Pada saat ini kita berada atau menjalani Ramadhan pada era yang sudah berbeda dengan sekian puluh tahun lalu. Jumlah televisi swasta di Indonesia sudah demikian banyak, dan jor-joran menyiarkan paket-paket acara semalam suntuk, yang titik-titik punca
Dalam sebuah acara di Yogyakarta, mampirlah saya dan rombongan ke kantor sebuah organisasi mahasiswa Islam, dan tiba-tiba saya ingat betapa para aktivis itu kini sudah berada di jalanan abad ke-21, di zaman digital yang canggih, zaman informasi tanpa batas, zaman yang menuntut setiap orang untuk kreatif dan inovatif.

Karena itulah, ketika berbincang-bincang informal itu saya punya usulan yang, sebenarnya biasa saja tapi barangkali cukup radikal: bagaimana kalau aktivis mahasiswi Muslimah membuat lipsync shalawat atau “lagu-lagu Islami” lain (barangkali juga “Tombo Ati” versi baru), lantas menguploadkannya ke-youtube. Setidaknya dengan begitu mereka sudah mencoba kreatif.

Tentu saja usulan itu diinspirasi oleh tenarnya dua mahasiswi iseng dari Bandung, yakni Jojo dan Sinta, yang merekam lipsync “Keong Racun” yang mendadak melontarkan keduanya sebagai orang-orang yang bahkan lebih popular ketimbang peserta kontes idol yang terlembaga. Siapa tahu, dengan lipsync shalawat oleh para mahasiswa Muslimah itu, bisa menyaingi “Keong Racun” yang pilihan-pilihan kata dalam lagunya, termasuk vulgar dan cukup “saru” itu.

“Menyaingi” dalam arti, kreatifitasnya direspons juga secara antusias oleh khalayak. Tapi, apa reaksi mereka?  Para aktivis itu, tertawa. Tapi, lantas kelihatannya mereka mulai berpikir, setelah saya mengatakan bahwa substansi yang saya katakan adalah mereka harus kreatif-inovatif.  Pada zaman digital-informasi serba terbuka ini, ekstrimnya hanya ada dua pilihan: kreatif (inovatif) atau “mati”.
   
Kalau Anda ingin biasa-biasa saja, maka janganlah membuat terobosan-terobosan apa-apa. Silakan statis dan monoton saja. Tetapi kalau suara Anda mau didengar, kiprah Anda mempengaruhi banyak orang dalam skala yang luas, sehingga Anda “bukan aktivis biasa”, maka berbuatlah sesuatu. Manfaatkan media apapun secara positif.
   
Jangan suka terjebak, karena Anda tidak suka substansinya, menyalahkan alatnya. Kalau Anda tidak suka wayang, jangan salahkan gamelannya. Kalau Anda tidak suka konten-konten negatif situs-situs di internet, jangan salahkan internetnya. Manfaatkan saja “alat-alat” itu untuk kepentingan yang lebih positif.
   
Sebab, kalau kita masih terjebak pada wilayah “alat-alat”, “simbol-simbol”, kapan majunya?
    
Menjadi aktivis pada zaman yang “musuh bersama”-nya sangat abstrak saat ini, memang butuh kreatifitas ekstra. Demonstrasi secara fisik, tidak selamanya relevan dengan keadaan. Strategi perjuangan para mahasiswa sebagai moral force harus disesuaikan dengan zamannya.

Setiap masa, nuansa permasalahan yang timbul beda-beda. Lingkungan eksternal sudah berubah. Kalau saja Bung Karno berjumpa dengan Insinyur mesin waktu, dan melontarkannya ke zaman kita sebagaimana film dengan sutradara Steven Spielberg “Back to The Future” (1985), maka kira-kira, bagaimana ia akan menyikapi keadaan?
   
Mungkin, penyikapannya seperti yang dicatat dalam kolom-kolom Christianto Wibisono “Dialog Imajiner dengan Bung Karno”, mungkin pula tidak. Tetapi, diperkirakan Bung Karno akan shock (meminjam istilah Alvin Tofller “Future Sock”, buku yang ditulisnya pada 1970).

Barangkali Bung Karno akan terkaget-kaget seperti para pemuda yang tertidur ratusan tahun, lalu terbangun dan melihat dunia sudah berubah sama sekali.
   
Mungkin Bung Karno akan punya akun facebook, atau ikut-ikutan bermain twitter. Atau ia akan bikin partai politik lagi, atau yang lain. Banyak kemungkinannya, termasuk barangkali mengubah pilihan-pilihan mode bajunya, mengingat konsep “kenecisan” pun juga turut bergeser.
   
Intinya, saya hendak mengatakan, ini zaman sudah berubah. Para aktivis yang idealis dihadapkan pada permasalahan yang secara substansi sesungguhnya sama, tetapi bentuk-bentuk tantangannya berubah.     
   
Tetapi, kalau kita tengok apa yang dilakukan oleh aktivis perjuangan tempo dulu, Bung Karno, Hatta, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, Ki Hadjar Dewantoro, Sutomo, Wahidin Sudirohusodo, Tjipto Mangunkusumo, sjamsurijal, dan sebagainya, maka, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang senantiasa kreatif dalam mencari terobosan dalam menyiasati keadaan.
  
Di tengah-tengah impitan pihak imperialis dan kolonialis, mereka toh sangat aktif memanfaatkan kesempatan : agar bangsa ini merdeka, berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Apabila pada zaman kolonial saja, kesempatan selalu ada untuk dimanfaatkan guna mewujudkan tujuan, maka pada zaman merdeka, bahkan zaman reformasi ini, kesempatan untuk memperbaiki keadaan selalu terbuka.

