Jakarta (ANTARA News) - "Demokrasi terus tumbuh dan berkembang dengan dinamikanya sendiri yang khas dan unik di berbagai negara. Tidak ada istilah demokrasi telah selesai".

Kalimat itu meluncur dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya pada pembukaan Bali Democracy Forum (BDF) ke-3 di Bali International Convention Center, Nusa Dua, 9 Desember 2010.

BDF yang digagas Presiden Yudhoyono sejak 2008 merupakan ajang pertemuan rutin dari delegasi pemerintah puluhan negara Asia Pasifik untuk bertukar pikiran dan pengalaman tentang demokratisasi yang buahnya sama-sama didambakan oleh negara mana pun di dunia, yaitu kesejahteraan dan terpenuhinya hak-hak asasi manusia.

Perhelatan BDF ke-3 bertepatan dengan maraknya perbincangan tentang demokrasi di ruang publik.

Pasalnya, salah satu substansi dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diajukan pemerintah yang mengusulkan pemilihan gubernur dan wakil gubernur harus melalui proses demokrasi serta revisi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengusulkan gubernur dan wakil gubernur dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Tanpa menghubungkannya dengan polemik tengah berlangsung, Presiden dalam pidato pembukaan BDF ke-3 menjabarkan makna demokrasi sebagai berikut:

"Demokrasi merupakan sebuah proses untuk meningkatkan kesejahteraan, keadilan, serta kesamaan hak dan kebebasan setiap umat manusia. Demokrasi harus menciptakan rasa aman, tenteram, dan damai bagi masyarakatnya. Demokrasi, jika dijalankan dengan benar dan sungguh-sungguh, dapat menciptakan perdamaian dan stabilitas yang hakiki. Inilah sesungguhnya esensi dari demokrasi yang kita jalankan bersama," kata Presiden.

Dalam pidatonya di hadapan utusan 71 negara sahabat, Presiden Yudhoyono juga memaparkan perjalanan demokratisasi di Indonesia yang sejak reformasi pada 1998 telah mengubah sistem politik semula sentralistik menjadi desentralistik.

Pemilihan umum kini berlangsung jujur, adil, terbuka, dan transparan. Presiden dan wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat.

Demikian pula para kepala daerah mulai dari gubernur, bupati, dan walikota juga dipilih secara langsung.

Dinamika demokrasi tumbuh subur dan kian semarak. Demokrasi juga telah berkontribusi dalam mengatasi konflik berkepanjangan seperti konflik Aceh yang dapat diselesaikan secara damai.

Dari berbagai perkembangan dan dinamika yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir, Presiden menyatakan, demokrasi di Indonesia telah menghasilkan stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan rakyat yang signifikan.

"Belajar dari pengalaman itulah, dapat saya katakan, bahwa demokrasi bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya. Bukan pula sesuatu yang dapat dipaksakan dari luar. Demokrasi harus ditumbuhkan dari dalam masyarakat itu sendiri, `home grown`, melalui pemberian kesempatan dan ruang yang lebih luas serta pemberdayaan mereka. Demokrasi yang dipaksakan dari luar bisa menimbulkan komplikasi politik dan dalam perkembangannya bisa kehabisan tenaga dan daya dorongnya," kata Presiden.

Demokrasi keterwakilan
Presiden Yudhoyono dalam pidatonya itu tidak menjelaskan apa yang ia maksud dengan "komplikasi politik" maupun "kehabisan tenaga dan daya dorong" akibat demokrasi yang dipaksakan dari luar.

Tidak juga pemerintah ingin mengatakan setiap rakyat yang punya hak suara belum cakap berdemokrasi sehingga tidak lagi diusulkan memilih sendiri kepala daerah secara langsung melainkan cukup melalui perwakilannya di DPRD.

Pemerintah hanya menginginkan efisiensi pelaksanaan pemerintahan dari tingkat daerah sampai ke tingkat pusat serta mengeliminir dampak negatif pemilihan kepala daerah yang dalam beberapa kasus memang memicu terjadinya kekerasan antara pendukung para calon.

Presiden Yudhoyono dalam beberapa kesempatan juga pernah menyampaikan keprihatinannya terhadap praktik politik uang.

Serta biaya demokrasi yang luar biasa mahal dalam setiap penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung.

Namun, cukupkah itu semua dijadikan alasan untuk memindahkan hak pilih rakyat kepada DPRD pada pemilihan kepala daerah dan mengakhiri semarak demokrasi di tingkat daerah seperti yang dibanggakan sendiri oleh Presiden dalam pidatonya?

Benarkah desentralisasi dari daerah yang pemimpinnya dipilih langsung oleh rakyat lebih banyak membawa mudarat daripada manfaat?

