Jakarta (ANTARA News) - It is the coward and the fool who says this is fate.  But it is the strong man who stands up and says “I will make my fate” (Sanskrit Proverb).  Berangkat dari ungkapan ini, bahwa orang bermartabat akan mengarahkan  dan mengejar jalan hidup, hingga bersua dengan pencariannya, bukan pasrah pada nasib. 

Barangkali unsur nasib hanya berkonstribusi 1%, selebihnya adalah manifestasi dari peluh usaha yang tekun, gigih, dan tabu putus asa.  

Betapa kita takjub menyaksikan bangsa Korea yang melesat sebagaimana layaknya anak panah dalam segala lini.  Konon anak-anak Korea sedari dini sudah dijejali dengan visi-misi untuk menjadi bangsa nomor satu.  Era 80-an kita pernah sumringah dijuluki sebagai salah satu macan Asia.  China, Korea, dan Taiwan terus mengaum, sementara kita bak macan ompong kehilangan taring, yang lemah asa untuk mengaum.

Kesuburan Meninabobokan
Lagu-lagu syahdu yang menyanjung kekayaan bumi nyiur melambai, kiranya telah melelapkan tidur anak bangsa ini, dan menerbangkannya dengan serangkaian mimpi indah.  Kita mengayunkan langkah demi langkah,  sementara negeri jiran berlari secepat puma.  

Tongkat kayu yang dilempar di tanah tanpa pengolahan, pun akan dengan mudah berkuncup jadi tanaman yang dapat dipetik buahnya dan digali umbinya.   Pujian terus-menerus semacam ini dapat meng-euforia narsisme kaya sumberdaya alam, namun memarjinalkan etos kerja, dan konsekuensinya berbuntut kemalasan ?
 
Suatu saat di London, saya baku bincang bebas dengan Dr. Eileen J. Cox (Natural History Museum) tentang keunggulan bangsa Eropah dalam riset dan teknologi.  Kondisi alam sulitlah disinyalemen sebagai salah satu penggiring bangsa Eropah menjadi maju.  Lahan mampu ditanami hanya selama musim panas sekitar 3-4 bulan.  
Bandingkan dengan negara kita yang sepanjang tahun lahannya dapat dicocok-tanami.  Kerasnya alam memicu kerasnya olah pikir otak, agar mampu bertahan dalam kondisi ekstrim. 

Namun sebaliknya, terpaan gersangnya kondisi alam yang melanda keseharian orang-orang di Afrika dengan gurunnya, tak melecut mereka menjadi secerdas bangsa Eropah menaklukan alam. Malah menjadi pecundang ganasnya alam.

Sekiranya, runutan narasi pemenang dan pecundang alam tersebut, dikomparasikan dengan kemelimpah-ruahan sumberdaya alam baik terestrial maupun bahari di bumi pertiwi, kiranya bangsa ini sangat tak pantas untuk miskin, sungguh tak pantas dihina oleh bangsa lain melalui penyiksaan pahlawan devisa, tak pantas menadahkan tangan memohon iba dari negara dan lembaga donor.  

Namun fakta terungkap lain, masih banyak saudara kita yang terbelenggu kemiskinan.  Penghasilan hanya cukup untuk isi perut sehari (subsisten). Seharusnya kita berjuang lebih keras lagi, sebagaimana dikumandangkan Mario Teguh berupa kerja ikhlas, kerja keras, dan kerja cerdas, untuk mengikis kemungkinan menjadi jawaranya para pecundang (king of loser). 

Kita belum cukup cerdik memanfaatkan dan mengolah  kekayaan alam demi kemakmuran. Tendensi, kita lebih senang memungut retribusi, bagi hasil, dan distigmai sebagai bangsa pengkonsumsi.  

Orkestra sanjungan untuk menggugah kesadaran akan mega kaya sumberdaya alam sejatinya dihiasi slogan spirit, agar kita tak henti-hentinya mengasah kapabilitas dan meningkatkan kompetensi, untuk dapat optimal mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya alam secara mandiri.  Sehingga kemelimpahan komparatif sumberdaya alam tak hanya menjadi fakta yang gemar dikisahkan, tapi diperkaya dengan keunggulan kompetitif.

Pertumbuhan Bertumpu Warisan
Dalam suatu wawancara TV, Rhenald Kasali, berucap bahwa “pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada sumberdaya alam, tak ubahnya seperti bergantung pada warisan”. 

Pada era inisiasi pembangunan, bangsa sekelas Jerman pun, gantungkan pertumbuhan ekonominya pada sumberdaya alam (batu bara dan besi baja) yang banyak tersimpan di negara bagian NRW (North Rhine Westphalia).  

Revenue yang diperoleh dari sumberdaya alam tersebut justru secara cerdas disulap sebagai kapital untuk mengembangkan teknologi, infrastruktur, daya saing, dan mensejahterakan masyarakat di lokasi dimana sumberdaya alam tersebut digali.  Tak heran NRW menjadi negara bagian terkaya di Jerman yang saat ini sudah tak lagi menggantungkan kesejahteraannya pada sumberdaya alam.  

Sebelum mendarat di bandara Syamsudin Noor, Banjarmasin, kita akan melintasi muara Sungai Barito, dari ketinggian dapat diamati menyemutnya deretan tongkang pengangkut batu bara dari pedalaman Kalimantan Selatan, yang umumnya diekspor. 

Padahal sebagian besar bumi Nusantara ini kekurangan pasokan listrik.  Tak janggal jika listrik dihidup-matikan secara bergiliran.  Di Sumatra Selatan yang  dicanangkan sebagai lumbung energi, pemandangan antrean BBM di SPBU juga tak aneh disaksikan.

Seumpama melimpahnya batubara tersebut dioptimalkan untuk pembangkit listrik bertenaga uap, barangkali defisit pasokan listrik dapat dipangkas.  Pemerintah sejak beberapa tahun silam telah memprogramkan pembangunan 10.000 Megawatt PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap), moga  proyek ini dapat berjalan dengan mulus.  

Kita lebih praktis menjual barang mentah ketimbang barang olahan.  Sebut saja coklat, setiap orang Indonesia yang melancong ke Eropah, pasti oleh-oleh utamanya adalah aneka rupa olahan coklat. 

Padahal seperti yang terpampang pada museum coklat di Cologne (Jerman), sebagian besar bahan baku coklat tersebut dipasok dari Indonesia.  Nilai tambah produk olahan coklat dikantongi pebisnis Jerman.  

Produk olahan rumput laut, pun konon kita di buritan Filipina. Pelabuhan laut dan armada pelayaran (flag carrier) bertaraf internasional, kita juga kalah jauh dibandingkan Singapura,  padahal kita negara maritim terbesar. 

Sumberdaya hayati dan non hayati di laut teritori sebagai hasil perjuangan Juanda (1957) yang telah diakui oleh United Nations Convention on the Law of the Sea/Unclos, juga belum optimal digali, bahkan banyak dijarah armada asing.

Undangan Prof Wenhan Lin kepada saya untuk bertandang ke Peking University, sungguh membelalakan mata.  Ketika hari ahad beranjangsana ke laboratorium, ternyata mahasiswa di sana tak kenal akhir pekan? 

Struktur penggajian dosen dan peneliti di China tak lah jauh berbeda dengan kita.  Namun pemerintah memfasilitasi dan memanjakan mereka dengan peralatan riset yang memadai bahkan sudah setara (comparable) dengan negara maju.  Sehingga tak heran jika produk teknologi China membanjiri seantero jagat ini. (***)

*) Sekretaris Eksekutif PPLH IPB


Oleh Hefni Effendi
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010