Jakarta (ANTARA News) - Anggota Pansus DPR untuk RUU Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dari Fraksi Partai Demokrat, I Wayan Gunastra, mengatakan bahwa wakil dari Pemerintah harus memiliki suara atau akses dalam pengambilan keputusan di lembaga tersebut.

"Kalau Pemerintah tidak punya akses ke OJK mereka akan kesulitan memantau jika OJK meminta dana talangan atau bailout jika ada bank atau perusahaan yang bermasalah," kata Wayan di Jakarta, Selasa.

Menurutnya, Fraksi Partai Demokrat dalam hal pembahasan Dewan Komisioner (DK) OJK sangat mendukung usulan Pemerintah yang menginginkan dua anggota ex officio dari Pemerintah dan BI yang memiliki hak suara dan tujuh anggota DK yang diusulkan Presiden ke DPR untuk dipilih.

"Usulan Demokrat sama dengan keinginan Pemerintah. Negara harus punya akses ke OJK," katanya.

Dikatakannya, fraksi lain menolak keinginan Pemerintah dalam pembahasan DK itu dengan alasan tidak sesuai dengan amanah UU Bank Indonesia yang mengharuskan OJK sebagai lembaga yang independen.

"Kata independen ini yang harus diselesaikan, apakah lepas sama sekali dari unsur negara atau gimana," katanya.

Belum adanya persetujuan mengenai DK OJK ini membuat RUU OJK terancam tidak selesai sebelum waktu yang ditentukan akhir Desember ini, sehingga harus dilakukan amandemen UU BI sebagai konsekuensi hukumnya.

Sebelumnya, Ketua Pansus DPR RI Nusron Wahid mengatakan, pihaknya meminta waktu agar penyelesaian RUU itu diperpanjang dari akhir masa sidang DPR 17 Desember 2010 karena belum adanya titik temu persetujuan antara Pansus dengan Pemerintah dalam hal penentuan Dewan Komisioner (DK) OJK.

Ia menjelaskan, dalam amanat pasal 34 UU BI disebutkan bahwa OJK adalah lembaga yang independen atau di luar pemerintah sehingga seharusnya OJK berjalan tanpa intervensi pemerintah.

"Belum terjadi persetujuan dengan pemerintah, mengenai kalimat OJK harus di luar pemerintah terutama untuk struktur di OJK. Kita keberatan kalau anggota `ex officio` dari pemerintah. Bisa saja ada `ex officio`, tapi `no votting rights`," katanya.

Dikatakannya, untuk opsi itu, pemerintah masih ngotot agar tujuh anggota DK diusulkan Presiden ke DPR, dengan dua "ex officio" dari pemerintah dan Kemkeu yang memiliki hak suara dan ketua DK ditunjuk Presiden.

Sementara DPR memiliki tiga opsi struktur DK yang lebih menginginkan agar anggota DK lebih banyak diseleksi dan dipilih oleh DPR.

"Silakan pemerintah pilih tiga opsi yang kita miliki. Nanti kita akan ikut opsi itu meski itu usulan fraksi lain," katanya.

Sementara untuk ketua DK, pemerintah ingin itu ditunjuk Presiden sementara DPR ingin agar ketua DK ditunjuk oleh anggota DK sendiri.

"Kami tidak bisa mengerti kalau independensi diartikan Ketua DK ditunjuk Presiden. Ini `kan lembaga besar yang akan mengawasi dana Rp7.000 triliun. Bagaimana `check and balances-nya` kalau itu dipegang pemerintah," katanya.

Dengan mundurnya pembahasan RUU ini, Nusron mengatakan jika melewati batas waktu 31 Desember 2010, maka pengawasan perbankan dan lembaga keuangan lainnya akan tetap berjalan menggunakan undang-undang yang sudah ada sesuai pasal 35 UU BI.

Nusron juga mengatakan, hingga saat ini belum ada kesepakatan lagi dengan pemerintah mengenai jadwal pertemuan berikutnya pembahasan RUU ini. "Kita tunggu keinsyafan dan kesadaran pemerintah," katanya.

(D012/F004/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010