu direspons agar bergaung meditatif bagi pembaca kritis. Dengan mengusung panji eksistensialisme, hakekat manusia 'terlempar', karena ia mempunyai kemungkinan dan kemampuan (sein konnen), dan menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang selalu baru. Inilah belanja dari proyek meditatif manusia berlabel teknologi 3G dan 4G.

Di mata filsuf Karl Jaspers dan Martin Heidegger, kemungkinan-kemungkinan diruncingkan oleh masa lampau dan masa sekarang. Di mata Jean Paul Sartre, kemungkinan itu tidak terbatas.

Proyek manusia berakhir dengan kematian. Bagi Heidegger, Jaspers, dan Gabriel Marcel, kematian justru membuka perspektif baru menuju hal yang meditatif dari Yang Ilahi.

Apakah teknologi ora ngerti isin ketika berhadap-hadapan dengan teknologi Pansus Bank Century dapat menghantar manusia kepada pijar meditatif menuju Yang Ilahi? Jangan dulu menjawab. Menurut guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara, Franz Magnis-Suseno, belajar untuk merasa malu (ngerti isin) tampil sebagai langkah perdana ke arah kepribadian Jawa yang matang.

Dalam buku Etika Jawa, Magnis menulis, penilaian ora ngerti isin merupakan kritik yang amat tajam. Rasa isin dikembangkan kepada anak dengan membuat dia malu di hadapan tetangga, tamu, dan sebagainya, apabila ia melakukan sesuatu yang pantas ditegur. Orang Jawa merasa isin apabila ia tidak dapat menunjukkan sikap hormat yang tepat terhadap orang yang pantas dihormati. Yang dicari, jiwa luhur budi terpuji, dan bukan semata pertimbangan rasio.

Dapat dipampatkan bahwa jaringan telekomunikasi antar manusia merujuk kepada ujaran, jangan pernah lupa bahwa di sekeliling rasio, manusia memiliki serambi intuisi. Gunakanlah intuisi untuk menjejak proyek manusia yang serba teralienasi, bukan semata mengandalkan rasio.

Bermeditasilah di tengah kondisi manusia yang terperangkap alienasi. Salah satu caranya, merasa isin, karena di sana ditemui jejak-jejak burung Manyar. Ora ngerti isin kerap didorong pertimbangan rasio yang didominasi rasa keakuan (egoisme). Jika tidak ada yang mengendalikan, rasio tiada henti menyentak serba aneka kepentingan diri.

Manusia yang teralienasi terus merasa bersalah karena ia tidak menjadi dirinya. Karena tidak menjadi dirinya, hidup dirasa sebagai mesin waktu, dan sesama dilihat sebagai benda saja. Tidak ada esensi diri.

Bicara mengenai esensi diri, Buddhisme mengajarkan cinta kasih sesama, meski Buddhisme tidak mempercayai kemujaraban tindakan manusia. Padahal, meditasi menyeluruh mencakup kualitas tindakan, penciptaan dan kualitas cinta kasih. Kereta dunia meditatif menghela manusia untuk merasakan kehadiran sesuatu yang tidak tergambarkan, sesuatu yang tidak terlukiskan karena keterbatasan kata-kata.
   
Buah meditasi, meraih kegembiraan yang tidak artifisial, karena Yang Ilahi serba Mencekam, Mempesona dan Menggetarkan. Bukankah Aristoteles dalam karyanya berjudul Politics, telah mengutip penyair Yunani klasik, Hesiodos, yang bersajak bahwa pertama-tama dari segala sesuatu adalah rumah, seorang istri dan seekor kerbau pembajak.

Rumah adalah tempat berlindung anggota keluarga, istri adalah mitra dalam mereproduksi keturunan, dan kerbau pembajak merupakan simbol kegiatan bisnis dan ekonomi dalam memenuhi hidup serta memperoleh hak milik pribadi. Untuk itu, manusia wajib bekerja.

Laksana binatang, manusia harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar untuk hidup, maka manusia disebut animal laborans. Mengutip filsuf Hannah Arendt, "...bekerja adalah perbudakan demi kebutuhan hidup, dan perbudakan ini melekat pada kondisi kehidupan manusia".
   
Bekerja, bekerja, bekerja, inilah teknologi 3G saat bermeditasi seputar makna ora ngerti isin dalam jaringan nirkabel manusia Indonesia kontemporer yang tidak ingin teralienasi dari Yang Ilahi.  (***)

Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010