Samarinda (ANTARA News) - Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak sudah 7 bulan ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung, namun hingga kini belum pernah diperiksa, sehingga menjadi tanya, apakah Kejagung serius menangani kasus tersebut.

Awang Faroek menjadi tersangka sejak 6 Juli 2010, namun lembaga yang pertama kali membuka dugaan penyelewengan uang hasil penjualan saham PT KPC di Kabupaten Kutai Timur (Kutim) itu hingga kini tampak "anteng-anteng wae" karena belum juga melakukan pemeriksaan.

Dari gerakan Kejagung terhadap mantan Bupati Kutim yang dinilai lambat tersebut, sehingga banyak masyarakat yang mempertanyakan, ada apa dan mengapa sehingga kasus yang diduga adanya penyelewengan keuangan daerah Rp576 miliar itu hingga kini belum ditindaklanjuti.

Ketua Komisi I DPRD Kaltim Dahri Yasin juga mempertanyakan tindakan Kejagung yang belum juga memeriksa orang nomor satu di Kaltim ini. Konon, belum bisanya Kejagung memeriksa gubernur karena Kejagung sendiri belum meminta surat izin ke Presiden SBY guna melakukan pemeriksaan.

"Saya bersama masyarakat Kaltim mempertanyakan, kenapa Kejagung hingga kini belum memeriksa gubernur, apakah Kejagung sungguh-sungguh waktu menetapkan Awang Faroek sebagai tersangka, atau penetapan sebagai tersangka itu hanya untuk `barganing` tertentu," kata Dahri Yasin.

Dahri menyadari bahwa untuk memeriksa seorang gubernur harus mendapat izin dari presiden, apalagi Kejagung juga merupakan salah satu unsur dalam roda pemerintahan, sehingga kejasaan harus patuh terhadap hukum dan undang-undang yang berlaku.

Namun, jika memang benar bahwa presiden belum mengeluarkan izin karena Kejagung belum meminta ke presiden untuk memeriksa tersangka Awang Faroek, maka hal itu justru menjadi pertanyaan besar, mengapa hal ini bisa terjadi.

Disinggung soal perjalanan roda pembangunan di Kaltim apakah bisa berjalan baik, mengingat ada tiga pejabat tinggi di Kaltim yang menjadi tersangka, Dahri mengatakan ada dua hal yang disikapi.

Pertama, ditinjau dari sudut struktural, ditetapkannya Awang Faroek sebagai tersangka tidak akan mempengaruhi roda pemerintahan dan pembangunan di Kaltim, karena masih ada DPRD dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang membantu menjalankan program pembangunan.

Kedua adalah ditinjau dari sudut individual (pribadi), hal ini pasti akan berpengaruh, karena yang bersangkutan akan berkonsentrasi terhadap masalah yang dihadapi, terutama menyiapkan bukti-bukti kelak di persidangan bahwa dirinya tidak bersalah atas kasus yang disangkakan padanya.

Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim Syafaruddin mengaku sulit mengatakan bahwa kinerja gubernur tidak terganggu atas masalah hukum yang dihadapi, karena di satu sisi dia harus menjalankan roda pemerintahan dengan baik, namun di sisi lain harus menyiapkan berbagai hal sebagai alat bukti di persidangan kelak.

Namun demikian, dia berharap agar sangkaan korupsi oleh Kejagung tersebut tidak benar sehingga roda pemerintahan di Kaltim bisa berjalan mulus, begitu pula dengan pembangunan untuk kemakmuran masyarakat luas bisa berlanjut.

Dia juga mempertanyakan sikap Kejagung yang hingga kini belum melakukan pemeriksaan terhadap Awang Faroek. Jika hal ini terus berlanjut, maka akan terjadi kecurigaan besar dari masyarakat. Untuk menghindari ?negative thinking? tersebut, maka Kejagung diminta mempercepat pemeriksaan dan membawa ke meja hijau agar segera diketahui mana yang benar dan mana yang salah.

