Tindakan keluarga majikan pada Sumiati itu merupakan bentuk penyiksaan yang keji atau biadab
Jakarta (ANTARA News) - Keberadaan sekitar enam juta tenaga kerja Indonesia (TKI) di 42 negara kerap disebut sebagai "duta bangsa", bukan hanya pengembara yang sedang mencari peruntungan di negeri orang.

Tidak berlebihan adanya anggapan bahwa keceriaan di wajah mereka kala memperoleh peruntungan merupakan kebahagiaan negeri ini yang masih didera persoalan pengangguran dan lapangan kerja yang sangat terbatas.

Sebaliknya, kemalangan di wajah mereka kala meraih kesialan menambah kegetiran bagi bangsa ini yang sedang tertatih-tatih bersaing dengan bangsa sejagad dalam kualitas sumber daya manusia.

Sebut saja satu nama yang kurang beruntung itu yakni Sumiati binti Salan Mustafa (23 tahun), asal Dompu, Nusa Tenggara Barat, yang wajahnya pada awal November 2010 sulit dikenali dari wajah aslinya setelah lunglai tak berdaya dan menyimpan rasa nyeri yang mendalam lantaran sekujur tubuhnya penuh luka.

Tak lama berselang saat dibawa ke Rumah Sakit Raja Fahd pada 8 November 2010, tersiar kabar bahwa Sumiati disiksa oleh istri majikannya, Khaled Salem M al-Khamimisering, sehingga wajahnya rusak, kulit kepalanya terkelupas, badannya penuh luka, dan kakinya nyaris lumpuh.

Perwakilan RI di Jeddah pun melaporkan kasus penganiayaan itu ke Kepolisian Distrik Madinah.

Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat pada Senin 15 November 2010 geram dan menyebut keluarga majikan Sumiati biadab.

"Tindakan keluarga majikan pada Sumiati itu merupakan bentuk penyiksaan yang keji atau biadab," katanya.

Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Syaifuddin pada hari yang sama menyatakan prihatin terhadap nasib Sumiati yang disiksa di Arab Saudi dan mendesak pihak terkait menuntut secara hukum keluarga majikan TKI.

"Penyiksaan terhadap Sumiati, amat memukul harga diri bangsa. Kemenlu dan Kemenakertrans harus segera bertindak," katanya dalam keterangan pers.

Sehari kemudian, giliran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat memberi pengantar pada rapat kabinet terbatas meminta penanganan kasus Sumiati secara serius untuk memastikan hukum ditegakkan dan mengirim Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Agum Gumelar serta tim khusus ke Arab Saudi untuk melindungi dan membela Sumiati.

"Penegakan hukum saya minta ditegakkan. Saya dengar ada upaya-upaya mengaburkan, jangan sampai terkecoh, dan di atas segalanya segera ajukan langkah-langkah terbaik," ujar Kepala Negara.

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan bahwa pihaknya telah mengeluarkan kecaman keras terhadap peristiwa yang menimpa Sumiati.

Pemerintah Arab Saudi pun, menurut Marty, turut mengecam dan menganggap peristiwa tersebut melanggar nilai-nilai perikemanusiaan.

"Bersama-sama (RI dan Arab Saudi) kita memastikan bahwa pihak yang melakukan ini akan dihukum. Dan sekarang itu ada kerja sama antara kedua belah pihak," kata Marty.

Terlihat betapa simbol-simbol negara "terluka" atas nasib sial yang menimpa anak negeri yang sedang berjihad di Arab Saudi untuk mencari nafkah.

Untung tak diraih, malang tak kuasa ditolak
Alih-alih menuntut hukuman berat bagi istri majikan Sumiati, pengadilan tingkat pertama di Madinah pada 10 Januari lalu hanya menjatuhkan vonis tiga tahun penjara bagi penyiksa Sumiati itu.

Pemerintah Indonesia tentu saja kecewa atas vonis yang relatif ringan tersebut sebagaimana disampaikan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar.

"... hukuman tiga tahun itu tidak sesuai dengan rasa keadilan maka langsung pemerintah melalui pengacara kita, bahkan bukan hanya pengacara kita tapi juga penuntut umum dari negara Saudi Arabia pun langsung banding," kata Marty seusai bertemu Presiden Yudhoyono di Kompleks Istana Kepresidenan di Jakarta, Rabu (12/1).

"Vonis dalam kasus Sumiati ini sangat mengecewakan kita," kata Muhaimin Iskandar di sela-sela kunjungan kerja ke desa TKI di Kabupaten Malang, Jawa Timur, Jumat (14/1).

Tanda-tanda keadilan yang kian menjauh, makin terasa ketika Mahkamah banding Mekkah pada Senin (14/3) memerintahkan untuk mengulang pengadilan tingkat pertama dan dianggap oleh Ahmad Al Rashed, pengacara majikan Sumiati, sebagaimana dipublikasikan laman "al arabiyah.net" seolah-olah menyebutkan istri majikan Sumiati telah divonis bebas.

Jumhur menegaskan keputusan banding itu tidak membebaskan istri majikan Sumiati, melainkan mengoreksi prosedur yang telah ditempuh oleh pengadilan pertama dan karena itu harus diulang.

Setelah melakukan koordinasi dengan sejumlah pihak di Arab Saudi, Kementerian Luar Negeri RI, dan KBRI di Riyadh, Kepala BNP2TKI memperoleh informasi bahwa mahkamah banding di Mekkah sebenarnya bukan mengadili substansi (materi) hukum atas kasus Sumiati, tetapi hanya mengadili prosedur hukum terhadap pengadilan sebelumnya yang dianggap tidak memenuhi standar kelaziman, sehingga pemeriksaan kasus Sumiati harus diulang di pengadilan sebelumnya atau pada pengadilan tingkat pertama.

Ternyata "bak petir di siang bolong" mencari keadilan bagi anak negeri di negeri orang seolah antiklimaks tatkala pada Sabtu 2 April lalu keputusan ulang Pengadilan Madinah ternyata membebaskan istri majikan Sumiati karena tidak ada bukti bahwa dia telah menyiksa Sumiati.

Istri majikan membantah melakukan penyiksaan tersebut dan menyatakan bahwa Sumiati menyiksa dirinya sendiri.

"Sama sekali tidak adil," kata Jumhur di Jakarta, Senin (4/4), menanggapi pembebasan hukuman terhadap istri majikan Sumiati oleh pengadilan di Madinah, Arab Saudi

Jumhur Hidayat menyatakan pemerintah sangat menyesalkan. Lagi-lagi menyesalkan. Jumhur mendukung upaya pengacara Sumiati yang menyatakan banding atas putusan pengadilan tersebut.

"Tak ada jalan lain, bawa ke tingkat yang lebih tinggi," katanya.Ia berharap pengadilan di tingkat banding dapat melihat keadilan secara objektif disertai fakta-fakta yang ada.

Akankah? Yang jelas di Arab Saudi terdapat sekitar 1,5 juta TKI dan merupakan jumlah terbesar dibandingkan negara-negara lain yang menjadi tujuan penempatan TKI.
(B009/H-KWR)

Oleh Budi Setiawanto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011