***
Karena yang saya kunjungi kebetulan adalah kantor organisasi mahasiswa Islam, maka tentu saja yang perlu saya ingatkan adalah, bahwa mereka adalah bagian dari umat dan bangsa. Umat dan bangsa itu berimpitan. Masalah umat ya masalah bangsa, masalah bangsa ya masalah umat. Ini memang mengingatkan kita pada judul biografinya almarhum Deliar Noer, “Aku Bagian Umat, Aku Bagian Bangsa”.
   
Karenanya, masih sangat relevan untuk lebih mengoptimalkan lagi peran umat Islam bagi kemajuan bangsa. Hal yang sama, saya kira juga berlaku untuk umat-umat beragama lain yang hidup di Indonesia, saling bersinergi membangun bangsa. Titik temu lebih baik ketimbang titik tengkar.
   
Realitas pluralism, bukan hambatan. Titik temu bukan berarti dilakukan dengan mengorbankan akidah masing-masing agama. Tetapi setidaknya ada komunikasi yang berkualitas, dimana agama-agama di Indonesia oleh para pemeluknya dapat diimplementasikan di dalam keselarasan berbangsa.
   
Karena Ramadhan hampir tiba, maka saya singgung juga bahwa bahwa ia adalah waktu yang baik untuk berkontemplasi, secara spiritual, fisik maupun pemikiran. Ingat tidak bahwa dulu ketika Bung Karno – Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, bertepatan dengan Ramadhan?
   
Bagi kita yang Muslim, Ramadhan dikenal dengan banyak julukan, dari mulai bulan penuh berkah, bulan kesabaran, bulan diskon pahala, hingga bulan yang di dalamnya terdapat malam yang lebih baik ketimbang 1.000 bulan. Ramadhan memberikan kesempatan bagi yang beriman untuk menjadi titik ubah atau titik sadar, dari “kegelapan” menuju “cahaya”.
   
Pada saat ini kita berada atau menjalani Ramadhan pada era yang sudah berbeda dengan sekian puluh tahun  lalu. Jumlah televisi swasta di Indonesia sudah demikian banyak, dan jor-joran menyiarkan paket-paket acara semalam suntuk, yang titik-titik puncaknya antara lain menjelang sahur.
   
Tetapi, tentu saja logika orang biasa seperti kita, agak berbeda dengan para pembuat program acara-acara itu. Kita ingin yang serius-serius, ceramah-ceramah berkualitas dan mencerahkan dari narasumber-narasumber yang berkompeten. Mereka, menginginkan sebaliknya.

Ceramah orang berkompeten diselip-selipkan saja di tengah-tengah acara lucu-lucuan. Mubaligh menjadi bagian selintas yang harus ada di tengah-tengah para pelawak dan artis-artis.
   
Kita sering geleng-geleng kepala menyaksikan acara-acara Ramadhan kita di televisi. Begitupun para mahasiswa Fakultas Dakwah tidak terlalu banyak protes. Barangkali mereka sadar bahwa, yang mengatur-atur acara televisi itu memang harus bekerja dengan paradigma budaya massa yang kapitalistik, yang harus mengutamakan pertimbangan pemasukan iklan-iklan.
   
Yang perlu kita sampaikan, agar semua (acara-acara itu) tidak melampaui batas, agar lebih diarahkan pada pendalaman substansi, bukan menajamkan artifisialitas (yang permukaan atau kulit luar saja).

***
Praktik puasa bulan suci Ramadhan telah meninggalkan budaya yang khas di setiap tempat. Tetapi, apakah sesungguhnya perlu organisasi-organisasi Islam melakukan razia-razia tempat-tempat maksiat dengan alasan supaya mereka menghormati bulan Ramadhan, tepatnya pelaku ibadah bulan Ramadhan?
   
Kita sering membaca spanduk besar-besar bertuliskan “Hormatilah Bulan Suci Ramadhan” atau “Hormatilah Mereka yang Sedang Berpuasa di Bulan Ramadhan”. Kata Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) suatu ketika, bahwa sepertinya kok Ramadhan atau pelaku ibadah Ramadhan alias umat Islam itu “gila hormat”, dengan menyuruh orang lain menghormatinya. Apakah tujuan kita berpuasa supaya kita dihormati?
   
Di sisi lain, mengkampanyekan menyambut bulan Ramadhan saya kira tidak harus dengan hal-hal yang kurang proporsional. Tidak harus dengan “pendekatan kekerasan”, sebab bukankah masih ada pendekatan cinta-kasih, yang simpatik dan empatik?     
   
Islam itu secara substansial adalah agama yang rahmatan lil alamin. Konsekuensinya citra Islam sebagai agama damai dan penyebar rahmat itulah yang harus dijaga oleh setiap diri kaum Muslim. Pendekatan “baik-baik”, manusiawi, simpatik dan empatik (menyentuh kalbu) sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW, bagaimanapun adalah yang utama.

Jangan cepat garang dan berbuat kerusakan dengan dalih yang tak masuk akal, yang berdampak mereduksi Islam sebagai agama pembawa keselamatan dan kedamaian.

Akhirnya, mari kita jadikan Ramadhan sebagai bulan yang benar-benar penuh dengan keberkahan, bukan permusuhan dan kerusakan. Wallahua’lam. (**)


M Alfan Alfian, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta

Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010