Percepatan proses hukum itu dimintanya bukan hanya untuk pejabat Kaltim saja, namun juga sejumlah kepala daerah di Kaltim dan sejumlah pejabat di daerah-daerah yang sudah menjadi tersangka.

Dia juga mengatakan, bahwa keinginan Gubernur Kaltim yang ingin menjadikan daerah ini sebagai daerah yang bebas korupsi (island of integrity) sedikit terganggu karena adanya tiga orang di lingkungan Pemprov Kaltim yang terindikasi korupsi.

Tiga orang tersebut, pertama adalah gubernur sendiri yang disangka ikut ?bermain? dalam penjualan divestasi saham PT KPC senilai Rp576 miliar saat Faroek masih menjabat Bupati Kutimr.

Kedua adalah Sekretaris Provinsi (Sekprov) Kaltim Irianto Lambri yang telah dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Kaltim atas kasus dana bergulir Rp1,3 miliar kepada Koperasi Hidup Baru Balikpapan.

Uang tersebut bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada 2006, saat itu Irianto Lambrie masih menjabat sebagai Kepala Dinas Perindustrian, perdagangan dan Koperasi serta UMKM Kaltim.

Sementara pejabat ketiga adalah Asisten IV Setprov Kaltim M Aswin. Dia ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Kaltim atas dugaan korupsi dana penunjang operasional anggota DPRD Kutai Kartanegara (Kukar) tahun 2005 senilai Rp2,9 miliar, kala itu Aswin menjadi Sekretaris DPRD Kukar.

Dalam kasus ini, Polda sudah terlebih dulu menetapkan bendahara Setwan Kukar Jamhari sebagai tersangka dan telah ditahan.

Pengamat hukum dari Universitas Mulawarman (Unmul) Sarosa Hamong Pranoto juga menilai bahwa ditetapkannya tiga pejabat tinggi Kaltim sebagai tersangka, tidak akan mempengaruhi roda pembangunan karena masih ada SKPD dan lembaga terkait yang terus melanjutkan program yang telah dirancang.

Apalagi baru status tersangka, dan belum memiliki status hukum tetap, sehingga yang bersangkutan masih bisa menjalankan roda pemerintahan seperti biasanya.

Dia juga mengatakan bahwa Pemprov Kaltim belum perlu menyiapkan pengganti jabatan yang bersangkutan, atau pejabat sementara untuk persiapan menggantikan tiga pejabat yang telah dijadikan tersangka, kecuali jika kelak kasusnya berkembang dan yang bersangkutan dinyatakan nonaktif.

Pada Juli 2010 Awang Faroek Ishak dinyatakan sebagai tersangka oleh Kejagung karena diduga bersama-sama melaukan korupsi dalam pengelolaan dana hasil penjualan saham PT KPC milik Pemkab Kutai Timur (Kutim) oleh PT Kutai Timur Energi.

Penetapan tersangka Faroek berdasar Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print-82/F.2/Fd.1/7/2010 tanggal 6 Juli 2010. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) M Amari menyebut Awang sebagai pelaku utama karena memimpin RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) PT KTE di Hotel Grand Melia, Jakarta pada 22 Agustus 2008.

Sementara itu, pengacara Awang Faroek, Hamzah Dahlan menuding kejaksaan bekerja tidak profesional dalam menetapkan kliennya sebagai tersangka kasus korupsi, karena Awang Faroek tidak pernah menghadiri RUPS PT Kutai Timur Energi (KTE) pada 22 Agustus 2008.

Dikatakannya, berdasarkan data, acara yang dihadiri Awang adalah RUPS PT Kutai Timur Investment (KTI), dilanjutkan dengan pertemuan Muspida Kutim di Jakarta.

?Sedangkan RUPS KTE itu klien saya tidak hadir, nggak bener itu. Kejaksaan tidak professional, tidak jeli dan tidak melihat fakta yang ada, sebab menetapkan tersangka terhadap seseorang tanpa konstruksi hukum kuat," ujarnya.

