Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Herman Heru Suprobo mengatakan masalah klasik pengusaha pribumi saat ini adalah tingginya suku bunga perbankan.

"Agak klasik memang masalah tingginya suku bunga masih menjadi ganjalan permodalan kami," kata Herman, di sela acara silahturahmi Pengurus HIPPI periode 2010-2015 di Jakarta, Kamis.

Selain itu, lanjutnya, derasnya barang-barang dari Cina serta masyarakat Indonesia yang cenderung memilih produk impor juga dirasakan para pengusaha pribumi saat ini.

"Perlu dorongan dari pemerintah untuk mendorong masyarakat Indonesia lebih mencintai produk dalam negeri," harap Herman.

Sekjen HIPPI ini juga tidak bisa menghindar dari semakin terbukanya pasar antar negara. "Globalisasi tidak dielakkan dan menjadi tantangan pengusaha lokal untuk meningkatkan kualitas produknya agar bisa bersaing," kata Herman.

Namun, katanya, keperpihakan dari pemerintah terhadap pengusaha pribumi juga diperlukan sehingga tidak tenggelam dalam era globalisasi ini.

Dia berharap dengan keperpihakan pemerintah dapat menghilangkan bebrbagai tantangan yang dihadapi, seperti mahalnya permodalan dapat diatasi.

Herman juga mengatakan bahwa pengusaha pribumi sebagaian besar merupakan pengusaha UKM. "UKM merupakan sektor yang tahan dari dampak krisis, maka perlu diperkuat lagi," harapnya.

HIPPI juga berharap pemerintah juga memperhatikan berbagai sektor ekonomi yang memiliki daya saing dan menjadi andalan Indonesia.

"Sektor pariwisata, tektil serta garmen masih menjadi sektor andalan ekonomi Indonesia," kata Herman.


Hukum dan Ekonomi

Herman juga melihat era reformasi hukum di Indonesia saat ini cenderung menghambat pertumbuhan perekonomian.

Menurut dia, berbagai penegakan hukum justru menjadi faktor penghambat, sehingga perlu pembicaraan bersama antara sektor perekonomian dan penegakan hukum.

"Harus duduk bersama untuk membicarakan hal ini sehingga tidak ada lagi kriminalisasi terhadap perekonomian," katanya. (*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010