Seiring ramainya pesta demokrasi di tingkat daerah sejak era desentralisasi, tidak bisa dihindarkan bahwa yang turut marak adalah praktik korupsi yang melibatkan kepala daerah maupun anggota DPRD.

Korupsi baik di tingkat provinsi maupun kabupaten sehingga muncul pendapat bahwa pelaksanaan otonomi daerah adalah pelebaran praktik korupsi yang pada masa orde baru hanya bisa dinikmati oleh mereka yang bercokol di pusat.

Sejak era reformasi, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tidak beranjak dari kisaran angka dua dan selalu terpuruk pada peringkat keseratus sekian yang artinya termasuk dalam kelompok negara paling jago korupsi di seluruh dunia.

Vedi R Hadiz dari Departemen Sosiologi Universitas Nasional Singapura dalam makalahnya berjudul "Demokrasi dan Korupsi" yang ditulis pada 2007 mencoba mencari jawab mengapa demokratisasi di Indonesia sejak era refomarsi tidak kunjung mengusir endemi korupsi dari tanah air.

Ia juga mencoba mencari hubungan antara praktik pemilihan kepala daerah secara langsung dengan praktik korupsi yang justru semakin menyebar sampai ke pelosok negeri.

Untuk mencoba mengerti dinamika praktik korupsi yang masih menghebat setelah kejatuhan mantan Presiden Soeharto, Vedi menelisik konstalasi yang menyusun sistem politik dan ekonomi pada era reformasi serta kepentingan yang tertanam di dalamnya.

Tak lain tak bukan, menurut Vedi, institusi politik maupun ekonomi saat ini diisi oleh mereka yang diasuh dan dibesarkan oleh rejim Orde Baru yang diciptakan oleh Soeharto.

Akibat yang terjadi sekarang adalah pembajakan reformasi oleh pemain lama yang bersalin baju.

"Mereka telah menyelamatkan posisi sosial mereka ketika terjadi reformasi dan kini telah berhasil membajak Indonesia dan institusi utama sambil memunculkan kembali diri mereka sebagai demokrat dan reformis melalui berbagai wahana," demikian Vedi dalam makalahnya.

Konsekuensinya, menurut dia, perubahan sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia saat ini ditentukan sebagian besar oleh kepentingan yang sama pada masa Orde Baru namun yang telah lihai menyamarkan diri mereka dalam lingkungan politik yang cair dan atmosfer yang katanya sudah menerapkan demokrasi.

Posisi mereka dalam alam seolah-olah demokrasi itu, kata Vedi, dipertahankan melalui praktik politik uang yang sangat mahal.

Sehingga, tambahnya, proses pemilihan pemimpin hampir selalu berbiaya tinggi dan Indonesia dijamin tidak akan pernah bisa keluar dari jeratan praktik korupsi yang terus menerus berulang.

Selain paparannya yang cukup seram itu, Vedi dalam makalahnya masih menyajikan satu analisa yang cukup menghibur.

Menurut dia, masalah korupsi di Indonesia bukan karena telah membudaya seperti yang sering dituduhkan banyak orang.

Namun semata-mata karena masih terjadi pembajakan di institusi negara oleh kepentingan mereka yang dibesarkan rejim orde baru.

Apabila pembajakan tersebut masih berlangsung, kata Vedi, pemilihan langsung kepala daerah memang hanya akan melahirkan oligarki daerah.

Perilaku dan kepentingannya setali tiga uang dengan praktik korupsi yang awalnya hanya terjadi di tingkat pusat pada masa Orde Baru yang sentralisitik.

Satu-satunya solusi, menurut Vedi, adalah penguatan pengawasan masyarakat sipil dan upaya terus menerus menyelesaikan reformasi dengan cara mengisi institusi politik dan ekonomi dengan orang-orang reformis.

Jika demikian, cukupkah alasan untuk mewakilkan suara rakyat hanya kepada DPRD dalam pemilihan kepala daerah?

Mengingat hingga kini sebanyak 967 anggota DPRD telah diproses hukum dalam kasus tindak pidana korupsi.

Akibatnya tidak jarang kasus korupsi dilakukan secara berjamaah oleh seorang kepala daerah bersama-sama dengan anggota DPRD sehingga pertanggungjawabannya seolah-olah diterima.

Belum lagi penegak hukum harus mengantungi izin gubernur untuk memeriksa anggota DPRD yang terlibat dalam kasus korupsi.

Jika gubernur pada akhirnya nanti dipilih oleh DPRD, maka apa yang akan terjadi?

Demokrasi untuk kepentingan setiap manusia tanpa pandang bulu atau manusia yang seolah-olah berdemokrasi?

Jangan-jangan, demokrasi di Indonesia baru sebatas di atas podium dan layar ruang konferensi. Namun, apa yang tersimpan di balik panggung sesungguhnya tetap terselubung.
(D013/A025/A038)

Oleh Diah Novianti
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010