Surabaya (ANTARA News) - Pakar biokimia nutrisi dari ITS Surabaya, Dr NL Ida Soeid MS berpendapat bahwa kunyit dan air bawang putih bisa menjadi alternatif pengganti formalin untuk bahan pengawet yang tidak berbahaya bagi tubuh manusia. "Sebenarnya sudah sejak lama orang tahu penggunaan formalin dan boraks pada beberapa makanan untuk kepentingan pengawetan. Tetapi selama ini dibiarkan, sehingga ketika kini dipersoalkan dan diperketat penggunaannya, maka semuanya ribut," katanya di Surabaya, Jumat. Namun, dosen Jurusan Kimia ITS itu meyakini keributan dan larangan itu tetap tidak akan ada artinya, karena beberapa waktu lagi akan tetap saja para pengguna kembali kepada formalin, karena tidak adanya penyuluhan tentang bahaya formalin, tidak adanya pengawasan atas peredaran formalin, dan alternatif yang murah. Oleh karena itu, dirinya mendukung bila formalin dan boraks sebagai pengawet makanan benar-benar dilarang dan pengedarnya ditindak dengan keras. Namun, perlu ada kampanye dan penyuluhan tentang bahaya atas kehadiran formalin ke dalam tubuh, sebab formalin akan mengacaukan susunan protein atau RNA sebagai pembentuk DNA di dalam tubuh manusia. "Jika susunan DNA kacau, maka akan memicu terjadinya sel-sel kanker dalam tubuh manusia. Tentu prosesnya memakan waktu lama, tapi cepat atau lambat jika tiap hari tubuh kita mengkonsumsi makanan yang menggunakan formalin, maka kemungkinan besar untuk terjadinya kanker sangat besar," ucapnya. Masalahnya, larangan semata tidak cukup, namun pemerintah harus bisa mencarikan jalan keluar dan memberikan penyuluhan kepada masyarakat secara terus menerus, sehingga orang kemudian sadar betul terhadap efek dari formalin yang masuk ke dalam tubuh manusia. "Ada beberapa alternatif untuk menggantikan formalin agar makanan tetap awet atau tahan lama, misalnya, penggunaan kunyit pada tahu, sehingga dapat memberikan warna dan sebagai antibiotik, sekaligus mampu mengawetkan tahu agar tidak cepat asam," ujarnya. Menurut dia, kunyit memang akan memunculkan warna kuning pada tahu. "Kalau mau warna putih, siapkan saja air bawang putih untuk merendam tahu agar lebih awet dan tidak segera masam. Upaya-upaya inilah yang harus diberikan penyuluhan kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak hanya menuntut makanan awet tanpa mempedulikan bahan pengawet apa," tuturnya. Namun, menurut Ida, proses pembuatan tahu yang benar sesungguhnya sudah dapat mengawetkan tahu. "Yang saya tahu di Jatim, proses pembuatan tahu tidak dilakukan dengan cara memasak kacang kedelainya terlebih dahulu hingga matang. Prosesnya semuanya dalam keadaan mentah, sehingga tahu yang dihasilkan tidak bertahan lama. Kalau dimasak dulu tentu akan awet," katanya. Air ki dan asam sitrat Ditanya cara mengawetkan mie, ia mengemukakan mie basah sebaiknya dalam proses pembuatannya menggunakan air ki. "Air ki bisa dibeli di toko-toko obat China. Air ki ini dapat mengawetkan mie dengan aman, karena air ini diperoleh dari proses pengendapan air dan abu merang padi," ungkapnya. Bahkan, jika mau membuat air ki sendiri juga cukup mudah, karena tinggal membakar merang padi, kemudian ambil abunya, lalu dicampur air dan endapkan. "Tapi sayang, padi yang dihasilkan petani sekarang tidak terlalu tinggi, maka kerap kali kita sulit menemukan merang saat ini, karena batang padi dan merangnya langsung dibakar para petani setelah dirontokkan," ujarnya. Sementara pengawetan untuk ikan, ikan basah maupun kering atau asin bisa diawetkan dengan asam sitrat. "Membuatnya juga mudah, dari air kelapa lalu diberi mikroba, maka jadilah asam sitrat. Di toko-toko, asam sitrat yang sudah siap pakai juga tersedia, tapi akan lebih baik jika dibuat secara alamiah melalui proses kimiawi dengan mikroba," demikian Ida. (*)

Copyright © ANTARA 2006