Tanjung Selor (ANTARA) - Kemajuan teknologi informasi di era revolusi industri 4.0 telah menimbulkan berbagai perubahan pesat, termasuk partisipasi aktif warganet dalam menyampaikan informasi atau berita.

Data Internetworldstats menunjukkan
penetrasi internet Indonesia pada akhir Maret 2021 mencapai 76,8 persen atau 212,35 juta jiwa dengan estimasi total populasi sebanyak 276,3 juta jiwa.

Dengan jumlah pengguna internet begitu besar, artinya terdapat potensi besar memanfaatkan kemajuan teknologi informasi baik untuk tujuan positif maupun negatif.

Baca juga: Ketua Umum MUI: Islam Wasathiyah jadi benteng hadapi radikalisme

Baca juga: Bamsoet tegaskan MPR-Pemerintah komitmen perangi terorisme-radikalisme

Bagi kelompok radikal dan teroris, potensi tersebut menjadi peluang bagi mereka untuk menjalankan kepentingannya dengan berbagai pola.

Misalnya, jika dulu pengkaderan (rekruitmen) anggota radikal dan teroris melalui tatap muka, maka kini melalui media digital.

Pola-pola lain yang berkembang di era digital ini, termasuk menggunakan dunia maya sebagai alat penyebaran intoleransi dan radikalisme.

Pola berikutnya, menjadikan hoaks sebagai strategi menghasut dan meradikalisasi warganet melalui berbagai flatform media sosial.

Pola pendanaan terorisme juga kini sebagian menggunakan kejahatan siber atau peretasan situs (hacking).

Baca juga: BNPT: Terorisme halalkan segala cara himpun dana

Baca juga: Polri: Sumber dana kelompok JI dari kotak amal sejumlah yayasan

Bahkan, dengan kemajuan teknologi multimedia maka pola pembaiatan pun kini bisa secara online.

Pola lain di era digital ini dengan menggunakan strategi media framing dalam mengemas pemberitaan untuk kepentingan kelompok radikal dan teroris.

Dewan Pers memperkirakan jumlah media massa di Indonesia mencapai 47.000 media dan media online mencapai 43.300 (Jurnal Dewan Pers, November 2018). Terlihat begitu besarnya potensi penyebaran informasi melalui dunia maya.

Celakanya, dari 43.300 media siber itu baru sebagian kecil terferifikasi Dewan Pers. Bukan berarti yang belum terverifikasi itu adalah media penyebar hoaks, namun sulit untuk meminta pertanggungjawaban bagi media yang tidak jelas alamat dan pengelola karena belum terverifikasi.

Media abal-abal berpotensi dimanfaatkan untuk media framing serta penyebaran hoaks, intoleransi, radikalisme, ekstrimisme dan terorisme.

Di sini terlihat pentingnya kehadiran media arus utama (mainstream) agar lebih berperan aktif dalam menangkal hoaks, intolerasi, radikalisme dan terorisme.

Ketua Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kaltara Datu Iskandar Zulkarnaen mengungkapkan itu yang menjadi dasar kegiatan sosialisasi "Peran Masyarakat dan Media dalam Mencegah Paham Ekstrimisme, Radikalisme, dan Terorisme" dengan menggandeng Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kaltara di Tanjung Selor, belum lama ini.

Kasus Muhammad Kece

Hebohnya kasus yang menjerat Youtuber Muhammad Kece, bisa menjadi contoh pola efektif penyebaran hoaks, narasi negatif dan menghasut (intoleransi) melalui dunia maya.

Motifnya mungkin semata-mata hanya komersial, namun ulahnya telah menimbulkan kehebohan, serta bisa memecah belah kerukunan umat beragama dengan konten hoaks dan intoleransi yang ia sebarkan.

Baca juga: Muhammad Kece ditahan di Rutan Bareskrim Polri

Baca juga: Polri naikkan status dugaan penistaan agama M Kece ke penyidikan

Muhammad Kece yang membuat saluran YouTube-nya sejak 17 Juli 2020 dengan akun MuhammadKece sekitar setahun sudah mengunggah 450 video.

Dalam waktu relatif singkat, video unggahannya selalu ditonton ribuan orang dengan rekor terbanyak 24 ribu penonton. Termasuk dua video yang menuai kontroversi berjudul "Kitab Kuning Membingungkan" dan "Sumber Segala Dusta".

Polisi telah menangkap dan menjadikan Muhammad Kece sebagai tersangka Selasa (24/8) malam pukul 19.30 Wita di persembunyiannya, Kampung Banjar Untal-Untal, Desa Ulang, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Provinsi Bali.

Polisi menahan dia karena dipersangkakan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45a ayat (2) UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) atau Pasal 156a KUHP.

Bunyi pasal 28 ayat (2) ialah: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Kemudian, Pasal 45a ayat (2) berbunyi: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Lalu, Pasal 156a KUHP yang disematkan berbunyi: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Peran media "mainstream"

Data sebuah lembaga survei independen CIGI (Centre for International Governance Innovation) merilis laporan bertajuk "2019 CIGI-Ipsos Global Survey on Internet and Security Trust" menyimpulkan bahwa hoaks menyebabkan masyarakat dunia kehilangan kepercayaan terhadap media sebesar 40 persen.

Hal menarik dari riset ini, ternyata 24 persen masyarakat global akan mencari pembanding dari kabar diduga hoaks melalui portal berita yang dianggap telah layak melakukan fact-checking.

Baca juga: Mafindo: Polarisasi munculkan kelompok rentan hoaks-propaganda

Baca juga: Kominfo minta masyarakat kritis agar tak mudah termakan hoax

Terkait contoh kasus Muhammad Kece maka terlihat pentingnya keberadaan media mainstream sebagai media literacy serta fact checker guna meredam kegaduhan atau kemungkinan terjadi konflik horizontal.

Peran literasi media arus utama harus mencerdaskan warganet agar tidak mudah termakan konten menyesatkan seperti dalam video Muhammad Kece.

Peran "media literacy" bukan sekadar memberitakan, namun harus menjadi penengah atau meredam gejolak agar tidak terjadi kekerasan sosial.

Literasi media juga bertujuan melindungi konsumen yang rentan dan lemah dari berbagai penetrasi informasi liar. Media harus memberi pencerahan bagi masyarakat serta memberikan solusi atau manfaat.

Ini juga jadi peluang bagi media arus utama agar mampu bertahan di era digital dalam menghadapi gempuran informasi dari medsos.

Anggapan media mainstream akan terganti oleh medsos tidak akan terjadi selama tetap berperan sebagai "media literacy" dan memposisikan diri menjadi "fact checker".

Copyright © ANTARA 2021