Luluk lantak perkampungan penduduk di Kabupaten Kepulauan Mentawai tak terhindarkan akibat gempa berkekuatan 7,2 Skala Richter yang diikuti gelombang pasang tsunami setinggi sekitar 12 meter.

Gulungan gelombang pasang tsunami juga membawa material berupa batu karang yang menghempas dataran.

Korban jiwa berjatuhan karena terhempas gulungan gelombang, meskipun sebagian sudah mencoba untuk menyelamatkan diri, tetapi lidah air laut itu tetap menyapu mereka.

Bahkan, warga Mentawai harus berpisah secara tak wajar dengan anak-anak, sanak saudara dan anggota keluarga lainnya, meski sebelumnya dalam rangkulan, namun tetap direnggut "jilatan" air asin itu.

Kurni (19), satu dari ratusan warga yang selamat dari hempasan gelombang tsunami itu menuturkan, ketika gempa mengguncang perkampungannya, dia sempat keluar rumah bersama dengan suaminya.

Namun, warga Dusun Maonai, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai, itu dalam hitungan menit kembali ke dalam rumah dan menuju kamar bersama suaminya menuju anak semata wayangnya sedang tidur.

Tak lama kemudian terdengar suara dan teriakan warga lainnya di belakang rumah bahwa air laut naik. Ia pun berlari ke luar rumah dan langsung menuju perbukitan.

"Saat lari itu, saya menggendong anak saya, Rayen, menuju perbukitan, dan sempat bergantian dengan suaminya saat sampai di hadapan gereja," tuturnya.

Masyarakat lainnya, tengah antre di satu jembatan yang berukuran kecil menghubungkan dusun Maonai dengan daerah dataran tinggi.

"Warga harus bergantian menyeberang di jembatan kecil untuk menyeberangi sungai dengan luas sekitar 30 meter tersebut," katanya.

Jadi, dalam suasana antrean itu, gelombang tsunami sudah dekat sehingga air sungai yang cukup luas juga beradu dengan datangnya gulungan ombak.

"Kami tak ada lagi tempat lari, sehingga menyelamatkan diri ke dalam gereja. Sesampai di gereja masih ingin menutup jendela, air laut menghantam sehingga merobohkan gereja itu," katanya.

Kejadian itu, membuat warga yang berada dalam gereja terhimpit, akibatnya sekitar 34 orang meninggal dan hilang, tambah satu tewas di pengungsian sehingga berjumlahnya menjadi 35 orang.

Tujuh dari 35 orang yang meninggal belum ditemukan hingga hari keempat pascatsunami itu.

"Nasib malang yang menimpa kami, ketika sang buah hati terlepas dari rangkulan suaminya," katanya.

Saat gelombang tsunami ketinggian sekitar 10 meter sudah sampai di daratan, Rayen yang tengah dalam rangkulan bapaknya terlepas, karena hempasan gulungan gelombang membawa material kayu sehingga mengena tubuh suaminya.

"Kayu besar yang dibawa gulungan gelombang itu menghantam tubuh suami saya, sehingga pegangan terhadap anak laki-laki kami yang berumur 1,3 tahun itu terlepas dan terseret tsunami," katanya.

Sejak itu, Kurni dan suaminya tidak lagi bisa melihat dan menemukan anak semata wayang mereka itu.

Kurni dan suaminya sendiri sempat terhimpit dalam ruangan gereja, dan pada Selasa (26/10), berhasil keluar dari puing-puing rumah ibadah itu.

Setelah mendapatkan pertolongan warga lainnya, Kurni dan suami menuju perbukitan pada Selasa (26/10) untuk mengungsi setelah berpisah dengan sang buah hati mereka, saat gelombang laut menyapu daratan.

Semalam berada di pengungsian di kawasan perbukitan --perladangan-- warga Maonai, baru datang pertolongan warga dari perkampungan sebelah Rabu paginya.

"Kami mendapat pertolongan pada hari kedua pasca tsunami, datang masyarakat dari Mapinang, beserta Kepala Desa sekitar 18.00 WIB," tuturnya.

Sebelum dievakuasi dari pengungsian masih sempat melihat perkampungan, semuanya bangunan rata dengan tanah, tak satupun batoko yang berdiri dan hanya lantai-lantai rumah sebagian terlihat tersisa karena gulungan tsunami itu.

Perempuan yang ditinggal pergi anak semata wayangnya karena gulungan gelombang tsunami itu, kini terbaring di Gereja --tempat evakuasi-- korban luka-luka di Kecamatan Sikakap.

Kurni saat digulung gelombang laut, sempat terminum air laut sehingga kini berdampak terhadap fisiknya yang merasa sakit. Wajah perempuan satu anak itu, kini menderita luka-luka lecet di bagian wajah dan mengeluhkan sakit pada bagian dada.

Korban yang luka dan selamat dari gulungan gelombang tsunami menyapu dusun-dusun di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, kini terbaring di Puskesmas dan Gereja GKPM di Sikakap kabupaten itu.


Korban Berjatuhan

Korban tewas berhasil ditemukan di Desa Munte, Dusun Betumonga itu, Minggu (31/10) sebanyak 103 jiwa. Sedangkan yang masih dinyatakan hilang sebanyak 77 orang.

Secara keseluruhan korban meninggal akibat tsunami di Kepulauan Mentawai tercatat sebanyak 449 orang. Sedangkan yang masih dinyatakan hilang sebanyak 163 orang.

Korban yang mengalami luka-luka tercatat 270 orang mengalami luka berat, 142 orang luka ringan.

Rumah warga yang rusak akibat gempa dan tsunami sebanyak 517 unit kondisi rusak berat, 204 unit rumah rusak ringan.

Sarana pendidikan yang rusak yakni, 4 unit rusak berat, 1 unit rusak sedang. Selain itu empat unit Rumah Dinas rusak berat.

Dua unit Resor juga rusak berat yakni Resort Marcaroni dan Katei, 1 unit kapal pesiar terbakar, 1 unit kapal pesiar rusak ringan.

Fasilitas umum yang rusak ketika terjadi gempa disusul tsunami yakni jembatan 7 unit, antara lain jalan P2D rusak sepanjang 8 km. (ANT-143/K004)

Oleh Oleh Rudrik Syaputra
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010