Cirebon (ANTARA) - Aktivis bongkar muat di Pelabuhan Cirebon saat ini masih didominasi oleh kargo, terutama barang jenis curah kering, khususnya batu bara yang sampai saat ini menjadi komoditas utama pengiriman dari pelabuhan itu.

Setiap hari puluhan bahkan ratusan truk besar hilir mudik ke pelabuhan yang terletak di Kota Cirebon, Jawa Barat, yang umumnya mengangkut batu bara.

Kondisi itu sempat menjadi polemik di tengah masyarakat yang merasa udaranya tercemari dengan adanya debu dari batu bara, apalagi ketika musim kemarau tiba.

Bahkan pada tahun 2015 gelombang unjuk rasa  sempat menjadi pemandangan biasa di seputar pelabuhan karena setiap hari ada saja warga, aktivis dan lainnya yang menginginkan penutupan aktivitas bongkar muat batu bara di Pelabuhan Cirebon.

Akan tetapi setelah menemukan solusi, akhirnya, aktivitas bongkar muat batu bara masih tetap berjalan dengan syarat dapat meminimalkan polusi udara yang ditimbulkan.

Sampai saat ini, Pelabuhan Cirebon masih mengandalkan aktivitas bongkar muat batu bara yang menjadi komoditi utama, meskipun ada juga aktivitas kargo lainnya, seperti aspal, minyak, tepung, garam dan sebagainya.

"Paling banyak kargo curah kering, dan batu bara masih mendominasi," kata Deputi General Manajer Komersial PT Pelindo II Cabang Cirebon Ardiansyah.

Pelayanan peti kemas

Hingga kini Pelabuhan Cirebon, belum mempunyai pelayanan peti kemas, baik untuk antarpulau dalam negeri maupun luar negeri.

Padahal saat ini layanan tersebut sangat diminati oleh pedagang antarpulau, eksportir, dan juga importir di wilayah Cirebon dan sekitarnya, dikarenakan tingkat keamanan yang baik.

Untuk memanfaatkan pelayanan peti kemas, para pengusaha di wilayah Cirebon, harus ke Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, di mana biaya perjalanan darat lebih mahal daripada lautnya.

Perjalanan darat dari Cirebon ke Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, satu kali angkut bisa mencapai Rp15 juta sedangkan biaya lautnya hanya Rp10 juta, dan itu terjadi karena belum adanya pelayanan peti kemas di Pelabuhan Cirebon.

"Perjalanan laut cuma Rp10 juta, tapi biaya dari Cirebon ke Tanjung Priok (Jakarta) sampai Rp15 juta," kata Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Kabupaten Cirebon Ahmad Abdul Hadi.

Dengan kondisi itu, HIPMI Cirebon mencoba menjalin kerja sama dengan PT Pelindo II Cabang Cirebon, untuk kembali mengaktifkan pelayanan peti kemas ditandai melalui penandatanganan MoU antara kedua belah pihak.
Acara penandatanganan MoU antara PT Pelindo II Cabang Cirebon bersama DPC Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Cirebon, di Cirebon, Jawa Barat, Rabu (9/6/2021). (ANTARA/Khaerul Izan)


Ketika ada pelayanan peti kemas di Pelabuhan Cirebon, ongkos kirim barang bisa ditekan sekecil mungkin, sehingga harga komoditas bisa bersaing dengan daerah lain, dan tentu imbasnya akan meningkatkan ekonomi di wilayah Cirebon.

Bupati Cirebon Imron mengatakan, jika pelabuhan bisa difungsikan semestinya, terutama kegiatan pelayanan peti kemas, akan menjadi gerbang ekspor impor, terutama untuk wilayah sekitar, karena selama ini masih mengandalkan di Jakarta.

Tingkat perekonomian di wilayah Cirebon, masih rendah dibandingkan dengan wilayah priangan. Kondisi tersebut berlaku untuk tingkat kemiskinan, IPM, maupun jumlah pengangguran.

Untuk itu Pelabuhan Cirebon bisa dimaksimalkan menjadi gerbang ekspor atau impor, karena daerah ini memiliki berbagai akses, baik jalur darat, kereta api, laut, serta udara.