Kasus ini bermula ketika ada perjanjian kerjasama (Frame Work Agreement) antara PT KPC dengan pemerintah RI, dalam hal ini Pemkab Kutim. PT KPC diketahui menjual sahamnya atau divestasi sebesar 18,6 persen.

Namun, PT KTE tak memiliki dana untuk membeli saham. Untuk itu dijual saham ke pihak lain, yakni PT. Bumi Resources berdasar Suplemental Atas Perjanjian Jual Beli Saham pada 23 Februari 2005.

Saham PT KTE yang dijual kepada PT Bumi Resources hanya sebesar 13,6 persen, sedangkan sisanya PT Bumi Resources wajib memberikan kepemilikan saham sebesar lima persen kepada PT KTE.

Sisa saham itu akhirnya dimiliki oleh Pemkab Kutim. Berdasar ketentuan kepemilikan saham, maka harus dicatatkan ke kas daerah, yakni kepada Pemkab Kutim.

Sementara itu, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak mengatakan, keinginan (perjuangan) mendapat saham dilakukan bersama-sama Gubernur Kaltim yang saat itu dijabat Suwarna AF.

Inti perjuangan adalah mendapatkan divestasi saham KPC sebesar 51% sebagai wujud komitmen dan kepedulian pimpinan daerah untuk mendaptkan hak rakyat Kaltim.

Perjuangan itu kemudian didokumentasikan dalam buku Divestasi Saham KPC: Memperjuangkan Hak Rakyat Kaltim, terbitan Forum Indonesia Tumbuh, Jakarta, Mei 2003. Upaya tersebut terhenti sejak 21 Mei 2003 karena Faroek mengundurkan diri dari Bupati Kutim untuk menjadi Calon Gubernur Kaltim.

Sebelumnya, berdasarkan Keputusan Sidang Kabinet Terbatas 31 Juli 2002 diputuskan bahwa dari saham 51% tersebut, calon pembeli untuk 20% jatah pemerintah pusat melalui PT. Tambang Batubara Bukit Asam. Sedangkan yang 31% saham dibagi menjadi 12,4% jatah Pemprov Kaltim melalui Perusda Melati Bhakti Satya (MBS), dan 18,6% jatah Pemkab Kutim melalui Perusda Pertambangan dan Energi Kutim (Perusda PEKT).

Setelah mundurnya Faroek pada 21 Mei 2003, jabatan bupati dipegang Mahyudin yang sebelumnya Wakil Bupati Kutim hingga 13 Februari 2006.

Pada periode Mahyudin tersebut, tepatnya 13 Oktober 2003, ditandatangani Perjanjian Jual Beli Saham 18,6% antara PT. Bumi Resources (oleh Direktur Utama, Ari S. Hudaya) dengan Pemkab Kutim (oleh Mahyudin sebagai bupati).

Selanjutnya, dari 18,6% saham tersebut dijual kembali ke PT. Bumi Resources sebesar 13,6% dan Pemkab Kutim mendapatkan Golden Share saham sebesar 5%.

Untuk mengelola saham KPC 5%, Bupati Kutim Mahyudin kemudian membentuk PT Kutai Timur Energi (KTE), selanjutnya menyerahkan pengelolaannya kepada perusahaan tersebut.

Kemudian pada 13 Februari 2006 Awang Faroek dilantik kembali menjadi Bupati Kutim periode kedua. Kenyataan itu, Pemkab Kutim memiliki 5% saham PT KPC yang dikelola oleh PT KTE. Sedangkan segala sesuatu yang terjadi atas saham 5% tersebut, yakni mulai 21 Mei 2003 hingga 13 Februari 2006 berada di luar pengetahuan Awang Faroek.

Sejak memiliki 5% saham PT KPC, Pemkab Kutim tidak mendapatkan keuntungan yang cukup. Selama periode tersebut, Pemkab Kutim baru menerima Advance Deviden (Deviden dibayar dimuka) sebesar Rp27,2 miliar yang dibayar 3 kali, yaitu Rp2,7 miliar pada 15 Januari 2004, Rp14 miliar pada 30 Desember 2004, dan lima tahun kemudian menerima Rp10,5 miliar, tepatnya pada 4 September 2009.

