THR semula hanya semacam konvensi yang kemudian semakin terlembagakan, suatu kebijakan khusus dari perusahaan, khususnya swasta atau perorangan untuk memberi bonus sekedarnya pada karyawannya untuk menjalani ritual hari raya, yang dalam tradisi kita
Sebentar lagi Hari Raya. THR-nya mana bos? Bahkan yang bukan bekerja dengan kita pun biasa mengucapkan itu. Atau, bahkan kita sendiri sering berkata begitu kepada orang yang tak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan kita, dan orang itu juga bukan atasan kita –secara profesional di kantor.

Yang meminta THR itu bahkan kadang tak tahu apa kepanjangannya. Pokoknya, menjelang Lebaran, para buruh atau karyawan siap menerima THR. Bukan hanya biskuit atau sirup yang dimaui, tetapi lembaran bergambar Soekarno-Hatta.

Tentu bukan Taman Hiburan Rakyat atau Tuntutan Hidup Rakyat, tetapi THR itu Tunjangan Hari Raya.

Saya tidak tahu, siapa yang membuat singkatan ini pertama kali apakah Rezim Orde Lama atau Orde Baru. Mengapa pilihannya adalah kata “tunjangan”, bukan “santunan”, “hibah”, “tambahan” atau “pemberian”? Bagaimana cara menjelaskan  posisi antara “yang menunjang” dan “yang ditunjang”?

Baik, mungkin “tak ada gunanya” mempersoalkan istilah. Bukankah kalau kita diberi uang buat Hari Raya, senyum-senyum saja?

***

THR semula hanya semacam konvensi yang kemudian semakin terlembagakan, suatu kebijakan khusus dari perusahaan, khususnya swasta atau perorangan untuk memberi bonus sekedarnya pada karyawannya untuk menjalani ritual hari raya, yang dalam tradisi kita berarti mudik, baju baru, makanan berlimpah, dan “halal bi halal”.

Soal THR ini, saya ingat kolom “lucu”, Almarhum Mahbub Djunaidi pada dekade 1980-an. Mahbub menulis kolom judulnya THR di sebuah majalah berita terbitan ibukota. Ia mengutip sebuah cerita pendek karya sastrawan legendaris Rusia, Anton Chekov.

Kalau boleh diulang, kisahnya begini.

Iyem (sebut saja namanya begitu), seorang buruh rendahan dipanggil ke ruang Pak Bos.

“Iyem, adapun kamu aku panggil ke sini, urusannya jelas. Aku akan memberikan gaji kamu bulan ini plus THR,” ujar Pak Bos.

Iyem lega.

“Tapi, sebelum memberimu gaji dan THR, aku akan bacakan catatan utang-utang kamu selama ini”.

Iyem menarik napas.

Pak Bos membacakan catatan utang-utangnya dengan khidmat. Iyem semakin menarik napas dalam-dalam. Singkat kata, ternyata utangnya masih jauh lebih besar daripada gaji plus THR-nya. Iyem makin lunglai dan nangis.

Saya lupa kelanjutan kisah itu, tetapi, cerpen Anton Chekov selalu dramatis. Apakah Pak Bos memang betul-betul tega untuk tidak memberi apa-apa pada Iyem? Atau karena Iyem nangis, ia jadi berubah pikiran?

Cerpen itu mengkritik logika ekstrim kapitalisme yang menempatkan buruh atau karyawan sebagai faktor produksi yang memang diposisikan sebagai entitas yang selalu dieksploitasi.

Humanisme, tak ada hubungannya dengan kinerja dan aturan main perusahaan. Kalaupun dalam kisah di atas Pak Bos, akhirnya tersentuh pada tangisan Iyem, dengan memberinya THR dari kantong sendiri, maka itu bukan suatu peristiwa yang sistemik.

Bahkan tindakan Pak Bos seperti itu, kalau ketahuan kapitalis lain, akan ditertawakan, karena dianggap lucu. Pak Bos akan dianggap sinterklas yang tidak produktif, sok pahlawan, sok berjiwa sosial –padahal Pak Bos bukan berposisi di dalam jajaran kapitalis kaya raya yang asyik jor-joran dengan program-program filantropiknya seperti Bill Gates, Warren Bufett, atau Goerge Soros.

Dalam logika “kapitalis tanggung”, memberi adalah berkurang. Ketika Pak Bos menyedekahi Iyem, maka uangnya akan berkurang. Kalau berkurang, maka ia akan rugi, setidaknya menyia-nyiakan kesempatan uangnya dipakai untuk modal usaha produktif.

***

Tapi, kalau Anda simak “kampanye” Ustad Yusuf Mansyur, memberi itu tak berkurang, tapi malah bertambah. Sedekah itu tidak membuat Anda jatuh miskin, mengingat secara spiritual ada nilainya –dan rezeki itu misterius alias sudah ada yang mengatur.

Bersedekah itu gampang. Tak harus susah-susah dititipkan kepada Pak Ustad atau Pak Kiai, soalnya bisa kita kasihkan sendiri ke yang berhak. Etikanya, “tangan kiri tak melihat tangan kanan sewaktu memberi” –tak usah dipamer-pamerkan, karena kesombongan “menghancurkan semuanya”.