"Kalau dekat, saya rasa pengusaha juga bakal ekspansi ke wilayah Cirebon. Intinya, harapan ini untuk memberikan manfaat kepada masyarakat," kata Imron.

Sarana prasarana

General Manajer PT Pelindo II Cabang Cirebon Abdul Wahab mengatakan sarana prasarana pelayanan peti kemas di Pelabuhan Cirebon, sejatinya sudah ada, dan dapat difungsikan ketika ada aktivitas tersebut.

Seperti lapangan peti kemas, dermaga, alat penunjang dan lain sebagainya telah dimiliki, akan tetapi kegiatan yang belum ada.

Namun, kegiatan itu belum tergali secara optimal, sehingga harus menggali kembali potensi yang ada, karena ketika pelayanan ini berjalan, tentu akan meningkatkan perekonomian di Cirebon.

Pelabuhan Cirebon memiliki kapasitas tampung peti kemas sebanyak 300-400 TEUs dan ini tentu bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Selain itu untuk kapal yang bisa bersandar di Pelabuhan Cirebon, itu bisa memuat 200 TEUs dan sedimentasi alur juga tidak menjadi masalah, karena setiap dua tahun sekali dilakukan pengerukan.

Semua fasilitas yang ada tentu harus dimanfaatkan semaksimal mungkin, jangan sampai potensi itu tidak tergali dengan baik, mengingat di wilayah Cirebon, banyak aktivitas ekspor impor, terutama disektor industri rotan, buah mangga dan barang lainnya.

Bahkan untuk industri rotan setiap bulan tidak kurang dari 700 kontainer dikirimkan pengusaha ke berbagai negara dengan memanfaatkan Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, dan juga Pelabuhan Tanjung Emas Semarang.

Pengusaha asal Kabupaten Cirebon yang juga pernah menjadi Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Soenoto mengatakan sudah sering menginginkan adanya kegiatan ekspor di Pelabuhan Cirebon, terutama menggunakan peti kemas.

Karena yang dibutuhkan para eksportir untuk bisa memanfaatkan Pelabuhan Cirebon yaitu adanya peti kemas dari berbagai perusahaan yang selama ini digunakan mereka.

Seperti peti kemas dari Evergreen, MSC, APL dan lainnya harus tersedia, sehingga nantinya mereka akan memilih pelabuhan yang lebih dekat, karena ongkos pasti bisa ditekan.

"Permintaan eksportir itu, Pelabuhan Cirebon harus menyanggupi permintaan mereka, terutama untuk menyediakan jenis kontainer atau peti kemas yang dibutuhkan, karena ketika tersedia, maka akan otomatis eksportir melabuhkan barangnya di Cirebon," ujar Soenoto.

Tidak ada alasan lagi untuk Pelabuhan Cirebon tidak dijadikan pelabuhan ekspor impor, karena semua sudah ada.

Bahkan ketika bisa dikembangkan tentu daerah lain yang berbatasan dengan Cirebon, seperti Bandung, Tegal, Brebes, Pemalang dan lainnya akan memilih Pelabuhan Cirebon untuk mengirimkannya.

Pelayanan peti kemas di Pelabuhan Cirebon seharusnya bisa terwujud, karena dengan bertambahnya aktivitas itu, tentu akan berdampak positif bagi perekonomian masyarakat dan juga daerah.

Apalagi pelayanan tersebut tentu membutuhkan tenaga kerja yang tidak sedikit, maka ketika ada kesempatan untuk meningkatkan "pelabuhan batu bara" menjadi pelabuhan ekspor impor, harus segera dieksekusi dengan baik, tidak hanya sekedar wacana dan seremonial belaka.

Pelabuhan sebagai infrastruktur transportasi laut mempunyai peran penting dan strategis untuk pertumbuhan industri dan perdagangan dapat memberikan kontribusi bagi perekonomian dan pembangunan nasional karena merupakan bagian dari mata rantai dari sistem transportasi maupun logistik.

Karena itu dibutuhkan pengelolaan pelabuhan dilakukan secara efektif, efisien, dan profesional sehingga pelayanan pelabuhan menjadi lancar, aman, dan cepat.

Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021