Berdasarkan kenyataan tersebut, muncullah keinginan untuk menjual saham 5% milik KTE karena dianggap lebih menguntungkan dimanfaatkan dalam pembangunan daerah.

Keinginan tersebut kemudian diwujudkan melalui Surat Ketua DPRD Kutim, M Mujiono kepada Dirut PT. KTE pada 27 Juni 2006 yang ditembuskan ke Pemkab Kutim.

Inti surat itu menyatakan bahwa ?Saham PT. KTE lebih menguntungkan dijual dari pada dipertahankan" serta memberi perkiraan "besar nilai penjualannya minimum US$ 62 juta.

Pada 10 Agustus 2006, Pemkab Kutim menerima laporan PT KTE melalui surat perihal perkembangan proses penjualan saham PT. KPC. Berdasarkan laporan tersebut, pada 14 Agustus 2006, Bupati Kutim kemudian menindak lanjuti tembusan Surat DPRD tanggal 27 Juni 2006 itu.

Sebagai respon dari surat Bupati tersebut, selanjutnya DPRD Kutim membuat Keputusan No.10 Tahun 2006 tanggal 18 Agustus 2006 tentang Persetujuan Penjualan Saham 5% KPC milik PT. KTE yang ditandatangani oleh Ketua DPRD Kutim, Mujiono.

Isi surat itu adalah menyetujui penjualan saham PT KPC milik PT KTE pada perusahaan yang menawarkan dengan nilai tertinggi sampai dengan 29 Agustus 2006.

Isi surat juga menyatakan penjualan saham PT KPC milik PT KTE sebesar 5% akan sangat berguna untuk melanjutkan pembangunan Kutim yang tertuang dalam Revitalisasi Gerdabangagri.

Sejak 22 Agustus 2008 sampai dengan terpilihnya Awang Faroek sebagai Gubernur Kaltim, Dirut PT. KTE tidak pernah menjalin komunikasi atau membuat laporan kepada Bupati Kutim Awang Faroek tentang rencana penggunaan Hasil Penjualan Saham ataupun Rencana investasi PT KTE.

Selain itu, Awang Faroek sebagai Bupati Kutim, juga tidak pernah menerima honor dan pemberian dari PT KTI atau PT KTE.

Kemudian Awang Faroek mengetahui pertama kali tentang hasil penjualan saham PT KTE sebesar US$ 63 juta, atau setara Rp576 miliar pada 15 Februari 2010, informasi itu ia ketahuai dari pemberitaan media cetak.

Dana tersebut diketahui telah diinvestasikan ke berbagai bidang, yakni senilai Rp492 miliar ke Samuel Securitas, senilai Rp140 miliar ke Bank Mandiri Cabang Sangatta, dan senilai Rp72 miliar ke PT CTI / Bank IFI.

Selanjutnya, berdasarkan keterangan Bupati Kutim saat ini, yakni Isran Noor, bahwa hasil penjualan saham 5% tersebut hingga kini masih utuh dalam rekening PT KTE di Bank Mandiri dan Bank BNI Sangatta.

Sejalan dengan hal tersebut, kemudian Sukri M Nur selaku Plt. Dirut PT KTE menjelaskan, bahwa berdasarkan laporan keuangan yang diaudit oleh Ernst and Young, total aset dan dana segar pada 31 Desember 2009 sebesar Rp720 miliar.

Uang tersebut belum termasuk dana yang ditanamkan di Bank IFI yang mencapai Rp72 miliar, sehingga total dana itu saat ini telah mencapai Rp792 miliar.

"Berdasarkan hal itu, jadi uang mana yang saya korupsi, apa alasan yang menyatakan adanya kerugian negara, justru dari penjualan saham dari PT KPC senilai Rp576 miliar, telah berkembang menjadi Rp792 miliar karena disimpan di bank," kata Awang Faroek saat itu. (GFR/KWR/K004)

Oleh Oleh M. Ghofar
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011