Kita dianjurkan untuk bersedekah, manakala kita sedang dalam keadaan lapang atau sebaliknya, sedang kekurangan. Bersedekah di kala lapang, tentu lebih mudah dibanding di kala “sesak”. Tapi justru karena itulah nilainya berbeda.

Bersedekah tak perlu diekploitasi untuk kepentingan pencitraan –kalau ingin nilai spiritualnya lebih sempurna. Dan jangan pula mengatasnamakan mereka yang berhak menerima sedekah, mengorganisasikannya, untuk kepentingan diri-pribadi.

Kalau Anda pimpinan Panti Asuhan, maka jangan main-main dengan hak-hak anak yatim yang Anda urus –dengan cara mengeksploitasinya, dan “hasilnya” untuk Anda bersenang-senang atau untuk umroh, bahkan untuk ongkos naik haji.

Demikian pula kalau Anda pengasuh Pondok Pesantren, tentu tak elok, manakala para santri Anda dudukan sebagai “barang jualan” meminta sumbangan sedekah kiri-kanan, justru untuk memperkaya diri Anda pribadi sedemikian rupa sehingga jauh dari asas keadilan.  

Mengelola lembaga agama dan lembaga pendidikan agama butuh uang. Membuat masjid buruh uang. Untuk berbagai kegiatan agama butuh uang.  Tetapi, cara mengakumulasikan uang itu harus dengan cara yang berakhlak.

Janganlah “adegan-adegan spiritual” Anda belokkan ke kepentingan akumulasi material dan simbol-simbol keagamaan yang sesungguhnya “palsu”. Jangan atas nama “pembangunan masjid” Anda memperkaya diri. Jangan atas nama anak yatim dan para santri miskin, Anda terlena (diam-diam) memperkaya diri juga.
 
***

Kalau Anda mampu naik haji di tengah-tengah kemiskinan sekitar Anda, maka harus dipertimbangkan betul kiranya, sebab Anda masih punya kewajiban sosial yang lebih mendesak.

Dalam bukunya mengenai Haji, Sosiolog Ali Syariati, menyindir soal orang yang naik haji padahal belum –karena ia egois, tidak peka sosial, dan tak menjalankan tata aturan berhaji yang benar, padahal ia sudah keluar uang banyak.

Sementara, nilai berhaji akan melekat pada orang yang niat berhajinya luar biasa, tetapi setelah uang terkumpul, ia ikhlas menyedekahkannya pada orang yang dipandang lebih membutuhkannya secara sosial –dan ia merasa wajib untuk menyerahkannya.

Kalau kita sering sedekah, maka itu bisa jadi kapital sosial, tetapi yang utama adalah kapital spiritual. Dalam ajaran agama kita, faktor Tuhan adalah segalanya, tapi sayangnya sering terlupakan.

Dalam berbisnis, dimanakah Tuhan sering kita sembunyikan?

***

Tetangga kita yang miskin (benar-benar miskin) masih demikian banyak. Pemandangan kemiskinan umat, tak saja terpampang dengan dramatisnya di televisi-televisi, tatkala mereka berebutan sedekah –yang nilainya “tak seberapa”.

Agenda-agenda penyantunan dan pemberdayaan dari lembaga-lembaga zakat, infak dan sodaqoh (yang sudah demikian banyak dan jor-joran) juga sudah meningkat. Tetapi, persoalan kemiskinan umat atau rakyat masih menjadi keprihatinan utama kita semua.

Spirit Surat al Maun masih sangat penting sampai kapan pun –tak hanya berhenti sampai kegelisahan KH Ahmad Dahlan, yang dipopulerkan kembali dalam film Hanung Bramantyo “Sang Pencerah”.

THR sudah menjadi bagian dari ritme hidup para pekerja yang ingin ikut menikmati Hari Raya “secara wajar”. Dikatakan “secara wajar”, karena mereka rata-rata memang jauh dari “kecukupan” untuk merayakan Hari Raya.

Kalau para buruh itu cukup bayarannya, bahkan lebih karenanya, tentu tidak bersusah-susah berpanas-panas berdemonstrasi menuntut “THR tanpa dipotong pajak” –sebagaimana baru saja saya simak di sebuah berita televisi, saat tulisan ini ditulis.

Hari Raya semestinya tidak membuat kita terlena untuk mengedepankan “mentalitas pamer” dan lupa dengan realitas dan tanggungjawab sosial.

Mari kita luruskan niat, juga mengevaluasi diri, apakah langkah kita sudah benar –apakah selama ini tanggungjawab sosial kita sudah kita tunaikan dengan baik, ataukah justru kita masih selalu curang dengan mengeksploitasi yang seharusnya kita lindungi dan santuni sebaik-baiknya, untuk memperkaya diri? Bagian dari pemberantas atau penikmat korupsikah, kita? (***)

*M Alfan Alfian, Dosen di Universitas Nasional, Jakarta

Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010