"Jumlah kematian mencapai 17," kata Sadeq al-Shujaa, kepala sebuah rumah sakit darurat di alun-alun Taez pusat, setelah pasukan keamanan menembaki demonstran yang berpawai menuju kantor gubernur setempat, demikian AFP melaporkan.
Sejumlah saksi mengatakan, demonstran menyerbu halaman kantor gubernur dan orang-orang bersenjata yang berpakaian sipil dan penembak gelap di atap bangunan melepaskan tembakan untuk memaksa mereka mundur.
Pertumpahan darah itu, yang terjadi sehari setelah seorang pemrotes ditembak mati di Taez, 200 kilometer dari Sanaa, ibukota Yaman, membuat jumlah korban tewas menjadi lebih dari 100 dalam penumpasan protes di negara miskin itu sejak akhir Januari.
Dengan jumlah kematian yang terus meningkat, Saleh, sekutu lama Washington dalam perang melawan Al-Qaeda, tampaknya kehilangan dukungan AS.
Pemerintah AS mengambil bagian dalam upaya-upaya untuk merundingkan pengunduran diri Saleh dan penyerahan kekuasaan sementara, menurut sebuah laporan di New York Times, Minggu.
Para pejabat AS menganggap posisi Saleh tidak bisa lagi dipertahankan karena protes yang meluas dan ia harus meninggalkan kursi presiden, kata laporan itu. Perundingan mengenai pelengserannya telah dilakukan selama lebih dari sepekan.
Sementara itu di Sanaa, Senin, prajurit-prajurit dari sejumlah satuan yang komandannya berpihak pada pemrotes turun tangan untuk mencegah sekitar 200 polisi yang akan menindak ribuan demonstran yang berkemah sejak Februari di sebuah alun-alun di Sanaa pusat.
Negara-negara Teluk yang kaya minyak menyatakan, Minggu malam, mereka mengupayakan penengahan antara Saleh dan oposisi yang menuntut pengunduran dirinya.
Oposisi Yaman mendesak Saleh mengakhiri kekuasaan tiga dasawarsanya dan menyerahkan wewenang kepada deputinya untuk periode peralihan, namun usulan itu ditolak oleh pemimpin kawakan tersebut pada Minggu.
Washington telah memperingatkan bahwa jatuhnya Saleh selaku sekutu utama AS dalam perang melawan Al-Qaeda akan menimbulkan "ancaman nyata" bagi AS.
Yaman adalah negara leluhur pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden dan hingga kini masih menghadapi kekerasan separatis di wilayah utara dan selatan.
Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990 namun banyak pihak di wilayah selatan, yang menjadi tempat sebagian besar minyak Yaman, mengatakan bahwa orang utara menggunakan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam dan mendiskriminasi mereka.
Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh mendesak rakyat Yaman tidak mendengarkan seruan-seruan pemisahan diri, yang katanya sama dengan pengkhianatan.
Negara-negara Barat, khususnya AS, semakin khawatir atas ancaman ekstrimisme di Yaman, termasuk kegiatan Al-Qaeda di Semenanjung Arab (AQAP).
Para komandan militer AS telah mengusulkan anggaran 1,2 milyar dolar dalam lima tahun untuk pasukan keamanan Yaman, yang mencerminkan kekhawatiran yang meningkat atas keberadaan Al-Qaeda di kawasan tersebut, kata The Wall Street Journal bulan September.
Negara-negara Barat dan Arab Saudi, tetangga Yaman, khawatir negara itu akan gagal dan Al-Qaeda memanfaatkan kekacauan yang terjadi untuk memperkuat cengkeraman mereka di negara Arab miskin itu dan mengubahnya menjadi tempat peluncuran untuk serangan-serangan lebih lanjut.
Yaman menjadi sorotan dunia ketika sayap regional Al-Qaeda AQAP menyatakan mendalangi serangan bom gagal terhadap pesawat penumpang AS pada Hari Natal.
AQAP menyatakan pada akhir Desember 2009, mereka memberi tersangka warga Nigeria "alat yang secara teknis canggih" dan mengatakan kepada orang-orang AS bahwa serangan lebih lanjut akan dilakukan.
Para analis khawatir bahwa Yaman akan runtuh akibat pemberontakan Syiah di wilayah utara, gerakan separatis di wilayah selatan dan serangan-serangan Al-Qaeda. Negara miskin itu berbatasan dengan Arab Saudi, negara pengekspor minyak terbesar dunia.
Selain separatisme, Yaman juga dilanda penculikan warga asing dalam beberapa tahun ini. (M014/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011