Jakarta (ANTARA News) - Kuasa Hukum Jonny Abbas, terdakwa penggelapan 30 kontainer, Hermawanto mengatakan tuntutan dua tahun penjara terhadap kliennya itu sangat lemah, karena tidak didasarkan pada fakta persidangan.

"Tuntutan JPU itu justru didasarkan pada keterangan saksi yang tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), bukan pada fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan," kata Hermawanto, saat membacakam pledoi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin.

Menurut Hermawanto, keterangan saksi yang tertuang dalam BAP banyak yang direkayasa dan tidak terungkap dalam persidangan, sehingga tidak bisa dipercaya.

Dia juga mengungkapkan keterangan Harry Mulya (pelapor) selalu berbeda-beda, dan saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka dan DPO.

"Jadi secara attitude kesaksiannya tidak bisa lagi dipercaya walau di bawah sumpah sekalipun," tegas Hermawanto.

Selain itu katanya, saksi-saksi dalam persidangan justru tidak ada yang memberatkan kliennya, karena tindakan kliennya melakukan reekspor atas putusan PTUN Jakarta.

"Dokumen reekspor, semuanya benar dan tidak bermasalah," ujarnya.

Karena itu, tegasnya, dalam hal ini tuntutan jaksa menjadi lemah karena tidak didasarkan pada bukti-bukti yang kuat.

Kuasa Hukum Terdakwa lainnya, Bambang Widjojanto menambahkan tuntutan hukuman selama dua tahun penjara yang dijatuhkan JPU kepada Jhonny Abbas sangat serius.

"Tuntutan ini sangat serius, betul-betul serius. Karena JPU mengenakan pasal 378 (penipuan). Jadi kami juga harus serius membuat pembelaan," ungkapnya.

Menurut Bambang, semua keterangan yang dijadikan dasar adalah keterangan para saksi yang tidak bisa dipakai.

Selain itu, lanjutnya, keterangan yang dipakai JPU adalah keterangan saksi Kim.

"Kim (Sutandi) kan keterangannya hanya, katanya, itu tidak bisa dipakai, karena keterangannya tidak berdiri sendiri," tambah Bambang di depan majelis hakim yang dipimpin Herdy Agusten.

Usai sidang Bambang juga menyebut perkara yang dialami Jonny Abbas ada mafia hukum yang terlibat dalam perkara re-ekspor kontainer isi blackberry, miras dan barang elektronik sehingga harus segera diselidiki serius oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum.

Selain telah mengorbankan orang tidak bersalah, mafia penyelundup sudah melibatkan oknum anggota DPR, tokoh politik, kepolisian dan kejaksaan.

"Kasus ini sudah melibatkan politisi dan aparat hukum. KPK dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum harus ambil alih," katanya.

Bambang mengungkapkan bahwa kasus yang menimpa Jonny Abbas buah dari rekayasa kasus yang dirancang Harry Mulya.

Bambang juga menyebut Harry Mulya yang saat ini tersangka dan DPO (Daftar Pencarian Orang) penyelundupan dua peti kemas juga berisi BB dan miras telah menjadikan kasus re-ekspor kontainer sebagai bargaining untuk mengemplang hutang.

"Harry Mulya mengorganisir sejumlah orang untuk membuat persangkaan palsu terhadap diri saya. Caranya antara lain dia membawa beking sejumlah tokoh politik dan penegak hukum ke Singapura," katanya.

Oleh karenanya, Bambang merasa perlu KPK dan Satgas Mafia Hukum untuk mengungkap tuntas jejaring mafia hukum di balik kasus penyelundupan BB dan miras yang belakangan hot.

"Kami juga meminta majelis hakim segera memerintahkan pemeriksaan terhadap Harry Mulya dan Kim Sutandi yang telah memberikan keterangan palsu di persidangan," tegasnya.

Sebelumnya, JPU dalam tuntatannya meminta Majelis Hakim menghukum terdakwa Jonny Abbas selama dua tahun penjara.

JPU menilai Jonny Abbas telah terbukti melakukan penipuan terkait re-ekspor atau pengiriman kembali ke luar negeri 30 kontainer berisi yang dilaporkan Harry Mulya sebagai tekstil.

Padahal saat 30 kontainer yang direekspor itu diperiksa otoritas Singapura, justru berisi telepon genggam Blackberry, minuman keras, barang elektronik dan mesin genset.

Melihat isi yang berbeda, oleh otoritas Singapura, 30 kontainer reekspor itu dikembalikan kepada pemilik aslinya.

Harry Mulya yang sebelumnya mendatangkan 30 kontainer itu ke Tanjung Priok, menuduh Jhonny Abbas yang melakukan pemulangan 30 kontainer tersebut ke Singapura, telah melakukan penggelapan senilai lebih dari Rp300 miliar.(*)

(T.J008/K005)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011